jpnn.com - INILAH contoh nyata: kesulitan tidak hanya dikeluhkan tetapi harus diterobos. Sang penerobos datang dari Desa Sine –Anda pasti tahu di mana Sine: di pelosok Walikukun, lereng utara Gunung Lawu, nun di pedalaman Ngawi.
Nama beliau: Rudi Fachrudin. Umur 50 tahun. Anak petani. Ditinggal mati orang tua ketika masih kecil. Tidak pernah merasakan bangku kuliah.
BACA JUGA: Setelah Putaran
Setamat SMA Muhammadiyah II Ngawi dia langsung cari kerja di Jakarta: di perusahaan kayu.
BACA JUGA: Solusi Sapi
Jakarta rusuh –1998.
Perusahaan tutup.
BACA JUGA: Kaca Spion
Rudi pulang ke Sine. Hanya ada singkong di Sine. Dia bikin keripik singkong. Keripik pedas. Dia punya kenalan orang Padang di Ngawi. Orang Padang itulah yang memasarkan keripiknya. Lancar. Selama 1,5 tahun.
Tiba-tiba sahabatnya itu pulang ke Padang. Usaha keripiknya pun berhenti.
"Ternyata punya kemampuan produksi saja tidak cukup. Tanpa kemampuan marketing usaha tidak jalan," ujarnya.
Rudi pun ingin punya kemampuan marketing. dIa ke Surabaya. Cari kerja yang terkait marketing. Dia jualan alat-alat rumah tangga di perusahaan besar. Dalam dua tahun berhasil jadi penjual yang baik.
Datanglah Covid-19.
Rudi pulang ke Sine. Di Sine Rudi melihat begitu banyak tanah telantar. Milik desa. Dia tahu mengapa telantar: ditanami jagung dimakan kera; ditanami ubi dimakan babi. Desa itu memang di pinggir hutan jati.
Saat itu Rudi sudah sering mendengar kata porang: lagi populer saat itu. Dia menyebut nama orang yang memopulerkannya –Anda mungkin tidak tahu siapa nama orang itu.
Rudi pun menanam porang. Dua hektare. Harga jual porang lagi gila-gilaan: sampai Rp 8.000/kg basah. Petani lain pun ikut menanam di lahan sekitarnya. Total sekitar 30 petani yang ikut jejak Rudi.
Harga porang jatuh. Tinggal Rp 2.500/kg. Kalau toh sempat naik lagi hanya sampai Rp 3.000/kg. Harga tinggi tidak pernah datang lagi.
Banyak petani yang kapok menanam porang. Apalagi yang lahannya subur. Rugi besar.
Sejak awal sebenarnya sudah dibilang: jangan menanam porang di lahan subur; tanamlah porang di lahan gersang; sejelek-jelek harga porang masih lumayan –dibanding tidak ditanami apa-apa.
Rudi punya logika lebih jelas: kalau usaha porang jelek mengapa pabrik porang milik pengusaha besar bertambah besar.
"Hilirisasi".
Porang pun seperti nikel: perlu hilirisasi. Porang memang tidak masuk program hilirisasi di debat capres, tetapi masuk dalam pikiran orang Sine bernama Rudi.
"Hanya saja tidak ada modal".
Hilirisasi apa pun perlu modal besar –bahkan modal asing.
Rudi tidak punya modal besar. Tetapi tidak kehilangan akal. Dia menemukan hilirisasi porang gaya Sine: hilirisaai bertahap.
Rudi pun berdiskusi dengan teman spiritualnya: Ustaz Mansur Shodiq. Dari Blitar. Alumnus pondok Gontor, Ponorogo. Juga alumni Yanbu-ul Quran, Kudus.
Mereka mendirikan De Porang. Singkatan dari Dewan Porang Pesantren Indonesia. Itu di bawah APIK (Asosiasi Pesantren Indonesia Kreatif). Ustaz Mansur yang jadi ketua.
Di situ ada Koperasi Produsen Nasional Tani Santri Mandiri Indonesia.
Maka di Sine dibuat pabrik porang sederhana. Baru untuk tahap awal dari keseluruhan hilirisasi porang. Yakni masih sebatas pabrik pencuci, pembuat cip, pengering cip, dan pembuat tepung.
Petani porang Sine menyetorkan umbi ke pabrik itu. Di situlah dicuci, diiris-iris jadi cip, dikeringkan di oven, digilas jadi tepung.
Tentu tepungnya belum bisa diolah jadi makanan: masih mengandung asam oksalat. Yakni zat yang membuat porang sangat gatal di mulut.
Tepung itu masih harus dikirim ke pabrik pemisah tepung: minta dipisahkan glukomanannya dengan oksalatnya.
Setiap dua kilogram tepung porang menjadi satu kilogram glokomanan. Biasa juga disebut tepung konjak.
Tepung oksalatnya sendiri tidak dibuang. Masih bisa dijual: bisa jadi bahan baku banyak hal termasuk pabrik lem.
Setelah memperoleh glukomanan Rudi melangkah lebih ke hilir lagi: menjadikan konjak porangnya sebagai makanan.
Sebagian dijual dalam bentuk beras porang. Sebagian lagi dijadikan mi porang.
Lihatlah di marketplace. Ada produk mi porang merek Mie Porangku. Lengkap. Berbagai rasa.
Satu bungkus Rp 5.000. Itulah mi porang produksi Rudi.
Berapa persen kandungan porangnya?
"Sampai 40 persen," ujar Rudi.
Tentu banyak orang tua yang tertolong. Terutama yang ingin menyelamatkan anak mereka dari gluten di terigu. Anak-anak tetap boleh kecanduan mi tanpa terlalu banyak mengonsumsi gluten.
Mie Porangku datang tepat waktu: di zaman marketplace jadi andalan umat manusia. Rudi tidak perlu investasi membangun jaringan distribusi. Penjualannya sepenuhnya online.
Kini produsen mi tidak lagi harus di Jakarta atau Surabaya. Di Sine pun jadi.
Setelah setahun berjalan Rudi yakin di hilirisasi poranglah masa depannya: tiap bulan sudah bisa menjual 3.000 bungkus. Penjualan pun terus meningkat.
Perjalanan hilirisasi Rudi masih jauh. Dia belum punya pabrik mi. Dia masih maklun: bikin mi di pabrik mie milik orang lain.
Hilirisasi Rudi adalah hilirisasi mandiri.
Pemerintah tidak harus membantu. Yang terpenting jangan mengganggu.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Bintang
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi