jpnn.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta adanya penghentian sementara dan evaluasi dari pelaksanaan program Kartu Prakerja yang dinilai tidak efektif dalam situasi penyebaran wabah COVID-19 masih berlangsung.
Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Anggawira dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (8/5), mengatakan sejak awal Kartu Prakerja dirancang untuk dilakukan pada situasi normal, bukan untuk situasi krisis seperti saat ini, ketika banyak perusahaan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
BACA JUGA: MUI Desak Presiden Jokowi Batalkan Peraturan Pelonggaran Transportasi
"Tahun 2020 ini adalah tahun krisis bagi semua orang, lapangan pekerjaan pun berkurang. Sangat disayangkan pemerintah terlalu memaksakan untuk meluncurkan program Kartu Prakerja di situasi seperti ini," katanya.
Alhasil, menurut Anggawira, yang terjadi adalah kurang adanya transparansi imbas keterburu-buruan tersebut, sehingga memunculkan asumsi pada masyarakat akan adanya potensi maladministrasi.
BACA JUGA: Update Corona 8 Mei: Kasus OTG, ODP, dan PDP di DKI Masih Tinggi
Ia menambahkan, mekanisme pelatihan daring dalam program Kartu Prakerja menjadi sebuah pertanyaan besar. Pasalnya, tidak ada keterbukaan perihal proses pelibatan Skills Academy (Ruangguru), Tokopedia, Bukalapak, Sekolahmu, Pintaria, Pijar Mahir, Sisnaker, dan MauBelajarApa sehingga dapat menjadi platform digital yang terpilih sebagai mitra pemerintah.
"Ada ruang gelap dalam pengelolaan dana APBN untuk pelatihan daring sebesar Rp5,6 triliun. Sampai saat ini belum ada transparansi bagaimana alokasi dana, dana berapa yang dibayarkan kepada delapan lembaga mitra pemerintah tersebut. Telah banyak keluhan karena video pelatihan daring tersebut berisi materi yang cukup menggelikan seperti cara memasak dan memancing, apalagi ini program pemerintah dengan anggaran triliunan," tambahnya.
BACA JUGA: Update Corona 7 Mei: Ada Kabar Baik dari Gorontalo Hari Ini
Anggawira menekankan materi pelatihan harus memenuhi standar Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) agar bisa diserap perusahaan.
"Misal ada pelamar di sebuah perusahaan bidang hukum dengan bermodalkan CV dan sertifikat pelatihan dari platform mitra Pemerintah. Tanpa adanya sertifikasi profesi advokat dari BNSP, tentu akan sulit. Ini berguna untuk menunjang kompetensi pelamar dan berlaku hampir untuk semua profesi strategis," katanya.
Anggawira menilai, seharusnya yang terlibat dalam mempersiapkan pelatihan tenaga kerja Indonesia adalah Balai Latihan Kerja (BLK), perguruan tinggi, dan dari dunia usaha itu sendiri.
Menurut dia, ketiga entitas tersebut dinilai lebih tepat untuk mempersiapkan materi serta keterampilan apa saja yang dibutuhkan dan harus dikuasai untuk bersaing di dunia kerja.
"Untuk meminimalisir anggaran, pemerintah dapat memanfaatkan BLK sebagai sarana pelatihan masyarakat. Selain itu, sinergitas dengan perguruan tinggi merupakan sebuah keharusan untuk menyediakan materi pelatihan yang berkualitas. Lalu kenapa dunia usaha harus dilibatkan? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pengusaha yang paling tahu apa yang dibutuhkan industri," katanya. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fajar W Hermawan