BANDUNG- Meski Pemerintah Kota Bandung sudah membuat Perda khusus untuk para kaum difabel, namun akses terhadap hukum yang berkeadilan masih sangat langka dirasakan kaum difabel. Begitu juga dengan persamaan hak dari mulai pendidikan sampai dengan pekerjaan.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Bandung Independent Living Center(BILiC), Yati Suryati Dinata menurutnya, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan perubahan fundamental bagi perwujudan hak-hak difabel dengan mengesahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagai upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel di seluruh Indonesia.
“Pada pasal 12 dan 13 konvensi tersebut, ditegaskan bahwa difabel mempunyai kedudukan yang Setara di Hadapan Hukum dan memiliki hak atas Akses yang sama Terhadap Peradilan. Namun sayangnya kebijakan tersebut belum diimplementasikan dengan baik,” tuturnya.
Menurutnya, akses terhadap hukum yang berkeadilan masih sangat langka dirasakan bagi komunitas difabel, terutama bagi perempuan difabel. “Faktanya banyak kasus kekerasan seksual bahkan pemerkosaan yang tidak diproses secara hukum, dengan alasan lemahnya bukti, minimnya aksesibilitas hukum bagi difabel bahkan difabel dianggap tidak mampu memberikan kesaksian dalam proses peradilan,” tegasnya.
Selain itu, begitu pula dalam aspek pendidikan. Umumnya penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan untuk mengakses sekolah umum. Penyandang disabilitas umumnya menempuh pendidikan di SLB, yang sesungguhnya hanya tepat untuk penyandang disabilitas yang mengalami keterbatasan kecerdasan.
“Tahun-tahun belakangan pemerintah memang menggalakkan pendidikan inklusi. Namun jumlah guru berkualifikasi GPK (Guru Pendidikan Khusus) masih sangat minim dan tidak memadai dibanding jumlah sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah inklusi,” tuturnya.(tie)
Hal tersebut diungkapkan Direktur Bandung Independent Living Center(BILiC), Yati Suryati Dinata menurutnya, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan perubahan fundamental bagi perwujudan hak-hak difabel dengan mengesahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagai upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel di seluruh Indonesia.
“Pada pasal 12 dan 13 konvensi tersebut, ditegaskan bahwa difabel mempunyai kedudukan yang Setara di Hadapan Hukum dan memiliki hak atas Akses yang sama Terhadap Peradilan. Namun sayangnya kebijakan tersebut belum diimplementasikan dengan baik,” tuturnya.
Menurutnya, akses terhadap hukum yang berkeadilan masih sangat langka dirasakan bagi komunitas difabel, terutama bagi perempuan difabel. “Faktanya banyak kasus kekerasan seksual bahkan pemerkosaan yang tidak diproses secara hukum, dengan alasan lemahnya bukti, minimnya aksesibilitas hukum bagi difabel bahkan difabel dianggap tidak mampu memberikan kesaksian dalam proses peradilan,” tegasnya.
Selain itu, begitu pula dalam aspek pendidikan. Umumnya penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan untuk mengakses sekolah umum. Penyandang disabilitas umumnya menempuh pendidikan di SLB, yang sesungguhnya hanya tepat untuk penyandang disabilitas yang mengalami keterbatasan kecerdasan.
“Tahun-tahun belakangan pemerintah memang menggalakkan pendidikan inklusi. Namun jumlah guru berkualifikasi GPK (Guru Pendidikan Khusus) masih sangat minim dan tidak memadai dibanding jumlah sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah inklusi,” tuturnya.(tie)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Moge Dokter Tabrak Mobil Jenazah
Redaktur : Tim Redaksi