JAKARTA - Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, menyatakan sikap meminta Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta, memonis bebas para terdakwa dugaan korupsi Bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.
Pernyataan sikap ini disampaikan, Senin (6/5), di Jakarta, karena mencium aroma kriminalisasi dan diskriminasi peradilan terhadap para terdakwa."Ikatan alumni sepakat sampaikan keprihatinan atas kejadian yang terjadi pada rekan kami terdakwa bioremediasi," kata Hotasi Nababan, salah satu alumni UI, Senin (6/5).
Hotasi yakin, para terdakwa tidak bersalah. Sebab, ia menilai para terdakwa hanya orang biasa, bukan pejabat, pengusaha, menteri maupun orang yang punya "nama" dan koneksi.
"Kami berani pasang badan. Mereka berlima adalah orang yang biasa, bekerja apa adanya. Inilah yang mengusik rasa keadilan kami," sambung mantan Direktur Utara Merpati yang divonis bebas dalam kasus dugaan korupsi di perusahaannya beberapa waktu lalu.
Para terdakwa yang dimaksud adalah Direktur Utama PT Green Planet Indonesia, Ricksy Prematuri (alumni IPB), karyawan dari PT CPI Endah Rubiyanti (alumni UI) Direktur PT Sumigita Jaya Herlan serta dua lainnya, Widodo dan Kukuh Kertasari (alumni ITB).
Perwakilan Alumni IPB, Muchlis Yusuf, menyatakan bahwa dalam kasus Ricksy, pihaknya melihat ada indikasi aroma kriminalisasi dan diskriminasi peradilan. Dicontohkan, Ricksy hanya diberikan waktu seminggu untuk menghadirkan sembilan saksi. Sedangkan kejaksaan diberikan waktu empat bulan untuk menghadirkan 27 saksi dan ahli.
"Izin (Ricksy) mengajukan saksi ahli dari IPB juga tidak diberikan. Ini diskriminasi, ini yang membuat kami terusik, alumni IPB terusik," kata dia.
Ia mengatakan, pihaknya pada 1 Mei 2013 lau juga sudah meminta kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan. "Kami berharap KY tergerak untuk mengawasi," tegasnya.
Ricksy dan Herlan rencananya akan menjalani sidang putusan besok. "Kami berharap dukungan dari semua. Hakim diimbau untuk bersikap arif, bijaksana dalam melihat persoalan," ungkap Muchlis.
Sawalludin Lubis, Ketua Ikatan Alumni ITB, menyatakan, ITB, UI, IPB sangat mendukung pemerintah dan masyarakat memberantas korupsi. Namun, tegas dia, pihaknya tidak mendukung kesewenangan yang mungkin dilakukan oknum aparat penegak hukum yang menjerat menggunakan pasal tuduhan tidak faktual kepada masyarakat, khususnya rekan-rekan alumni mereka. "Ini yang membuat kita merasa gelisah. Teman-teman yang tidak teribat dalam bioremediasi malah dituntut," katanya.
Ia mengatakan, jangan sampai timbul kesan profesi enginer yang hanya pelaksana lapangan menjadi terancam.
Ketua Bidang Hukum Ikatan Alumni IPB, Ali Nurdin, menyatakan, bahwa bagaimana mungkin orang yang tak terlibat seperti Kukuh, bisa dituntut. "Ini berbahaya, kapanpun nanti orang tak terkait tugas dan tanggungjawabnya bisa dituntut," katanya.
Karenanya, ia meminta Majelis Hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim harus adil, bijaksana, jujur dan profesional. Kalau itu diterapkan, ia yakin, hakim akan mampu menggali kebenaran hakiki."Orang yang tidak bersalah harus dibebaskan," tegasnya. (boy/jpnn)
Pernyataan sikap ini disampaikan, Senin (6/5), di Jakarta, karena mencium aroma kriminalisasi dan diskriminasi peradilan terhadap para terdakwa."Ikatan alumni sepakat sampaikan keprihatinan atas kejadian yang terjadi pada rekan kami terdakwa bioremediasi," kata Hotasi Nababan, salah satu alumni UI, Senin (6/5).
Hotasi yakin, para terdakwa tidak bersalah. Sebab, ia menilai para terdakwa hanya orang biasa, bukan pejabat, pengusaha, menteri maupun orang yang punya "nama" dan koneksi.
"Kami berani pasang badan. Mereka berlima adalah orang yang biasa, bekerja apa adanya. Inilah yang mengusik rasa keadilan kami," sambung mantan Direktur Utara Merpati yang divonis bebas dalam kasus dugaan korupsi di perusahaannya beberapa waktu lalu.
Para terdakwa yang dimaksud adalah Direktur Utama PT Green Planet Indonesia, Ricksy Prematuri (alumni IPB), karyawan dari PT CPI Endah Rubiyanti (alumni UI) Direktur PT Sumigita Jaya Herlan serta dua lainnya, Widodo dan Kukuh Kertasari (alumni ITB).
Perwakilan Alumni IPB, Muchlis Yusuf, menyatakan bahwa dalam kasus Ricksy, pihaknya melihat ada indikasi aroma kriminalisasi dan diskriminasi peradilan. Dicontohkan, Ricksy hanya diberikan waktu seminggu untuk menghadirkan sembilan saksi. Sedangkan kejaksaan diberikan waktu empat bulan untuk menghadirkan 27 saksi dan ahli.
"Izin (Ricksy) mengajukan saksi ahli dari IPB juga tidak diberikan. Ini diskriminasi, ini yang membuat kami terusik, alumni IPB terusik," kata dia.
Ia mengatakan, pihaknya pada 1 Mei 2013 lau juga sudah meminta kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan. "Kami berharap KY tergerak untuk mengawasi," tegasnya.
Ricksy dan Herlan rencananya akan menjalani sidang putusan besok. "Kami berharap dukungan dari semua. Hakim diimbau untuk bersikap arif, bijaksana dalam melihat persoalan," ungkap Muchlis.
Sawalludin Lubis, Ketua Ikatan Alumni ITB, menyatakan, ITB, UI, IPB sangat mendukung pemerintah dan masyarakat memberantas korupsi. Namun, tegas dia, pihaknya tidak mendukung kesewenangan yang mungkin dilakukan oknum aparat penegak hukum yang menjerat menggunakan pasal tuduhan tidak faktual kepada masyarakat, khususnya rekan-rekan alumni mereka. "Ini yang membuat kita merasa gelisah. Teman-teman yang tidak teribat dalam bioremediasi malah dituntut," katanya.
Ia mengatakan, jangan sampai timbul kesan profesi enginer yang hanya pelaksana lapangan menjadi terancam.
Ketua Bidang Hukum Ikatan Alumni IPB, Ali Nurdin, menyatakan, bahwa bagaimana mungkin orang yang tak terlibat seperti Kukuh, bisa dituntut. "Ini berbahaya, kapanpun nanti orang tak terkait tugas dan tanggungjawabnya bisa dituntut," katanya.
Karenanya, ia meminta Majelis Hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim harus adil, bijaksana, jujur dan profesional. Kalau itu diterapkan, ia yakin, hakim akan mampu menggali kebenaran hakiki."Orang yang tidak bersalah harus dibebaskan," tegasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Serahkan Bass Pemberian Metallica ke KPK
Redaktur : Tim Redaksi