Imunisasi, Modal Immateri Anak

Minggu, 09 Juni 2013 – 02:38 WIB
TARAKAN – Pencegahan penyakit infeksi sejak dini yang paling efektif dengan pemberian imunisasi. Sebab, dengan imunisasi tubuh akan melawan kuman dengan kekebalan yang sebelumnya sudah ada, atau lebih alami. Berbeda dengan penggunaan antibiotik yang bisa menyebabkan kuman bermutasi, sehingga kuman akan kebal atau resisten terhadap obat tersebut.

Seperti yang dikemukakan Dokter Spesialis Anak, dr Franky Sientoro kepada Radar Tarakan (Grup JPNN). Katanya, kini antibiotik telah dipakai secara umum dan bebas, sementara dengan risiko resistensi pada kuman, maka penggunaannya tidak berguna lagi. “Pada imunisasi yang diberikan adalah bagian dari kuman, atau bagian dari kuman yang menimbulkan kekebalan,” jelasnya.

Bagian dari kuman tersebut, dijelaskannya bisa menimbulkan kekebalan terhadap kuman tertentu yang diberikan kepada tubuh, untuk membentuk antibiotik sendiri didalam tubuh yang biasa disebut sebagai antibodi.

Menurutnya, antibodi adalah antibiotik yang pembentukannya lebih alami. Dicontohkannya, imunisasi yang ada saat ini sudah bisa mencegah cacar, polio, campak dan penyakit lainnya. “Penyakit-penyakit lainnya yang bisa dicegah, terutama adalah penyakit campak, kemudian DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), BCG (Bacillus Calmette Guerin) untuk TBC, hepatitis A dan B,” sebutnya.

Namun, dewasa ini dikatakan Franky, imunisasi sudah sangat berkembang, seperti halnya di praktik dokter swasta atau private. Imunisasi yang tidak termasuk dalam program pemerintah atau termasuk dalam daftar imunisasi wajib, kini sudah tersedia. Seperti imunisasi diare, radang otak, dan lainnya. “Sekarang ada rencana pemerintah untuk memasukkan tambahan lagi yang namanya Haemophyllus Influenza untuk radang otak didalam program imunisasi nasional,” ungkapnya.

Lanjutnya, apabila jenis imunisasi tersebut sudah dalam program imunisasi nasional, maka pemerintah wajib menyediakan vaksinnya. Franky  berharap pada tahun 2014, vaksin imunisasi Demam Berdarah (DB) yang ditunggu-tunggu sudah tersedia. Karena saat ini, percobaan terhadap vaksin tersebut sudah sampai pada tahap ketiga, atau sudah sampai pada tahap uji kepada manusia tapi jumlahnya terbatas. “Itu sudah sejak 2 tahun lalu dilakukan, dan dievaluasi terus. Saya berharap mudah-mudahan tahun 2014 nanti sudah bisa selesai, dan semua orang bisa diberi imunisasi itu,” harapnya.

Franky melihat, dari pengalaman klinis dan praktik di rumah sakit, anak yang tidak pernah diberikan imunisasi akan sangat rentan terhadap penyakit-penyakit infeksi, karena kekebalan tubuhnya secara logika, juga sangat rentan terhadap penyakit. Selain itu, beberapa persoalan sosial yang terjadi di masyarakat, seperti di Indonesia ada gerakan anti imunisasi, dinilainya sebagai sebuah aksi yang cukup disayangkan dilakukan oleh masyarakat. Karena, di daerah basis gerakan tersebut terjadi kekambuhan difteri atau penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi DPT. “Ada sebagian masyarakat yang tidak mau imunisasi, alasannya saya tidak tahu. Tapi akibatnya, di daerah basisnya di Surabaya terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa, Red.) imunisasi, dan tahun lalu ada beberapa orang yang meninggal dengan kasus difteri,” bebernya.

Franky menuturkan bahwa, di Tarakan sendiri, kesadaran masyarakat untuk berimunisasi sudah cukup baik. Sehingga, sebagian basar masyarakat juga bisa dipastikan telah mendapatkan imunisasi, khususnya vaksin imunisasi wajib yang diprogramkan pemerintah. Selain itu, beberapa diantaranya juga melakukan imunisasi secara private di dokter-dokter praktik, yakni vaksin imunisasi yang diluar program pemerintah. “Pemberian imunisasi bagi anak-anak, seperti modal kepada anak-anak, bukan dalam bentuk uang, tapi investasi dalam bentuk kesehatan,” ujarnya.

Karena, untuk kos untuk imunisasi diluar program imunisasi wajib relatif  mahal, sehingga harus disiapkan anggaran khusus oleh keluarga yang bertujuan untuk memberikan bekal kekebalan kesehatan terhadap anak-anak. Disebutkannya, biaya imunisasi tersebut bisa berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 900 ribu untuk sekali suntuk. “Untuk paru-paru saja, ada yang Rp 650 ribu sampai Rp 900 ribu, karena semua vaksin jenis yang ini diimpor. Jadi yang melalui distributor resmi, harganya masih mahal,” terangnya.

Dengan demikian, Franky berharap pemerintah bisa membuat vaksin sendiri, karena yang bisa diproduksi didalam negeri hanya vaksin yang selama ini masuk dalam program pemerintah, yaitu melalui Biofarma. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri juga bahwa keunggulan teknologi produksen luar negeri, maih jauh di atas Biofarma. “Misalnya, DPT yang masuk imunisasi wajib oleh pemerintah, memberikan efek dampak panas pada 2 hari. Sementara vaksin yang diimpor, dampak panasnya sangat minimal,” tukasnya.(yan/ndy)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tips untuk Wanita yang Punya Hasrat Seks Tinggi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler