JAKARTA - Program kartu Indonesia Automatic Finger Print Identification System (Inafis) masih terus dipolemikkan. Meski Polri menghentikan sementara Inafis itu, namun sebagian minta tidak perlu ada program itu karena sudah ada e-KTP. Kedua program itu dipastikan tumpang tindih akibat lemahnya koordinasi antar institusi negara.
Anggota DPR dari Komisi III Syarifuddin Sudding ikut mengeluhkan program Inafis tersebut. Terlepas gratis atau bayar, program itu memperlihatkan lemahnya koordinasi antara dua institusi negara, yakni Polri dan Kemendagri. Sebab ada data penduduk yang sama di kedua institusi itu.
Atas itu, Sudding minta sebaiknya disatukan saja dalam 1 kartu semua data penduduk sehingga cukup ada 1 kartu yang konprehensif, komplit dan sinergis. Artinya, kata Sudding, semua yang dibutuhkan terkait data kependudukan dan deteksi pelaku kriminal cukup di dalam satu kartu yang semua data penduduknya tertampung dalam satu database.
”Polisi perlu data langsung online ke Kemendagri, begitu pula sebaliknya. Kalau tidak begini, nanti Kejaksaan, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan BNN bikin kartu juga dan rakyat lagi yang dibebani. Kan jadi kacau semuanya,” kata Sudding, kepada INDOPOS (JPNN Group), Jumat (27/4).
Sudding juga memastikan pihaknya akan segera memanggil Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo untuk memintakan pertanggungjawabannya terkait program Inafis itu. ”Kami juga akan meminta Kapolri untuk segera berkoordinasi dengan Mendagri agar dimasukkan saja data kepolisian kedalam e-KTP agar semua data terangkum dalam satu kartu saja,” pungkasnya.
Seperti diketahui, kasus Inafis mencuat sejak 17 April 2012 ketika pertama kali program ini diluncurkan. Pemohon SIM di Polda Metro Jaya meradang karena dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 35.000 untuk kartu Inafis. Dasar hukum pengenaan harga kartu pun adalah PP 50/2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PBBP).
Pihak Polri mengatakan kartu Inafis memuat catatan pribadi (kriminal dan keuangan di bank). Akibatnya, publik menyatakan penolakan atas pembuatan kartu ini. Komisi II DPR mengatakan bahwa terjadi tumpang tindih dengan fungsi e-KTP. Bahkan Koordinator Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan bahwa Inafis hanya untuk kepentingan bisnis Polri semata.
Banyak pertanyaan seputar proyek Inafis ini, apalagi di sisi lain Kemendagri sudah melaksanakan program KTP elektronik (e-KTP). Setelah Inafis ini dihentikan sementara oleh Polri, bagaimana dengan alat yang sudah dibeli? Bagaimana dengan jumlah uang sebesar Rp 20,98 miliar yang telah dikeluarkan negara?
Kepala Pusat Inafis Bareskrim Polri, Brigjen Pol Drs Bekti Suhartono mengatakan pihaknya akan meminta pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.50/2010 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). ”Inafis dihentikan. Tapi kami harus merevisi PP No.50 Tahun 2010. Nah, sambil menunggu revisi, operasional pembuatan Inafis dihentikan,” ujarnya, Kamis (26/4) di gedung DPR RI.
Menurut Bekti, ada 11 item PNBP yang berlaku di kepolisian dan biayanya dibebankan kepada masyarakat, dimana salah satu dari 11 item itu adalah Inafis. ”Item ini yang akan direvisi. Inafisnya akan dihilangkan dari PP. Nanti biayanya tidak akan dibebankan kepada masyarakat,” tegas Bekti.
Dijelaskannya pula, pungutan Rp 35 ribu dalam pembuatan kartu Inafis itu disebutkan dalam PP No.50/2010 itu, namun karena banyak masukan dan sejumlah protes dari masyarakat sehingga dievaluasi lagi, lantas dari hasil evaluasi itu akan diambil keputusan, apa dihentikan secara permanen atau apa. ”Yang jelas program Inafis ini bukan proyek cari untung karena Polri tidak profitable tapi pelayanan masyarakat,” tegasnya.
Dijelaskannya pula, alokasi anggaran proyek Inafis tidak diambil dari APBN tetapi diambil dari PNBP yang sama seperti pembuatan SIM. ”Anggaran SIM itu totalnya Rp 28 miliar, untuk mesin Rp 12 miliar, sisanya untuk bahan kartu,” pungkasnya. (ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR: Hentikan Opini Organ Tubuh 3 TKI Lengkap
Redaktur : Tim Redaksi