Rumah sakit terapung bukan hal baru di Indonesia. TNI-AL sudah lama memilikinya. Tapi, baru Yayasan doctorSHARE pihak swasta yang pertama menggagas RS terapung pertama di Indonesia. Kemarin (16/3) Jawa Pos diundang untuk mengikuti pelayaran perdana RS di tengah laut itu.
BAYU PUTRA-HILMI SETIAWAN, Jakarta
MATAHARI belum nongol di ufuk timur saat rombongan relawan doctorSHARE tiba di pelabuhan rakyat Muara Baru, Jakarta Utara. Kedatangan mereka sudah ditunggu dr Lie Darmawan PhD FICS SpB SpBTKV, penggagas RS terapung itu, di dek kapal.
Lie memang sengaja menginap di kapal motor tersebut untuk mempersiapkan pelayaran perdana RS terapung itu.
Begitu bertemu para relawan doctorSHARE, ekspresi wajah dr Lie tampak semringah. Dia langsung mengajak para relawan untuk menjalankan planning yang sudah ditetapkan.
Pukul 07.15, kapal yang diberi nama Floating Hospital itu bertolak meninggalkan Pelabuhan Muara Baru. Dari area yang airnya hitam pekat dan berminyak serta dipenuhi sampah tersebut, Floating Hospital bergerak ke utara, menuju Kepulauan Seribu. Tepatnya di Pulau Panggang.
Floating Hospital bergerak membelah lautan dengan lambat, kecepatannya hanya 5,8 sampai 6 knot. Untungnya, pagi itu kapal yang dinakhodai Muchtar Muhammad Daud tersebut didukung cuaca yang bersahabat. Laut tampak tenang tak berombak. Angin juga tak berembus kencang.
"Rumah sakit ini dibangun selama empat tahun," tutur Lie sambil menerangkan satu per satu bagian ruangan di kapal.
Pembangunan rumah sakit tersebut harus merombak kapal nelayan yang kemudian dimodifikasi menjadi kapal yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas medis. "Saya masih ingat, gagasan pembuatan RS terapung ini muncul pada 28 Maret 2009," tuturnya.
Lie mengaku membutuhkan waktu lama untuk menuntaskan pengerjaan RS terapung itu karena sama sekali tidak ada contoh RS serupa. "Yang ada di Indonesia kan RS terapung milik tentara yang keluarnya kalau pas perang saja," ujarnya.
Selain masih buta soal spesifikasi kapal dan sebagainya, Lie menyatakan timnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai untuk kebutuhan rumah sakit. Awalnya, dia ingin menggunakan kapal jenis tongkang. Kapal jenis itu memiliki badan lebar.
Tetapi, ternyata kurang layak. Selanjutnya, tim doctorSHARE mengusulkan untuk menggunakan kapal berbahan fiber. Namun, setelah dianalisis, perahu fiber gampang pecah ketika menabrak karang.
"Akhirnya, kami putuskan menggunakan perahu nelayan karya masyarakat Palembang ini. Meski sederhana, kapal ini lebih memadai untuk keperluan rumah sakit," tegasnya.
Untuk membeli kapal tersebut, Lie merelakan sebuah rumahnya untuk dilego. Kemudian, dia merombak kapal yang biasa digunakan untuk mencari ikan itu menjadi kapal yang memiliki ruangan steril.
Lie menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk merenovasi dan mengisi perlengkapan medis Floating Hospital. Namun, biaya itu separo lebih murah dari anggaran yang diperkirakan sekitar Rp 6 miliar. "Kami bisa menekan biaya pengadaan karena banyak perlengkapan medis yang mendapat diskon gede," ujarnya lantas tertawa.
Kapal yang berukuran panjang 23,5 meter dan lebar 6,55 meter itu terbagi dalam tiga dek. Dek atas menjadi singgasana sang nakhoda serta tempat berinteraksi santai para relawan. Dek tengah merupakan dek utama. Di sanalah ruangan steril itu berada. Salah satunya terdapat ruang bedah (operasi).
Meja operasinya berupa tempat tidur dorong, lengkap dengan penerangan di atasnya dan seperangkat alat bedah. Di sebelah ruang operasi ada ruang pemulihan pascaoperasi. Juga lengkap dengan berbagai peralatan medis yang mendukung.
Sementara itu, dek bawah merupakan ruang pemeriksaan USG dan rontgen. Karena itu, meski relatif sederhana, kapal tersebut sudah pantas disebut RS terapung.
Selain ruangan-ruangan itu, Floating Hospital dilengkapi delapan tempat tidur untuk pasien, ruang periksa, laboratorium sederhana, dan ruang arsip. Ada pula kamar dokter, kamar perawat, kamar karyawan, ruang diskusi, dapur, dan tentunya kamar mandi.
Perjalanan selama empat setengah jam itu berakhir di dermaga timur Pulau Panggang. Di dermaga tersebut, puluhan warga beserta sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu telah menunggu. Antara lain, 15 warga yang sudah dijadwalkan untuk menjalani operasi secara gratis di kapal terapung itu.
Pukul 12. 30, dokter lulusan Jerman tersebut memulai rangkaian operasi untuk 15 pasien yang didominasi anak-anak itu. Salah satunya Putra Nafasya. Balita berusia dua tahun satu bulan tersebut menderita kelainan. Dia terkena hernia. Namun, testisnya justru naik sampai nyaris ke bagian perut.
Lie dan para relawan lalu melaksanakan operasi untuk membetulkan letak testikel bocah itu. Dalam tempo 25 menit, operasi selesai dan Putra pun bisa tidur dengan nyenyak. ’’Sebelumnya, dia rewel, minta minum terus. Soalnya, sebelum operasi, diharuskan puasa,’’ ujar Tri Kurniawati, ibunda Putra.
Perempuan yang tinggal di Pulau Pramuka itu bersyukur karena operasi anaknya berjalan lancar. Sebetulnya, dirinya sudah lama ingin membawa Putra ke RS. Namun, usia Putra belum memungkinkan untuk dioperasi dengan pembiusan total. Minimal Putra harus berusia dua tahun, baru boleh dioperasi.
Lancarnya operasi juga diakui Lie. Dengan segala keterbatasan, dia mampu mengoperasi pasien dengan sukses. "Tadi memang sempat ada volunteer yang pusing karena ruang operasinya bergoyang-goyang. Namanya juga kapal, tempatnya di air," tuturnya.
Dia menjelaskan, Floating Hospital mampu menangani berbagai macam operasi mayor. Namun, memang ada beberapa jenis operasi yang sangat rumit, sehingga mau tidak mau harus dilakukan di darat. Misalnya, operasi jantung.
Kapal tersebut direncanakan berlabuh di Pulau Panggang higga hari ini. Selanjutnya, kapal kembali ke Muara Baru untuk evaluasi. Beberapa bagian bakal dirombak agar makin tampak layaknya rumah sakit. Termasuk, menambah kecepatan laju kapal. Kecepatan sekitar 6 knot dinilai masih terlalu lamban. Selain itu, Lie bakal mengevaluasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditangani rumah sakitnya.
Wakil Bupati Kepulauan Seribu Junaidi mengapresiasi keberadaan Floating Hospital. Dia mengungkapkan, warga di Kepulauan Seribu akan sangat terbantu oleh RS terapung tersebut.
"Sebetulnya layanan kesehatan di Kepulauan Seribu sudah memadai. Namun, untuk operasi besar, kami masih harus menyeberang ke Jakarta. Mudah-mudahan RS terapung ini akan memudahkan warga yang ingin mendapat layanan medis yang lebih memadai," ujarnya.
Saat ini, Lie sedang memikirkan cara agar RS tersebut bisa terus beroperasi. Sebab, setiap warga yang berobat di Floating Hospital sama sekali tidak dipungut biaya. Padahal, operasi RS memerlukan biaya. "RS ini memang kami tujukan untuk misi kemanusiaan," tuturnya.
Salah satu yang akan diupayakan adalah meminta sokongan donatur. Lie juga mencari dana lewat keuntungan kliniknya yang beroperasi di Jakarta. Dia juga sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah daerah agar turut mendanai RS tersebut lewat program jamkesmas atau jamkesda.
Lie bersama tim doctorSHARE juga sedang menyiapkan rute-rute perjalanan laut berikutnya. Misalnya, ke Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Bali, Sumba, Flores, dan Kepulauan Kei. "Jika ditotal dengan perjalanan dan operasionalnya, semua rute itu bisa ditempuh selama setahunan," ucapnya.
Dia menambahkan, layanan RS terapung mutlak dibutuhkan di Indonesia. Mengingat, Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyak kawasan di pesisir pantai yang minim fasilitas kesehatan. "Di DKI saja yang notabene ibu kota negara, layanan kesehatan di kawasan pesisir jauh dari layak. Ini memprihatinkan," tegasnya. (*/c5/ari)
BAYU PUTRA-HILMI SETIAWAN, Jakarta
MATAHARI belum nongol di ufuk timur saat rombongan relawan doctorSHARE tiba di pelabuhan rakyat Muara Baru, Jakarta Utara. Kedatangan mereka sudah ditunggu dr Lie Darmawan PhD FICS SpB SpBTKV, penggagas RS terapung itu, di dek kapal.
Lie memang sengaja menginap di kapal motor tersebut untuk mempersiapkan pelayaran perdana RS terapung itu.
Begitu bertemu para relawan doctorSHARE, ekspresi wajah dr Lie tampak semringah. Dia langsung mengajak para relawan untuk menjalankan planning yang sudah ditetapkan.
Pukul 07.15, kapal yang diberi nama Floating Hospital itu bertolak meninggalkan Pelabuhan Muara Baru. Dari area yang airnya hitam pekat dan berminyak serta dipenuhi sampah tersebut, Floating Hospital bergerak ke utara, menuju Kepulauan Seribu. Tepatnya di Pulau Panggang.
Floating Hospital bergerak membelah lautan dengan lambat, kecepatannya hanya 5,8 sampai 6 knot. Untungnya, pagi itu kapal yang dinakhodai Muchtar Muhammad Daud tersebut didukung cuaca yang bersahabat. Laut tampak tenang tak berombak. Angin juga tak berembus kencang.
"Rumah sakit ini dibangun selama empat tahun," tutur Lie sambil menerangkan satu per satu bagian ruangan di kapal.
Pembangunan rumah sakit tersebut harus merombak kapal nelayan yang kemudian dimodifikasi menjadi kapal yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas medis. "Saya masih ingat, gagasan pembuatan RS terapung ini muncul pada 28 Maret 2009," tuturnya.
Lie mengaku membutuhkan waktu lama untuk menuntaskan pengerjaan RS terapung itu karena sama sekali tidak ada contoh RS serupa. "Yang ada di Indonesia kan RS terapung milik tentara yang keluarnya kalau pas perang saja," ujarnya.
Selain masih buta soal spesifikasi kapal dan sebagainya, Lie menyatakan timnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai untuk kebutuhan rumah sakit. Awalnya, dia ingin menggunakan kapal jenis tongkang. Kapal jenis itu memiliki badan lebar.
Tetapi, ternyata kurang layak. Selanjutnya, tim doctorSHARE mengusulkan untuk menggunakan kapal berbahan fiber. Namun, setelah dianalisis, perahu fiber gampang pecah ketika menabrak karang.
"Akhirnya, kami putuskan menggunakan perahu nelayan karya masyarakat Palembang ini. Meski sederhana, kapal ini lebih memadai untuk keperluan rumah sakit," tegasnya.
Untuk membeli kapal tersebut, Lie merelakan sebuah rumahnya untuk dilego. Kemudian, dia merombak kapal yang biasa digunakan untuk mencari ikan itu menjadi kapal yang memiliki ruangan steril.
Lie menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk merenovasi dan mengisi perlengkapan medis Floating Hospital. Namun, biaya itu separo lebih murah dari anggaran yang diperkirakan sekitar Rp 6 miliar. "Kami bisa menekan biaya pengadaan karena banyak perlengkapan medis yang mendapat diskon gede," ujarnya lantas tertawa.
Kapal yang berukuran panjang 23,5 meter dan lebar 6,55 meter itu terbagi dalam tiga dek. Dek atas menjadi singgasana sang nakhoda serta tempat berinteraksi santai para relawan. Dek tengah merupakan dek utama. Di sanalah ruangan steril itu berada. Salah satunya terdapat ruang bedah (operasi).
Meja operasinya berupa tempat tidur dorong, lengkap dengan penerangan di atasnya dan seperangkat alat bedah. Di sebelah ruang operasi ada ruang pemulihan pascaoperasi. Juga lengkap dengan berbagai peralatan medis yang mendukung.
Sementara itu, dek bawah merupakan ruang pemeriksaan USG dan rontgen. Karena itu, meski relatif sederhana, kapal tersebut sudah pantas disebut RS terapung.
Selain ruangan-ruangan itu, Floating Hospital dilengkapi delapan tempat tidur untuk pasien, ruang periksa, laboratorium sederhana, dan ruang arsip. Ada pula kamar dokter, kamar perawat, kamar karyawan, ruang diskusi, dapur, dan tentunya kamar mandi.
Perjalanan selama empat setengah jam itu berakhir di dermaga timur Pulau Panggang. Di dermaga tersebut, puluhan warga beserta sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu telah menunggu. Antara lain, 15 warga yang sudah dijadwalkan untuk menjalani operasi secara gratis di kapal terapung itu.
Pukul 12. 30, dokter lulusan Jerman tersebut memulai rangkaian operasi untuk 15 pasien yang didominasi anak-anak itu. Salah satunya Putra Nafasya. Balita berusia dua tahun satu bulan tersebut menderita kelainan. Dia terkena hernia. Namun, testisnya justru naik sampai nyaris ke bagian perut.
Lie dan para relawan lalu melaksanakan operasi untuk membetulkan letak testikel bocah itu. Dalam tempo 25 menit, operasi selesai dan Putra pun bisa tidur dengan nyenyak. ’’Sebelumnya, dia rewel, minta minum terus. Soalnya, sebelum operasi, diharuskan puasa,’’ ujar Tri Kurniawati, ibunda Putra.
Perempuan yang tinggal di Pulau Pramuka itu bersyukur karena operasi anaknya berjalan lancar. Sebetulnya, dirinya sudah lama ingin membawa Putra ke RS. Namun, usia Putra belum memungkinkan untuk dioperasi dengan pembiusan total. Minimal Putra harus berusia dua tahun, baru boleh dioperasi.
Lancarnya operasi juga diakui Lie. Dengan segala keterbatasan, dia mampu mengoperasi pasien dengan sukses. "Tadi memang sempat ada volunteer yang pusing karena ruang operasinya bergoyang-goyang. Namanya juga kapal, tempatnya di air," tuturnya.
Dia menjelaskan, Floating Hospital mampu menangani berbagai macam operasi mayor. Namun, memang ada beberapa jenis operasi yang sangat rumit, sehingga mau tidak mau harus dilakukan di darat. Misalnya, operasi jantung.
Kapal tersebut direncanakan berlabuh di Pulau Panggang higga hari ini. Selanjutnya, kapal kembali ke Muara Baru untuk evaluasi. Beberapa bagian bakal dirombak agar makin tampak layaknya rumah sakit. Termasuk, menambah kecepatan laju kapal. Kecepatan sekitar 6 knot dinilai masih terlalu lamban. Selain itu, Lie bakal mengevaluasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditangani rumah sakitnya.
Wakil Bupati Kepulauan Seribu Junaidi mengapresiasi keberadaan Floating Hospital. Dia mengungkapkan, warga di Kepulauan Seribu akan sangat terbantu oleh RS terapung tersebut.
"Sebetulnya layanan kesehatan di Kepulauan Seribu sudah memadai. Namun, untuk operasi besar, kami masih harus menyeberang ke Jakarta. Mudah-mudahan RS terapung ini akan memudahkan warga yang ingin mendapat layanan medis yang lebih memadai," ujarnya.
Saat ini, Lie sedang memikirkan cara agar RS tersebut bisa terus beroperasi. Sebab, setiap warga yang berobat di Floating Hospital sama sekali tidak dipungut biaya. Padahal, operasi RS memerlukan biaya. "RS ini memang kami tujukan untuk misi kemanusiaan," tuturnya.
Salah satu yang akan diupayakan adalah meminta sokongan donatur. Lie juga mencari dana lewat keuntungan kliniknya yang beroperasi di Jakarta. Dia juga sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah daerah agar turut mendanai RS tersebut lewat program jamkesmas atau jamkesda.
Lie bersama tim doctorSHARE juga sedang menyiapkan rute-rute perjalanan laut berikutnya. Misalnya, ke Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Bali, Sumba, Flores, dan Kepulauan Kei. "Jika ditotal dengan perjalanan dan operasionalnya, semua rute itu bisa ditempuh selama setahunan," ucapnya.
Dia menambahkan, layanan RS terapung mutlak dibutuhkan di Indonesia. Mengingat, Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyak kawasan di pesisir pantai yang minim fasilitas kesehatan. "Di DKI saja yang notabene ibu kota negara, layanan kesehatan di kawasan pesisir jauh dari layak. Ini memprihatinkan," tegasnya. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Deru Knalpot, Kereta Kuda Jadi Alternatif
Redaktur : Tim Redaksi