jpnn.com - MATARAM - ProfDr Ryaas Rasyid mengatakan, calon incumbent cenderung memanfaatkan jaringan pemerintahan dan fasilitas negara untuk kepentingan politiknya
BACA JUGA: Prabowo: Banyak Pendukung Kami Tidak Dapat Undangan
Padahal, incumbent mestinya justru memberikan manfaat bagi proses demokrasi yang bersih dan berwibawa.Sebelumnya, pemerintah mengatur soal calon incumbent dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang disahkan 28 April 2008.
“Di negara maju, pejabatnya konsisten dan mau mengimplementasikan aturan itu
Repotnya, selain komitmen pelaksanaannya yang masih setengah hati, di Indonesia, aturan soal incumbent justru menimbulkan dualisme sistem
BACA JUGA: Prabowo: Banyak Pendukung Kami Tidak Dapat Undangan
Karena itu regulasi ini perlu direvisi.‘’Regulasi kandidat incumbent memunculkan ketidakseragaman dalam sistem dalam Pemilu eksekutif
Rasyid yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan KB-PII itu mengatakan, kandidat incumbent bisa saja bersikeras untuk tidak mengundurkan diri, saat proses pemilu kepala daerah, hanya karena memedomani masa jabatannya.
Sikap Fahruddin contohnya
BACA JUGA: Praktisi Intelijen: Aparat akan Bermain Menangkan Petahana
Salah seorang kepala daerah di Provinsi Lampung ini bersikeras tidak ingin mundur saat proses pemilu kepala daerahAlasannya, masa jabatannya selama lima tahun dan tidak ingin kurang seharipunKendati begitu, Ryaas mengaku dapat memahami maksud dan tujuan diberlakukannya aturan kandidat incumbent yang mulai berlaku saat pendaftaran kandidat setelah April 2008.
Ditambahkan, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 berbeda dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan aturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 6 Tahun 2005, yang hanya mengharuskan kandidat incumbent mengajukan permohonan cuti maksimal 12 hari sebelum tahapan kampanye.
Permohonan cuti kampanye untuk pilkada gubernur dan wakil gubernur ditujukan kepada Mendagri dan untuk pilkada bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota diajukan ke gubernur.
Karena itu, mantan Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri ini, lebih memilih mengembalikan aturan pelaksanaan pemilu pada ketentuan Undang
Undang Pemerintah Daerah yang lama yakni UU Nomor 22 Tahun 1999.
‘’Caranya dengan kembali ke Undang Undang Otonomi Daerah yang lama saja, agar ada konsistensi atau keseragaman,’’ cetusnya.(guh/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Ahok, Kalau Anda Maju Cagub Sumut 2024, Siap Enggak?
Redaktur : Tim Redaksi