jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengusulkan MPR sebagai lembaga yang sudah membuat TAP MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, juga serius merealisasikan ketentuan soal etika tersebut melalui pembentukan Mahkamah Kehormatan Majelis.
Menurutnya, pembentukan mahkamah ini juga sebagai respons konkret atas kesepakatan MPR dengan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang akan menyelenggarakan Konvensi Nasional Ke-II tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
BACA JUGA: Catatan Ketua MPR RI, Merawat Ketahanan Komunal di Tengah Pandemi
Ia menyatakan MPR pada Tahun 2001, saat masih menjadi lembaga tertinggi negara, telah membuat TAP MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, harusnya memang tidak ketinggalan dalam komitmen beretika.
"Salah satunya dalam pembentukan badan penegakan etika, karena DPR dan DPD, dua lembaga legislatif yang lain, malah sudah membentuknya," ungkap sosok yang karib disapa Ustaz HNW itu dalam siaran persnya, Kamis (13/8).
BACA JUGA: Sidang Tahunan MPR RI Besok Bakal Ketat, Jarak Dijaga, Peserta Dibatasi
HNW menjelaskan DPR mempunyai Mahkamah Kehormatan Dewan, dan DPD memiliki Badan Kehormatan Dewan (DBD).
Karena itu, HNW menyatakan sudah seharusnyalah bila MPR segera membentuk lembaga sejenis, misalnya dengan nama Mahkamah Kehormatan Majelis (MKM).
BACA JUGA: MPR RI Gelar Rapid Test untuk Wartawan Peliput Sidang Tahunan MPR
"Memang semua anggota MPR adalah sekaligus anggota DPR atau anggota DPD, tetapi ada berbagai kegiatan yang khas di MPR, diikuti oleh anggota MPR sebagai anggota MPR, dan itu tidak terdapat di DPR atau DPD," ujarnya.
Misalnya, HNW mencontohkan, kegiatan terkait sosialisasi 4 Pilar MPR, kegiatan-kegiatan di Badan-Badan MPR serta kegiatan terkait pelaksanaan hak MPR dan anggota MPR terkait pengkajian /pelaksanaan / perubahan terhadap UUD, Tata Tertib MPR dan lain-lain.
"Dengan pembentukan Mahkamah Kehormatan tersebut, MPR menghadirkan komitmen lebih kuat untuk melaksanakan berbagai ketentuan hukum yang dibuatnya sendiri, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat MPR sebagai lembaga pemusyawaratan rakyat, dan muruah pimpinan serta anggotanya dan lembaga MPR-nya," papar dia.
Sebagaimana diketahui, berbagai lembaga negara telah memiliki lembaga penegak kode etik. KY telah memiliki DKPP , DPR memiliki MKD, begitu juga DPD yang mempunyai BKD, hingga Komite Etik atau Dewan Pengawas KPK.
Ustaz HNW menyatakan dengan penegakan kode etik yang terdapat di berbagai lembaga negara tersebut, maka diharapkan para penyelenggara termasuk di MPR, makin terdorong untuk kian amanat melaksanakan amanat rakyat, dan bisa meminimalisir kasus pelanggaran hukum yang bermula dari pelanggaran etik.
"Sehingga berbagai kasus pelanggaran etik tak terjadi sehingga tak perlu lagi dihadapkan dengan peradilan umum," kata HNW.
Usulan ini juga merupakan dukungan atas urgensi adanya Mahkamah Etik yang disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menyatakan bahwa ketiadaan Mahkamah Etik, orang yang diputus melakukan kesalahan etika oleh masing-masing penegak kode etik, mengajukan banding atau mencari keadilan ke peradilan umum, entah melalui Mahkamah Agung maupun PTUN. Padahal antara etika dan hukum, adalah dua hal yang berbeda. Orang yang bersalah secara etika, belum tentu bersalah di mata hukum. Namun yang bersalah di mata hukum, sudah pasti bersalah di mata etika."
Landasan pembentukan Mahkamah Etik bisa mengacu kepada TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Dan langkah ini juga sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Sidang Umum Tahun 1996 yang merekomendasikan agar seluruh negara anggotanya, termasuk Indonesia, membangun "ethic infra-structure in public offices" yang mencakup kode etik dan lembaga penegak kode etik.
Indonesia telah merespons hal itu dengan membentuk berbagai lembaga penegak kode etik.
Mahkamah Etik atau Mahkamah Kehormatan MPR ini, oleh HNW diusulkan untuk bisa dibentuk dan dideklarasikan oleh MPR pada saat peringatan HUT MPR ke 75, 29 Agustus 2020.
Dan bila terlaksana, maka hal itu akan jadi modal moral MPR saat akan terlibat lanjutkan pembahasan Pembentukan Konvensi Nasional ke II soal Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, pada Oktober atau November 2020, yang oleh MPR RI akan diadakan bersama KY dan DKPP.
Dalam Konvensi tersebut, rencananya selain menghadirkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, juga berbagai pimpinan penegak kode etik.
Mulai dari ketua KY, ketua DKPP, ketua MKD DPR RI, ketua BK DPD RI, ketua Dewan Etik MK RI, ketua KASN, ketua Majelis Kehormatan PERADI, ketua Majelis Etika Ikatan Notaris Indonesia, ketua Dewan Pers, para ketua Dewan Kehormatan masing-masing partai politik yang berada di DPR, serta lembaga penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
"Melalui konvensi tersebut diharapkan lahir berbagai gagasan dan kesepahaman tentang pentingnya keberadaan Mahkamah Etik. Dengan demikian mengurangi beban kerja penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan umum karena tak perlu lagi repot menangani masalah etika. Sehingga Indonesia bisa mencatat sejarah baru di dunia, sebagai negara yang memelopori penegakan etika secara transparan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," urai Bambang Soesatyo.
Mahkamah Etik akan menjadi ujung dari proses penegakan etik dan setiap putusan etika yang diputuskan berbagai penegak kode etik yang terdapat di lingkup MPR.
Di sampiing itu, kata HNW, keberadaan Mahkamah Etik MPR juga akan membentengi dan menyemangati MPR (pimpinan dan anggotanya) untuk lebih menjaga muruah mereka saat laksanakan tugas dari/di MPR, meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap MPR.
"Juga sebagai bentuk pengamalan terhadap Pancasila, khususnya Sila I dan II, yang selalu disosialisasikan MPR,” pungkas HNW. (Boy/rls/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy