Ibrahim

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 09 Juli 2022 – 15:25 WIB
Salah seorang calon haji asal Pamekasan, Madura dari Kloter 23 Embarkasi Surabaya (SUB 23) Agus Subagio mengisi waktu menjelang wukuf di Arafah, Jumat (8/7/2022) dengan membaca zikir . (ANTARA/Desi Purnamawati)

jpnn.com - Haji menjadi ritual untuk menapak tilas perjalanan kehidupan pribadi dan perjalanan religiusitas Nabi Ibrahim.

Dalam sejarah agama-agama di dunia Ibrahim dikenal sebagai bapak tauhid yang memperkenalkan motoisme yang  menyembah satu tuhan yang tunggal.

BACA JUGA: Profil Guruh Tirta Lunggana, Penerus Haji Lulung Memimpin PPP DKI Jakarta

Ibrahim menjadi bapak yang melahirkan agama-agama langit atau samawi, Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Tiga agama itu mempunyai akar monoteisme yang sama yang bersumber kepada Ibrahim.

BACA JUGA: Puan Minta Pengawasan di Tempat Penjualan Hewan Kurban Diperketat

Akan tetapi, ketiga agama itu justru sampai sekarang tetap terlibat ketegangan dan permusuhan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari titik temu ketiga agama itu, tetapi sampai sekarang berbagai pertikaian yang melibatkan tiga agama itu masih sering terjadi.

BACA JUGA: Jokowi Salurkan Hewan Kurban ke 34 Provinsi, 1 Daerah Sempat Menolak, Ada Apa?

Setelah bubarnya Uni Soviet dan munculnya Amerika sebagai entitas superpower tunggal, Samuel Huntington meramalkan bahwa konflik yang terjadi di dunia akan mengalami pergeseran.

Kalau sebelumnya konflik terjadi karena benturan ideologi antara kapitalisme vs komunisme, maka menurut ramalan Huntington konflik berikut akan terjadi karena munculnya benturan peradaban.

Huntington tidak menyebut benturan akan terjadi antar-agama.

Akan tetapi, benturan antar-peradaban yang diramal oleh Huntington mau tidak mau melibatkan benturan agama, karena dalam pandangan Huntington peradaban yang bakal berbenturan paling keras adalah peradaban barat yang Kristen dan timur yang Islam.

Reza Aslan lebih spesifik menyebut peperangan yang bakal muncul pasca-Perang Dingin adalah ‘’the clash of monotheism’’ benturan antar-agama monoteis yang bersumber pada ajaran Ibrahim.

Benturan ini banyak mewarnai konflik di dunia internasional pasca-Perang Dingin.

Bagi umat Islam, Ibrahim adalah Bapak Tauhid yang mengajarkan konsep mengesakan tuhan sebagai dasar dari seluruh bangunan masyarakat.

Ibrahim memberi teladan bagaimana Tauhid menjadi pondasi bagi pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, dan kemudian kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Intelektual Iran Ali Syariati (1933-1977) memberikan tafsir yang sangat khas terhadap kehidupan Ibrahim.

Bukunya berjudul ‘’Hajj’’, menjadi salah satu rujukan paling populer bagi banyak kalangan Islam.

Meskipun Syariati memberi perspektif Syiah yang kental, tetapi interpretasinya terhadap kehidupan Ibrahim dikutip secara luas dan dianggap sebagai salah satu yang paling  otoritatif.

Keluarga menjadi unit terkecil untuk membangun peradaban dunia. Keluarga yang sukses dalam jalan tauhid akan menghasilkan peradaban tauhid.

Ibrahim menemukan imannya melalui perjalanan kontemplatif yang sangat panjang dan penuh risiko.

Ibrahim memulai dengan memperkuat keimanan pribadinya.

Di tengah kehidupan masyarakat pagan yang penuh dengan kemusyrikan, Ibrahim mempertahankan dirinya sebagai manusia yang ''hanif' dan ''muslim''.

Hanif adalah hati yang murni tidak dikotori oleh syirik. Muslim artinya berserah diri total kepada Allah Yang Esa.

Kisah Ibrahim yang menghancurkan patung-patung yang menjadi sesembahan kaumnya menjadi contoh bagaimana Ibrahim mempergunakan rasio dan logikanya untuk menemukan tuhan.

Dia lahir di lingkungan penyembah berhala. Azar, orang tua Ibrahim, bukan hanya seorang penyembah berhala, tetapi juga seorang arsitek pembuat patung batu untuk dijadikan berhala.

Ibrahim menghancurkan semua patung dan membiarkan satu patung paling besar sendirian. Ibrahim meletakkan palu dan alat pemukul di pangkuan arca besar itu.

Ketika diadili oleh pengadilan raja, Ibrahim berkilah bahwa patung terbesar itulah yang menghancurkan seluruh patung yang ada di ruangan itu.

Ibrahim meminta hakim supaya bertanya kepada sang patung besar.

Hakim tidak mungkin bertanya kepada patung karena patung batu tidak mungkin bisa berbicara untuk memberi kesaksian.

Ibrahim berargumen, kalau patung tidak bisa berbicara, mengapa disembah sebagai Tuhan. Argumen Ibrahim ini menohok langsung dengan mengggunakan logika dan rasionalitas.

Pembelaan Ibrahim ditolak dan dia dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup.

Akan tetapi, api tidak membakar Ibrahim dan dia selamat dari hukuman mati.

Api yang membakar dan menghancurkan tidak bisa menyentuh badan Ibrahim.

Hukum dunia yang berdasarkan kausalitas tidak berlaku dalam kasus Ibrahim.

Pemikir Islam terkemuka Imam Al-Ghazali (1058-1103) tidak percaya terhadap hukum kausalitas.

Dalam sebuah pernyataan yang masyhur, Al-Ghazali mengatakan bahwa kertas yang terbakar tidak disebabkan oleh api, dan api tidak menjadi sebab kertas terbakar.

Pernyataan ini sering disalahpahami sebagai bukti bahwa Al-Ghazali anti-ilmu pengetahuan dan lebih berfokus pada ilmu tasawuf.

Ibrahim berkontemplasi, berkhalwat, melakukan observasi untuk mencari Tuhan.

Al-Qur'an mengisahkan perjalanan Ibrahim melihat bintang dan berkata ''Inilah Tuhanku'', tetapi bintang kemudian tenggelam dan keyakinannya pun ikut tenggelam.

Terbitlah bulan yang bersinar lebih terang, tetapi kemudian hilang ketika pagi muncul. Lalu muncullah matahari dan Ibrahim ''Inilah Tuhanku, ini lebih besar''.

Akan tetapi, matahari juga tenggelam.

Ibrahim kemudian menyadari bahwa ada zat Mahakuasa yang mengatur bintang gemintang dan tata cakrawala itu.

Dia kemudian berseru untuk menghadapkan wajahnya kepada zat yang Maha-Mengatur tata surya itu. Ibrahim menyatakan tidak akan mengikuti ideologi politeisme yang musyrik.

Dalam episode berikutnya, Ibrahim mempertanyakan bagaimana Tuhan menghidupkan orang mati.

Life after death, kebangkitan kembali pascakematian menjadi sentra perdebatan antara iman dan rasionalisme ilmu pengetahuan.

Ibrahim mengalami hal yang sama, ia membutuhkan bukti untuk memperkuat imannya.

Pengalaman adalah sumber pengetahuan, kata John Locke. Maka Ibrahim mendapatkan pengetahuan itu dari pengalamannya.

Dia memotong burung menjadi beberapa bagian dan menempatkannya terpisah di beberapa bukit yang terpencar.

Hanya dengan sekali isyarat tepuk tangan serpihan burung itu berkumpul menjadi satu burung yang hidup.

Kehidupan rumah tangga Ibrahim menjadi sebuah fragmen tersendiri dalam memperkuat Tauhidnya.

Ia telah menikah sekian lama tetapi tidak mempunyai anak. Ketika anaknya lahir, Ibrahim harus bertransmigrasi dari Palestina ke Bakkah.

Lazimnya transmigrasi bergerak dari tempat yang kering ke tempat yang lebih subur. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya.

Dia meninggalkan tanah Palestina yang subur dan meninggalkan istri beserta bayinya di sebuah pada pasir sepi, gersang, tanpa air dan tanpa sebatang pohon pun.

Di lembah itu terdapat ‘’Rumah Allah’’.

Di situlah Ibrahim mendirikan rumah pertama untuk keluarga kecilnya.

Itulah rumah pertama yang dibangun untuk manusia.

Dari sebuah tempat yang gersang dan kering kerontang itulah tumbuh peradaban besar dunia, yang akan bisa mengalahkan dua peradaban superpower dunia, Romawi di barat dan Persia di timur.

Dari lembah gersang itulah, Ismail sang bayi memancarkan air kehidupan untuk kemanusiaan dan peradaban.

Kaki kecil bayi mungil itu menjejak pasir di bawahnya.

Sang ibu, Siti Hajar, yang panik melihat bayi yang menangis keras karena kelaparan dan kehausan berlarian dari satu bukit lainnya.

Pada etape ketujuh sang ibu terkejut karena dari kaki kecil si orok muncul rembesan air.

Sang bayi terus menendang-nendangkan kaki mungil ke pasir. Air merembes menjadi sumber, Siti Hajar berseru girang, ‘’Zam, zam, memancarlah, memancarlah’’.

Air itu memancar menjadi oase kehidupan. Padang gersang itu menjadi pusat peradaban besar yang mengubah konstelasi geopolitik internasional untuk selama-lamanya.

Dari padang gersang itulah kelak lahir keturunan Ismail bernama Muhammad yang melakukan transformasi sosial-budaya dan menjadikan kota gersang itu sebagai sentra peradaban dunia.

Ismail sebagai suksesor Ibrahim harus menjalani ujian sebelum siap melanjutkan misi dakwah.

Seorang anak remaja yang tumbuh gagah dan menyenangkan, kasih sayang Ibrahim tercurah kepada anaknya.

Akan tetapi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya, untuk mengorbankan harta yang paling dicintainya.

Manusia modern diperbudak oleh harta, kemewahan, jabatan, kekuasaan, dan status-sosial. Itulah ‘’ismail-Ismail modern’’ yang harus disembelih.

Ibrahim ayah yang demokratis. Ia bertanya bagaimana pendapat anaknya mengenai perintah penyembelihan dari Allah.

Ismail, generasi milenial yang menghormati ayahnya, yakin akan kebenaran perintah itu dan bertawakal untuk menerima konsekuensinya.

Ketika Ismail sudah tertelentang dan belati Ibrahim siap menggorok leher anaknya, ternyata belati itu tidak bisa menebas leher Ismail. Tetiba muncul seekor domba sebagai pengganti.

Ibrahim lolos dari vonis mati pembakaran, Ismail lolos dari penyembelihan.

Dari Ismail kemudian berkembang biaklah klan Ibrahim menyebar dalam jumlah yang sangat banyak sebanyak ‘’butir pasir di pantai’’.

Ibrahim lalu diperintahkan untuk menyeru manusia supaya berhaji ke lembah gersang itu.

Kini, empat juta orang setiap tahun berkunjung ke lembah gersang itu untuk melaksanakan ritual menyusuri perjalanan hidup Ibrahim.

Mereka menemukan kebenaran iman dan rasionalitas ditemukan dalam jejak perjalanan kehidupan Ibrahim itu. (*) 


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
nabi ibrahim   haji   Iduladha   kurban  

Terpopuler