Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah mengatakan, BI memang secara berkala melakukan stress test dengan menguji ketahanan perbankan terhadap gejolak makro ekonomi. Salah satunya pergerakan nilai tukar Rupiah.
"Hasil stress test, dengan depresiasi Rupiah saat ini, kinerja perbankan dan importer masih solid," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (17/7).
Menurut Difi, BI melakukan stress test terkait gejolak nilai tukar karena beberapa sektor industri di Indonesia memiliki komponen impor tinggi. Sehingga, depresiasi Rupiah akan membuat perusahaan menanggung beban biaya produksi yang lebih mahal.
"Nah, ada sekitar 7 ribu perusahaan besar yang masuk kategori ini dan mereka merupakan debitur perbankan," katanya.
Karena itu, BI pun berkepentingan untuk mengukur dampak pelemahan Rupiah terhadap kinerja importer tersebut. Sebab, jika perusahaan itu limbung, maka potensi gagal bayar atau kredit macet akan membengkak dan akan menyeret kinerja perbankan.
Data BI menunjukkan, per akhir 2012, sekitar 7 ribu perusahaan tersebut memiliki kredit korporasi sebesar Rp 161,8 triliun yang tersebar pada 25.700 rekening di 109 bank. Angka kredit macet atau nonperforming loan (NPL) tercatat sebesar 3,1 persen, atau masih dalam koridor aman (di bawah 5 persen).
Bagaimana stress test yang dilakukan? BI mengukur dampak depresiasi Rupiah sepanjang 2012 lalu. Di awal tahun (2 Januari 2012), Rupiah berada di posisi 9.125 per USD dan di akhir tahun (28 Desember 2012) di posisi 9.670 per USD, sehingga Rupiah terdepresiasi 5,97 persen.
Difi mengatakan, BI lantas melakukan rangkaian stress test dengan asumsi Rupiah melemah 6 persen, 9, persen, hingga 12 persen. Sehingga, jika dihitung dari posisi awal tahun 2012, maka pelemahan 12 persen berarti Rupiah sampai pada posisi 10.220 per USD.
"Jadi, 180 poin lebih lemah dibanding penutupan hari ini (kemarin, Red) yang di posisi 10.040 per USD," ucapnya.
Lantas, apa hasilnya? Data BI menunjukkan, jika Rupiah melemah hingga 10.220 per USD, laba perusahaan sektor manufaktur dengan komponen impor tertinggi (24 persen) bakal menyusut 2,88 persen. Penyusutan laba tersebut menurunkan debt service coverage ratio (DSCR) atau kemampuan membayar kredit sebesar 0,19 persen.
Difi mengatakan, hal tersebut lalu berdampak pada kredit macet perbankan yang akan naik dari 1,94 persen menjadi 1,95 persen. Sedangkan rasio kecukupan modal (CAR) akan turun tipis dari 17,32 persen menjadi 17,31 persen. "Jadi, efek pelemahan Rupiah ini tidak signifikan dan perbankan kita masih memiliki modal yang kuat," jelasnya.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Arifianto mengatakan, saat ini, dengan berbagai rasio yang ada, perbankan Indonesia memang masih memiliki bantalan yang cukup kuat untuk menghadapi gejolak makroekonomi. "Dibanding negara lain, posisi perbankan Indonesia masih lebih baik," ujarnya. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Minta BUMN Berhemat Gelar Acara Seremonial
Redaktur : Tim Redaksi