jpnn.com, SAROLANGUN - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Pemkab Sarolangun, Provinsi Jambi, menggelar Festival Junjung Pusako di Desa Tanjung Gagak, Kecamatan Bathin VIII, Rabu (27/9).
Festival bertujuan melestarikan tradisi dan menghidupkan ekosistem budaya di Kabupaten Sarolangun.
BACA JUGA: Gelar Kelana Indonesiana di Surabaya, Kemendikbudristek Libatkan Pelajar
Festival ini merupakan rangkaian dari perhelatan Kenduri Swarnabhumi tahun 2023.
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti mengatakan Kemendikbudristek mendukung festival ini agar masyarakat Jambi dapat merasakan manfaat dari terjaganya hubungan antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan.
BACA JUGA: Kemendikbudristek Gelar Pameran Arsip Bersama Irama Nusantara
Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan,
”Ekosistem kebudayaan adalah sebagai sebuah mata rantai. Festival Junjung Pusako adalah salah satu contoh untuk tetap menghidupkan ekosistem kebudayaan di Kabupaten Sarolangun,” ujar Irini.
BACA JUGA: 38 Pati yang Terkena Mutasi Panglima TNI Laksamana Yudo
Dia menjelaskan bahwa Kenduri Swarnabhumi tahun ini memiliki tiga agenda utama.
Pertama, peningkatan kapasitas sumber daya manusia khususnya pelaku budaya agar dapat menyelenggarakan festival di daerah masing-masing sehingga ekosistem kebudayaan bisa terus berjalan.
Kedua, implementasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelaksanaan Festival Junjung Pusako.
"Ketiga, ekspedisi Batang Hari yang menjalankan misi pelestarian lingkungan melalui jalan kebudayaan," kata dia.
Turut hadir dalam festival ini Gubernur Jambi Al Haris.
Dia menuturkan rangkaian Kenduri Swarnabhumi ini menjadi momentum tafsiran ulang sejarah Jambi sebagai sebuah daerah yang memiliki peradaban panjang dan akar budaya kuat.
Hal tersebut, kata Al Haris, dapat ditelaah mulai dari kehadiran Candi Muaro Jambi karya peradaban Budha di Laut Cina Selatan yang berlanjut munculnya Kerajaan Melayu Jambi hingga akhir masuknya Islam.
“Sungai Batanghari saksi bisu perjalanan peradaban Jambi. Kita ingin mengulang sejarah itu, dengan menghidupkan kembali akar budaya yang lahir di sepanjang sungai tersebut, masa ketika perdagangan dan agama jadi salah satu pusat kegiatan di Jambi,” papar Al Haris.
Junjung pusako merupakan tradisi yang telah lama dipegang teguh masyarakat Desa Tanjung Gagak dan terus melekat hingga kini.
Pelaksanaan adat junjung pusako berlangsung setahun sekali setiap 12 Rabiul Awal dalam kalender Islam.
Keunikan junjung pusako adalah sebuah kain panjang yang membungkus di dalamnya berisikan tulisan kuno karya tangan manusia sepanjang 20 sentimeter, bulu, dan keris. Kemudian kain panjang tersebut dibuka untuk diasapkan dan ditaburkan kembang tujuh warna.
Setelah prosesi tersebut usai, kain panjang tadi kemudian dibawa ke tanah lapang untuk disambut oleh masyarakat Desa Tanjung Gagak.
Selanjutnya mulailah dikerjakan ritual membersihkan tujuh alat pusaka yaitu keris, tanduk, tabuh air minum dan tempat surat, kain batik irik-irik, batu, igak padi, jago padi, dan tempat rambut Putri Susu Tunggal.
Ritus Junjung Pusako merupakan cara turun temurun untuk memulai musim bertanam padi ladang, yang memantulkan kearifan lokal di bidang pertanian, yang dijiwai oleh nilai kebersamaan, kekompakan, dan gotong royong. Ritus ini juga sebagai bentuk kekayaan budaya, yang dapat terus menjadi sumber penciptaan karya dan pengetahuan baru.
Hal itu sesuai dengan semangat perayaan Kenduri Swarnabhumi, yang menatap daerah-daerah yang dialiri Sungai Batang Hari sebagai daerah pusat peradaban unggul di masa lalu. Sungai Batang Hari itu sendiri, dua hulunya mengaliri Sarolangun, yakni Sungai Tembesi dan Sungai Batang Asai.
Pelaksana tugas Bupati Sarolangun Bachril Bakrie mengatakan menjaga tradisi Junjung Pusako, adalah menjaga alam, menjaga sungai, dan menjaga kebudayaan.
Adapun bentuk kegiatan dalam Festival Junjung Pusako yaitu senam massal di pagi hari, dilanjutkan dengan parade budaya, penanaman bibit pohon, pentas seni tarian lokal, serta penampilan musikalitas daerah pada malam hari.
Dalam parade budaya ini, masyarakat dari sebelas kecamatan lainnya juga turut serta dengan memamerkan ciri kearifan lokalnya masing-masing.
Begitu pula sejumlah murid jenjang SD, SMP, SMA tampak ikut memeriahkan Festival Junjung Pusako dengan berpartisipasi pada senam massal.
Selanjutnya, penanaman pohon Daerah Aliran Sungai (DAS) Desa Tanjung Gagak yang menjadi simbol keikutsertaan masyarakat Sarolangun untuk ikut menjaga kelestarian sungai Batang Hari. Adapun bibit yang ditanam ialah pohon trembesi dan mahoni.
Bachril mengatakan seluruh kegiatan yang muncul dalam festival ini bertujuan untuk mengenalkan dan melestarikan adat istiadat serta sejarah peradaban di sepanjang sungai Batang Hari.
Menurutnya, dengan aktivitas yang menggugah semangat kebudayaan, Festival Junjung Pusako menghadirkan peristiwa ketika setiap individu terhubung lagi dengan sejarah dan warisan tradisi.
Sebagai penutup festival, tampil pertunjukan Merencam, yang menggambarkan tradisi bertanam padi masyarakat Desa Tanjung Gagak.
Proses dimulai dari prosesi merencam dan bertanam, dilanjutkan dengan gambaran kegiatan ketika padi telah masak, di mana padi digiling dengan teknologi tradisional yang dinamakan kisa.
Dari kisa, padi yang telah menjadi bulir ditumbuk oleh para Ibu dengan lesung dan antan. Maka seterusnya beras ditampian dengan menggunakan niru, hinggga akhirnya diperoleh beras bersih yang siap ditanak menjadi nasi.
Dalam kesempatan ini, Al Haris bersama Irini dan Bachril Bakrie mempraktikan merencam benih padi dengan melubangi tanahnya agar dapat ditanami.
Turut hadir dalam festival ini pejabat dari dinas setempat, pegiat, dan komunitas budaya lokal, serta seribu pelajar dan masyarakat yang antusias menyaksikan festival. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kronologi Kecelakaan Mengerikan di Exit Tol Bawen yang Menewaskan 4 Orang
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti