Hendardi: DPR Sponsori Penyimpangan UU TNI Melalui R-Perpres Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme

Kamis, 08 Oktober 2020 – 15:30 WIB
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme dalam forum konsultasi DPR dan Pemerintah belum menunjukkan kemajuan signifikan untuk memastikan integritas criminal justice system dan penanganan tindak pidana terorisme secara adil dan akuntabel.

DPR dan pemerintah masih belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, level terorisme yang membutuhkan pelibatan TNI, batasan keterlibatan TNI, sehingga berpotensi menjadikan TNI sebagai penegak hukum, yang justru bertentangan dengan sistem hukum pidana Indonesia.

BACA JUGA: Ribuan Buruh Bikin Lumpuh Jalur Protokol Kota Bekasi, TNI dan Polri Siaga

“Isu tentang lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas TNI, adanya sumber anggaran daerah serta potensi benturan dengan aparat penegak hukum akibat kerancuan substansi, belum mendapatkan perhatian serius DPR,” kata Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi di Jakarta, kemarin.

Menurut Hendardi, tugas DPR khususnya Komisi I DPR yang merupakan mitra TNI adalah memastikan UU 34/2004 tentang TNI dijalankan secara konsisten untuk menopang profesionalisme TNI.

BACA JUGA: Pelibatan TNI-Polri dalam Penanganan Covid-19 Bukan untuk Menakuti Rakyat

Melalui forum konsultasi pembentukan R-Perpres ini, kata dia, Komisi I DPR justru mensponsori penyimpangan UU TNI, khususnya terkait dengan ketentuan operasi militer selain perang (OMSP).

Komisi I mendorong keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dalam kerangka criminal justice system, yang justru merupakan pengingkaran terhadap integritas sistem hukum nasional.

BACA JUGA: Respons Petrus Terkait Rencana Pelibatan TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme

“TNI bukanlah penegak hukum. Karena itu pelibatannya dalam penanganan terorisme hanya terbatas pada jenis dan level terorisme yang spesifik,” tegas Hendardi.

Menurut Hendardi, konsultasi DPR dan pemerintah harus dilakukan terbuka dan kembali menghimpun masukan publik secara serius. Komisi I DPR harus berhati-hati membahas R-Perpres ini, karena berpotensi merusak sistem hukum Indonesia.

“Jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan R-Perpres tersebut kepada pemerintah untuk dapat diperbaiki kembali sebelum dibahas lebih lanjut,” katanya.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler