Iduladha Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan

Rabu, 30 Agustus 2017 – 02:10 WIB
KH Maman Imanulhaq. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Iduladha merupakan momentum menguatkan solidaritas kemanusiaan di tengah berbagai gangguan yang dihadapi bangsa Indonesia.

"Dengan Iduladha kita bisa memperkuat keimanan dan rasa kemanusiaan. Apalagi, bangsa Indonesia saat diuji oleh sindikat penyebar kebencian berbasis SARA seperti yang dilakukan kelompok Saracen," ungkap Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB Maman Imanulhaq di Jakarta, Selasa (29/8).

BACA JUGA: Kang Emil Inginkan PKB Pimpin Koalisi Pengusungnya di Pilgub Jabar

Kang Maman, panggilan karib KH Maman Imanulhaq menjelaskan, kata kurban mengandung tiga makna yang sarat dengan pelajaran moral yang bisa membekali manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta kemanusiaan.

Pertama, kurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat.

BACA JUGA: Perindo Salurkan Ratusan Hewan Kurban Sambut Idul Adha

Untuk itu, ketika takbir Iduladha datang menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah.

Menurutnya, Allah Maha Dekat yang kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan.

BACA JUGA: Brexit Bakal Jadi Titik Macet di Pantura saat Mudik Iduladha

Zikir kepada Allah (dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusyukkan kalbu.

Dengan begitu, seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain.

"Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa diminimalisir, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih," tutur Ketua Lembaga Dakwah PBNU ini.

Dia mencontohkan, ketika ada hamba yang diterpa musibah dan bencana silih berganti, dalam hati yang gelap dia bertanya tentang pertolongan Allah.

Menurut Kang Maman, pertanyaan itu muncul dari keraguan dan prasangka terhadap Allah.

Hal itulah yang membuat selama ini, banyak orang yang mengharap pertolongan Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain (zalim).

 

Dia melanjutkan, manusia yang hatinya gelap juga gemar menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa berbeda.

Namun, perilaku serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam aliran darah yang menghujat.

"Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan menghina orang lain, tetapi diam-diam sadar atau tidak dia ternyata menggantikan kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya," tegas pimpinan Ponpes Al Mizan Majalengka ini.

Makna kedua, lanjut Kang Maman, kurban merupakan konsep pengurbanan yang dilandasi keikhlasan dalam menjalankan pengabdian, tugas, dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta keuntungan materi yang menjadikan nilai kesalehan menjadi sia-sia.

Dari keikhlasan dan ketulusan jiwa itu akan memunculkan ketegaran dan keistiqamahan.

"Kesuksesan umat untuk keluar dari bencana dan tragedi kemanusiaan tergantung pada keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian mereka demi mengharap rida Allah semata," kata Kang Maman.

Makna ketiga, kurban yang disimbolkan dengan menyembelih hewan merupakan suatu teladan dari Nabi Ibrahim saat diperintah oleh Allah untuk mengurbankan Ismail, putra terkasihnya.

"Teladan agung tersebut seharusnya mampu menyentuh kesadaran intelektual dan imajinasi seorang hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol kemenangan seorang manusia atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, dan sentimentalitas cinta kasih lokal," urainya.

Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bukanlah perbuatan untuk mengurbankan manusia lainnya demi tujuan dan keuntungan sesaat yang keji sebagaimana dilakukan para penguasa lalim sepanjang sejarah.

Namun, suatu sikap untuk menyerahkan sesuatu yang dititipkan oleh Allah.

"Dengan semangat Idul Qurban, manusia harus mampu “menyembelih” watak buruk dan tujuh sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya; seperti rakus, serakah, zalim, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma," pungkas Kang Maman. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Persiapan Kementan Jelang Iduladha 1438 H


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler