Kalau dengan kondisi elektabilitas seperti saat ini Ical tetap dipaksakan maju, menurut J Kristiadi ,bisa berakibat buruk bagi Golkar.
"Dipaksakan Ical tetap maju, menurut saya kemungkinan Partai Golkar berantakan karena strukturnya tidak solid sampai ke bawah mendukung capres Aburizal Bakrie," kata J Kristiadi dalam diskusi bertema "Capres Golkar 2014", di press room DPR, Senayan Jakarta, Kamis (20/12).
Soal argumentasi yang menyebutkan perlunya Ical diberi kesempatan, lanjut Kristiadi, itu sah-sah saja. Tapi kalkulasi politik juga harus dicermati secara objektif. Terlebih hasil survei yang diselenggarakan oleh banyak lembaga menemukan gejala tidak kunjung membaiknya elektabilitas Ical. Bahkan juga ditemukan indikasi penolakan dari internal Golkar di daerah-daerah.
Karena itu, jika dipertimbangkan kemungkinan Golkar akan berantakan dengan pencapresan Ical, sebaiknya Golkar melakukan konsolidasi untuk memenangkan pemilu dan tidak terus ngotot maju untuk menjadi presiden. "Bukankah paradigma baru Golkar itu menegaskan Golkar sebagai parpol demokratis? Maka proses pencapresan itu harus demokratis,” saran Kristiadi.
Demikian juga halnya kalau tiba waktunya nanti Golkar mengukur kembali elektabilitas Ical. Pastikan lembaga survei tersebut tidak diintervensi dengan berbagai lobi yang bisa memengaruhi hasil survei. "Apalagi meresponnya dengan cara membuat survei sendiri. Itu sama dengan menggali kubur untuk Golkar," imbuhnya.
Lebih lanjut Kristiadi menyebut sosok Akbar Tandjung lebih kuat dibanding Ical. Tapi fakta ini bukan berarti Akbar harus menjadi capres. "Pak Akbar itu cukup menjadi king maker politik untuk menyukseskan Golkar," tegasnya.
Munculnya Akbar sendiri dinilai Kristiadi tak lepas dari sentimen politik yang melekat pada diri Akbar sebagai politisi yang memahami pentingnya menegakkan pluralisme dan tidak pendendam. "Karena itu, sesungguhnya ciri-ciri politisi dan negarawan itu melekat pada diri Akbar Tandjung," imbuh Kristiadi.
Di tempat yang sama, mantan Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong mengakui bahwa proses pencapresan di Golkar sekarang ini tidak melalui konvensi sebagaimana yang pernah dilakukan di era Akbar Tandjung.
"Di era Akbar, siapa saja boleh menjadi capres Golkar melalui konvensi. Nurcholish Madjid malah sempat ikut konvensi meski dari luar Golkar. Jadi, kalau negara ini demokratis, Golkar juga demokratis, maka proses politiknya harus demokratis pula,” kata Ambong. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perwira Ikut Pilkada, Polri Diminta Tetap Netral
Redaktur : Tim Redaksi