Heboh Isi Top Up E-Money Kena PPN, Simak Penjelasan DJP

Rabu, 13 April 2022 – 19:48 WIB
Keluhan bermunculan lantaran top up e-money atau isi ulang uang elektronik dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ilustrasi: Elvi R/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Keluhan bermunculan lantaran top up e-money atau isi ulang uang elektronik dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Menanggapi hal itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor menegaskan PPN hanya dikenakan atas biaya jasa dari perusahaan teknologi finansial (fintech).

BACA JUGA: Bayar Parkir di Bandara Sepinggan Bisa Gunakan e-Money

PPN itu dipungut kepada perusahaan sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi.

Artinya, PPN dengan tarif 11 persen tidak dikenakan secara langsung terhadap nominal transaksi di layanan teknologi finansial tersebut.

BACA JUGA: Praktis! Begini Cara Mudah Top Up Flazz BCA

"Misalnya kita top up e-money Rp 10 juta, umumnya terdapat biaya jasa atau kita kenal sebagai fee sekitar Rp 500 atau Rp 1.500 tergantung dari pemberi jasa. Nah, atas fee Rp 500 inilah yang nantinya akan dikenai PPN 11 persen sehingga PPN yang dipungut hanya sebesar Rp 55," terang Neilmaldrin dalam keterangan resmi, Rabu (13/4).

Adapun ketentuan PPN itu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

BACA JUGA: Pemain Gim Meningkat, Bisnis Top Up Makin Menjanjikan

Kendati demikian, DJP menyebut, tidak semua jasa fintech akan dipungut PPN.

Menurut Neilmaldrin, hanya jasa berupa pembayaran, penyelenggaraan penyelesaian transaksi (settlement) investasi, penyelenggaraan penghimpunan modal, layanan pinjam meminjam, pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi online, pendukung pasar, pendukung keuangan digital, dan aktivitas jasa keuangan lain.

"Jasa penempatan dana atau pemberian dana, jasa pembiayaan, dan asuransi online dibebaskan dari pengenaan PPN," ungkapnya.

Dia menjelaskan selain mengatur tentang pemungutan PPN, PMK Nomor 69 Tahun 2022 ini juga mengatur pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) fintech yang memberi layanan pinjam meminjam atau P2P Lending atas penghasilan bunga yang diterima kreditur melalui platform tersebut.

"Bunga yang diterima kreditur wajib pajak dalam negeri dari fintech P2P lending akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 15 persen dari jumlah bruto bunga," bebernya.

Kemudian, PPh pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto bunga atau sesuai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) akan dipungut dari bunga yang diterima kreditur wajib pajak luar negeri.

Neilmaldrin menyebut pengenaan pajak terhadap penyelenggaraan bisnis fintech menunjukkan langkah serius pemerintah dalam menerapkan perlakuan yang sama bagi industri jasa keuangan.

“Perlu dipahami bahwa penerapan pajak pada digital economy sebelumnya sudah diterapkan lebih dulu pada kegiatan ekonomi konvensional, pada intinya tidak terdapat objek pajak baru dan hanya terdapat perbedaan cara bertransaksi,” pungkas Neilmaldrin. (mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler