Iftitah Sulaiman Singgung Relevansi Satuan Kavaleri Dalam Perang Modern, Begini Penjelasannya

Kamis, 13 Oktober 2022 – 18:48 WIB
Ilustrasi - Tank, salah satu peralatan tempur bagi pasukan kavaleri. Foto: ANTARA/Reuters/Carlos Barria/as

jpnn.com, JAKARTA - CEO Romeo Strategic Consulting M Iftitah Sulaiman mengatakan lumpuhnya tank-tank kavaleri dalam perang Azerbaijan vs Armenia dan Ukraina vs Rusia akibat penggunaan drone tempur menimbulkan pertanyaan tentang relevansi satuan kavaleri dalam perang moderen.

Iftitah menegaskan satuan kavaleri sesungguhnya masih relevan.

BACA JUGA: Brigjen TNI Agus Erwan: Satuan Kavaleri TNI AD Perlu Modernisasi Senjata dan Organisasi

“Meski drone di Ukraina sukses menghajar lebih dari 2.435 tank Rusia, tetapi kehadiran drone tidak serta merta meniadakan satuan lain. Tidak mungkin juga meniadakan Satuan Kavaleri,” kata Iftitah saat berbicara dalam Webinar yang digelar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) pada Rabu (12/10).

Dia uga menekankan pasukan Kavaleri adalah satuan manuver atau pasukan darat (ground forces). Sementara drone adalah komponen pertempuran udara (airland battle).

BACA JUGA: TNI Kirim Satuan Tempur ke Kiwirok, 1 Kompi Sudah Tiba

Untuk menduduki dan menguasai suatu wilayah daratan, tentu yang dibutuhkan adalah pasukan darat.

Di samping itu, lanjut Iftitah, tidak semua negara memiliki kecanggihan drone. Senjata drone dan anti-drone juga masih barang mahal.

BACA JUGA: Duduk Perkara Anggota TNI AD Pukul Karyawan Shopee

Kemampuan SDM untuk mengendalikan drone pun, kata dia, memiliki tantangan yang tidak mudah.

Peraih Adhi Makayasa dan lulusan terbaik Akademi Militer 1999 ini juga mengajak untuk belajar dari masa lalu.

Kehadiran tank, kata Iftitah, tidak lantas meniadakan kehadiran pasukan berkuda. Untuk jalan-jalan sempit dan tertutup, kehadiran pasukan berkuda tetap dibutuhkan.

Jadi, kata dia, kehadiran teknologi, sifatnya saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Selain faktor senjata dan teknologi, Iftitah mengatakan kunci sukses memenangkan perang adalah the man behind the gun.

Dia encermati fighting spirit Ukraina sangat besar. Rusia kalah jauh. Banyak warga dan pemuda Rusia yang kabur dari kewajiban berperang.

Iftitah mencermati adanya jenderal-jenderal tua Rusia yang telah purnawirawan, harus diaktifkan lagi, karena tidak ada yang mau bertempur di Ukraina.

Berbeda dengan Rusia, kata Iftitah, warga Ukraina merelakan dirinya untuk ikut wajib militer membela negaranya.

Mantan Komandan Batalyon Kavaleri 4/Tank Kodam III Siliwangi ini, juga merujuk kepada pelajaran dari Perang Dunia II. Salah satu kesuksesan Jerman dalam perang kilat adalah Auftragstaktik.

Auftragstaktik, kata Iftitah, adalah filosofi militer yang menekankan kepada pemberian ruang dan waktu kepada komandan bawahan untuk mengambil sejumlah inisiatif.

Auftragstaktik adalah ruang kreasi komandan bawahan, untuk melakukan sejumlah tindakan yang diyakininya, akan mampu mencapai keberhasilan tugas pokok. Tentu tetap dalam koridor petunjuk perencanaan komandan atasannya.

“Jadi, komandan bawahan tidak selalu bertanya; Izin Komandan, mohon petunjuk, dalam setiap langkahnya. Cukuplah komandan atasan mengatakan: Ini misi yang harus dicapai, dalam waktu tertentu. Soal bagaimana mengeksekusinya diserahkan kepada komandan bawahan."

Namun, ftitah menegaskan tentu Auftragstaktik tidak bisa seketika dijalankan. Harus dimulai dengan melakukan reformasi pendidikan militer di semua bidang.

Auftragstaktik ini, katanya, ditiru oleh oleh Inggris dengan Mission Type Order-nya, ditiru juga oleh Amerika Serikat dengan Mission Command-nya, hingga sekarang.

Hal ini diterapkan bukan hanya untuk para perwira Kavaleri, tetapi juga untuk seluruh kecabangan lainnya.

Oleh karen itu, Iftitah menyarankan kepada Kavaleri TNI AD melakukan transformasi organisasi, peralatan, doktrin, taktik serta sumber daya manusianya.

Iftitah, alumnus US Army Command and General Staff College ini menjelaskan di bidang organisasi, bentuk transformasi ini harus mengutamakan combined armed.

Di bidang peralatan, Kavaleri bisa melakukan negosiasi dengan satuan Penerbangan TNI AD (Penerbad) untuk menyertakan Heli Apache dan Heli Mi-35 sebagai bagian dari pengerahan Satuan Kavaleri.

“Kami juga mendorong tumbuhnya industri pertahanan dalam negeri, termasuk membuat tank sendiri,” kata dia.

Iftitah melanjutkan doktrin dan taktik perangnya pun, harus joint forces, bukan hanya Darat tetapi juga dengan Matra Udara. Sedangkan di bidang SDM, perwira Kavaleri harus memiliki karakter Man of Vision, dan fighting spirit, militan, mampu melihat ke depan, beradaptasi dengan perkembangan teknologi serta berkolaborasi dengan pasukan lain.

“Perintah Jenis Tugas, Auftragstaktik-nya Indonesia, juga harus dikembangkan secara maksimal. Saya pernah belajar “perintah jenis tugas” ini waktu sekolah dasar kecabangan. Tetapi di lapangannya, saya lihat kurang sekali dikembangkan,” ujar Iftitah.

Belajar dari pengalamannya saat tugas operasi di Aceh pada akhir masa Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 2003, Iftitah menekankan pentingnya menguatkan industri pertahanan dalam negeri. "Dulu waktu di Aceh, tank Scorpion (buatan Inggris) yang datang 28 yang operasional cuma 2. Kemudian diganti panser dari Pindad, dari 16 cuma 2 rusak ringan itu pun bisa diperbaiki,” ungkapnya.

Iftitah yakin satuan Kavaleri masih dan tetap akan relevan dalam peperangan moderen, terutama untuk operasi lawan gerilya.

"Satuan kavaleri sangat efektif. Apalagi ketika di masa awal operasi militer, perekonomian lumpuh. Dengan kavaleri, jalur-jalur perbekalan umum bisa dijaga, demikian juga pergeseran logistik," papar Iftitah merujuk pada pengalamannya dalam tugas operasi di Aceh.

Selain di Aceh, Iftitah juga pernah bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL), tergabung dalam Batalyon Infanteri Mekanis pertama yang dikirim pemerintah Indonesia ke wilayah konflik tersebut.

"Tantangan satuan kavaleri justru ada di ciri khasnya yaitu teknologi. Dengan bisa beradaptasi dengan teknologilah, satuan kavaleri itu tetap relevan," kata Iftitah.\

“Yang tidak relevan itu kalau masih ada yang bicara soal ego sektoral karena tema perang modern adalah kolaborasi, joint forces dan combined arms, semua kesatuan saling melengkapi dan menutup kekurangan yang lain,” kata dia.

“Majulah Kavaleriku. Jaya di medan perang, berguna di masa damai,” kata Iftitah mengakhir pemaparannya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler