ICW Soroti Komitmen Pemerintah Pecat PNS Koruptor

Rabu, 30 Januari 2019 – 21:10 WIB
Presiden Joko Widodo. Foto: Setpres

jpnn.com, JAKARTA - Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi masih rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya pegawai negeri sipil (PNS) yang terbukti korupsi, tetapi tidak dipecat. 

Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, berdasar rilis hasil survei indeks persepsi korupsi 2018, Transparency International (TI) menyatakan Indonesia berada di ranking 89 dengan skor 38, naik satu skor dibandingkan tahun sebelumnya.

BACA JUGA: Top! Jokowi Menyalakan Saklar Listrik di Rumah Warga

"Meskipun hasil survei terbaru ini cukup melegakan, namun pemerintah tidak bisa berbangga diri mengingat kenaikan skor IPK Indonesia di 2018 sebagian besar disumbang oleh perbaikan governance pada sektor ekonomi," kata Wana dalam keterangannya, Rabu (30/1). 

Semestinya, Wana mengatakan, jika pemerintah serius memberantas korupsi di sektor yang lebih luas, khususnya politik dan birokrasi, sangat mungkin kenaikan skor IPK Indonesia akan signifikan. "Rendahnya komitmen pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi salah satunya dapat dilihat dari keengganan untuk memecat PNS koruptor," ungkap Wana. 

BACA JUGA: Jokowi: Ada 60 Jabatan Bintang untuk Pati TNI

Dia menjelaskan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dari 2.357 PNS yang telah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi, baru 891 yang diberhentikan secara tidak hormat. Artinya, kata Wana, masih ada 1.466 atau 62 persen PNS yang belum dipecat. "Gaji mereka juga masih terus dibayarkan sehingga berpotensi menyebabkan kerugian negara," katanya.

Berdasarkan Data BKN yang diperoleh ICW, per tanggal 17 September 2018 terdapat 98 PNS koruptor yang bekerja di Kementerian. Kemudian 2.259 PNS koruptor yang bekerja di provinsi, kabupaten, dan kota. Berdasar pemantauan ICW, selama periode 2016 hingga semester I 2018 tercatat sebanyak 1.111 PNS telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.

BACA JUGA: PDI Perjuangan: Tema Debat Kedua Tidak Sulit Buat Jokowi

Sebagian besar modus yang dilakukan adalah membuat laporan fiktif dan penggelembungan harga dalam proses pengadaan. "Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk membenahi birokrasi di Indonesia masih jauh panggang dari api," jelasnya.

Dia menyayangkan lambannya keputusan pemerintah untuk memecat PNS koruptor. Apalagi tiga instansi telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai keharusan untuk melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman dari pengadilan. SKB tertanggal 13 September 2018 itu diteken oleh Menteri Dalam Negeri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

"Akan tetapi SKB tersebut seakan-akan diabaikan," tegasnya.  Poin ketiga SKB tersebut menjelaskan bahwa jangka waktu penjatuhan sanksi paling lama Desember 2018. Menteri Dalam Negeri juga kembali menegaskan bahwa pada akhir tahun 2018 persoalan PNS yang terjerat kasus korupsi akan segera diselesaikan. "Upaya dan janji itu patut diapresiasi, namun pada praktiknya tak berjalan sesuai rencana," ungkap Wana. 

Hingga akhir Januari 2019, lanjut Wana, ribuan PNS koruptor yang belum dipecat. Pemecatan PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan korupsi telah diatur sesuai undang-undang. Yakni,  Pasal 87 Ayat 4 Huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN, dan Pasal 250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Aturan itu menyatakan bahwa PNS diberhentikan tidak hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.

Tanggung jawab untuk memberhentikan PNS diserahkan kepada menteri, pimpinan lembaga, sekretaris jendral dan kepala daerah. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini menteri, pimpinan lembaga, sekretaris jendral dan kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemberhentian terhadap PNS yang tersangkut kasus hukum.

Lambatnya proses pemecatan PNS koruptor menunjukkan minimnya komitmen pemberantasan korupsi dari instansi-instansi yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. "Hal ini merugikan masyarakat sebagai pembayar pajak karena uang pajak yang mereka bayarkan justru digunakan oleh negara untuk membayar gaji PNS yang korupsi," jelasnya.

Karena itu, ICW mendesak  Presiden Joko Widodo sebagai pembina PNS tertinggi memerintahkan PPK dalam hal ini menteri dan kepala daerah, untuk segera melakukan proses pemecatan terhadap PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.

PPK, dalam hal ini menteri dan kepala daerah segera melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi. "Mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan atau  Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan penghitungan terhadap potensi kerugian negara terkait pemberian gaji PNS koruptor," kata Wana. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rizal Ramli: Jokowi Lemah, Takut Brewok


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
ICW   Jokowi   PNS  

Terpopuler