jpnn.com, JAKARTA - Hasil riset dari kandidat doktor Universitas Pertahanan (Unhan) Teguh Haryono menemukan bahwa ada tujuh stakeholder yang akan memiliki peran sangat kuat apabila Indonesia ingin mengembangkan teknologi pertahanan.
Hasil riset ini merupakan isi disertasi Teguh yang berjudul “Model Penilaian Peran Stakeholder dalam Kolaborasi Pengembangan Teknologi Pertahanan di Indonesia” yang dipertahankan dalam Sidang Promosi Terbuka di Kampus Unhan, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/7).
BACA JUGA: Djarot Sebut PDIP Punya Banyak Stok Pengganti Tjahjo Kumolo, Ada Ganjar Hingga Hasto
“Di antara peran-peran tersebut terdapat beberapa peran yang memiliki kontribusi sangat kuat dari masing-masing stakeholder itu ada enam,” kata Teguh yang merupakan teman seangkatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Unhan tersebut.
Hasto Kristiyanto yang beberapa waktu lalu meraih gelar doktor dari Unhan juga turut hadir menyaksikan sidang promosi rekannya tersebut. Hasto merupakan peraih gelar doktor ke-19 di Unhan. Sementara Teguh menjadi peraih gelar doktor ke-20. Mereka tergabung dalam mahasiswa S3 cohort 3 Universitas Pertahanan RI.
BACA JUGA: Lulus dari Unhan, Hasto Bakal Mengkaji Kepemimpinan Megawati di UI
Lebih lanjut Teguh menyatakan dari proses analisis CFA yang telah dilakukan, didapatkan peran kritis yang telah sesual model penilaian peran stakeholder dalam kolaborasi pengembangan teknologi pertahanan.
“Di antara peran-peran tersebut terdapat beberapa peran yang memiliki kontribusi sangat kuat dari masing-masing stakeholder itu ada enam,” kata Teguh.
BACA JUGA: Ada Tugas Kelompok dari Unhan, Hasto Kristiyanto Cs Langsung Naik Kapal Perang
Pertama, adalah Perguruan Tinggl/Lembaga Penelitian Pengembangan (Litbang) sebagal jembatan penghubung antara pengguna dan industri.
Kedua, pemerintah, yang akan menentukan visi, strategi, peta jalan, dan membangun ekosistem dan klasterisasi libat dan industri pertahanan, menjalankan dan mengawasinya.
Ketiga, industri pertahanan, yang membangun ekosistem dan kerja sama, baik dalam kegiatan litbang maupun produksi bersama dengan stakeholder lain.
Keempat, pengguna, yang melakukan evaluasi dan memberikan feedback terhadap produk yang dipakainya.
Kelima, organisasi profesi, yang menyusun dan memelihara database SDM yang profesional dalam teknologi dan industri pertahanan.
Keenam, adalah bank/lembaga keuangan, yang memberikan garansi kepada industri pertahanan yang melakukan pinjaman modal kerja.
Ketujuh adalah DPR atau legislatif yang menyiapkan, merevisi dan atau mengesahkan undang-undang terkait teknologi dan industri pertahanan yang berpihak pada kemampuan dalam negeri.
Dengan demikian, kata Teguh, penelitian ini menambahkan dua peran baru dari teori sebelumnya atau teori pentahelix.
Dua peran itu adalah perbankan/lembaga keuangan, dan DPR/legislatif.
Karena itulah, Teguh membuat istilah baru yakni 7 Helix atau Haryono Sapta Helix Model.
Secara praktis, Teguh juga merumuskan beberapa rekomendasi yang dapat dimplementasikan untuk membentuk kolaborasl stakeholder pengembangan teknologi pertahanan di Indonesia yang lebih efektif dan efisien.
Di antaranya adalah agar Kementerian Pertahanan menggunakan hasil penelitiannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penyusunan skema kolaborasi yang melibatkan stakeholder dari berbagai latar belakang keahlian.
“Perlu disesuaikan dengan daftar kebutuhan kompetensi dalam melaksanakan kolaborasi pengembangan teknologi pertahanan,” kata Teguh.
Dia juga merekomendasikan sejumlah poin kepada Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), bagi industri pertahanan Indonesia, bank/lembaga keuangan, hingga DPR RI.
Promotor disertasi tersebut adalah Laksda TNI (Purn) Dr. Ir. Siswo Hadi Sumantri; dengan Co-Promotor 1 adalah Laksda TNI Dr. Ir. Suhirwan; serta Co-Promotor 2 Dr. Ir. Jupriyanto.
Sementara Penguji Internal 1 adalah Mayjen TNI Dr. Joni Widjayanto; yang kedua Brigjen TNI Dr. Resmanto Widodo P; yang ketiga adalah Kolonel Laut (T) Dr. Ir. Aris Sarjito. Sementara Penguji Eksternal adalah Prof. Dr. S. Pantja Djati; Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi; dan Prof. Ir. Sjarief W.
Hasto mengaku menyempatkan diri untuk hadir karena baginya ilmu pertahanan berkaitan dengan mati hidupnya suatu bangsa.
Menurut Hasto, kepemimpinan Indonesia bagi dunia memerlukan keunggulan kekuatan pertahanan negara.
“Bukan hanya aspek militer semata, namun bagaimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan industri pertahanan, dan membangun kekuatan pertahanan atas cara pandang geopolitik dapat dilakukan dengan menjadikan aspek demografi, teritorial, politik, militer, sumber daya alam, koeksistensi damai dan penguasaan sains dan teknologi untuk didayagunakan sebagai instrument of national power bagi kepentingan nasional Indonesia,” papar Hasto seusai sidang promosi. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi