HUT RI, Fraksi PKS Beri Catatan untuk Capaian Pemerintahan Jokowi

Senin, 21 Agustus 2023 – 12:27 WIB
Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini. Foto: Source for JPNN.com.

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwani mengucapkan selamat HUT Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia. 

Menurutnya, kemerdekaan merupakan anugerah terbesar bangsa Indonesia dan wajib disyukuri. 

BACA JUGA: Jokowi Tunjuk Sandiaga Uno Jadi Menko Marves Ad Interim

Di momen HUT Ke-78 RI ini, Fraksi PKS pun mengkritisi capaian pembangunan era Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pertama, soal kinerja pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, tetapi perlu waspada. 

BACA JUGA: PDIP Tetap Dukung Ambisi Besar Jokowi Meski Ganjar Dikeroyok di Pilpres 2024

Pertumbuhan ekonomi stagnan maksimal 5 persen dengan rerata dari 2014-2024 hanya 4,2 persen. 

Angka ini jauh dari optimisme Presiden Jokowi di awal menjabat, yaitu 7 persen. 

BACA JUGA: Jokowi Sering Mengunjungi Sumut, Edy Rahmayadi: Provinsi Kita Cukup Spesial

Belum pernah menyentuh target yang direncanakan hingga akhir 2024, yakni di angka 6 persen - 6,2 persen.

"Dengan tingkat pertumbuhan itu, rasanya makin sulit mencapai target menjadi negara maju pada Indonesia Emas 2045," papar Jazuli dalam keterangannya, Senin (21/8). 

Kedua, tingkat kemiskinan masih sangat tinggi. Tidak bergeser banyak dari 10 tahun silam. Terlebih lagi, saat Indonesia dihantam pandemi Covid-19 selama tiga tahun. 

Menurut Jazuli, ada 9,36 persen atau 25,90 juta orang berada di bawah garis kemiskinan, dan 1,12 persen di kemiskinan ekstrem (Maret 2023). 

Sejalan dengan itu, angka pengangguran terbuka 5,45 persen pada Februari 2023. 

Di sisi lain, tenaga kerja mayoritas 60 persen didominasi oleh naker informal dan berpendidikan rendah. 

Potret naker Indonesia juga masih dominan di sektor tradisional dengan upah yang rendah. 

Selain itu, perkembangan digitalisasi dan otomatisasi yang berlangsung masif dan cepat, berpotensi menimbulkan disrupsi pada kompetensi dan pasar naker Indonesia. 

"Kalau tidak cepat diantisipasi akan makin banyak tenaga kerja menganggur di republik ini," ungkapnya. 

Ketiga, kualitas sumber daya manusia masih kalah dan tertinggal dari negara-negara di kawasan. 

Dia menilai pemerintah belum bisa mengoptimalkan kinerja anggaran 20 persen dari APBN untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. 

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada posisi 130 dari 199 negara (2022). 

Indeks Daya Saing Global Indonesia pada posisi 34 dari 64 negara yang dinilai (2023). 

Skor PISA (Program for Internasional Student Assessment) Indonesia juga masih di bawah rerata OECD dan ASEAN-5. 

Hal yang sama juga ditunjukkan dari angka partisipasi kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan negara lain. 

"Hal itu menunjukkan mandatory spending untuk pendidikan belum optimal kinerjanya," paparnya.

Keempat, sektor kesehatan rakyat masih mengidap banyak masalah. 

Alokasi anggaran kesehatan 2024 direncanakan sebesar Rp 186,4 triliun atau 5,6 persen dari APBN, sesungguhnya belum membawa perubahan yang signifikan bagi kualitas layanan kesehatan dalam sepuluh tahun terakhir. 

"Prevalensi stunting (gizi buruk) meski terus menurun, tetapi masih tinggi berdasarkan standar WHO," ungkapnya.

Dia menambahkan pemerataan kesehatan, ketersediaan dokter, nakes dan obat-obatan di daerah terpencil masih bermasalah. 

Menurut dia, masalah lain ialah belum optimalnya layanan dasar dan kegiatan promotif dan preventif.

Hal itu tercermin dari masih tingginya persentase puskesmas yang belum memenuhi standar tenaga kesehatan dan kelayakan secara peralatan.

Kelima, ketimpangan ekonomi sosial rakyat Indonesia masih sangat lebar. 

Kue pembangunan dan kekayaan nasional dinikmati secara tidak merata. 

Dalam catatan World Bank, ketimpangan di Indonesia menjadi nomor 3 terburuk di dunia. 

"Satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50,2 persen kekayaan nasional," katanya.

Jazuli menambahkan rasio gini juga masih lebar.  

Pada Maret 2023, angkanya meningkat menjadi 0,388 dari September 2022 yang sebesar 0,381. 

"Ini menunjukkan ketimpangan ekonomi makin lebar," tegas Jazuli. 

Keenam, lanjut Jazuli, indeks Persepsi Korupsi terus mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di periode kedua Pemerintahan Jokowi. 

IPK Indonesia posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34 turun dari tahun sebelumnya skor 38 (2022). 

Jazuli mengatakan bahwa pejabat era Jokowi banyak menjadi tersangka dan terpidana korupsi (lima menteri dan puluhan pejabat) dengan total kerugian negara mencapai ratusan miliar hingga triliunan. 

"Hal ini menunjukkan tingginya moral hazard dan kebocoran anggaran yang semestinya bisa mempercepat kemajuan," kata anggota Komisi I DPR itu. 

Ketujuh, pemerintah masih belum mampu mewujudkan swasembada pangan nasional yang sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan. 

Impor masih terus dilakukan, tanpa memperhatikan musim panen dan fokus pada ketahanan pangan. 

"Sementara itu, program Food Estate yang diharapkan menjadi lumbung pangan, gagal dilaksanakan di beberapa kawasan sehingga menyisakan kerugian serta kerusakan lingkungan," paparnya.

Kedelapan, kemandirian pembangunan nasional dari jerat utang cukup mengkhawatirkan. 

Beban utang pemerintah yang akan diwariskan pada generasi mendatang angkanya sudah mencapai Rp 7.855,53 triliun per 31 Juli 2023. 

Dengan jumlah itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 37,8 persen. 

Selain itu, pembayaran bunga utang dalam APBN 2024 mencapai Rp 497,32 triliun atau meningkat 12,7 persen dari 2023. 

Bunga utang mencapai 15,05 persen dari belanja negara, 75,5 persen dari anggaran pendidikan dan 266 persen dari belanja kesehatan, sebuah nilai yang sangat membebani APBN. 

"Sayangnya, APBN yang terbatas justru digunakan untuk proyek yang ambisius, tidak prioritas, bahkan bermasalah sejak perencanaan seperti membangun ibu kota negara baru, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, termasuk penyertaan modal untuk BUMN-BUMN yang terus merugi," ungkap dia. 

Kesembilan, sejumlah undang-undang dan kebijakan nasional nir-partisipasi publik yang memadai bahkan kerap menafikan suara-suara kritis dan konstruktif. 

Sehingga undang-undang tersebut mendapat penolakan luas karena merugikan masyarakat dan kepentingan nasional. 

Sebaliknya, UU dan kebijakan tersebut dinilai memperkuat oligarki, liberalisasi ekonomi, resentralisasi dan pelemahan demokrasi sosial ekonomi dalam berbagai bidang. 

"Di antara UU yang bermasalah adalah UU Cpta Kerja, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Ibu Kota Negara, UU KUHP, UU Kesehatan, dan lain-lain," ungkapnya.

Jazuli mengatakan seluruh permasalahan di atas harus memacu semangat dan optimisme bangsa Indonesia untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler