Indef Dorong Pemerintah Kembangkan Energi Alternatif

Kamis, 04 Juni 2020 – 02:50 WIB
SPBU Shell. Foto: Shell

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ucok Pulungan menilai pemerintah perlu mengembangkan energi alternatif lain di luar gas.

Energi alternatif di Indonesia yang bisa dikembangkan sangat berlimpah seperti sinar matahari, panas bumi, energi angin, gelombang laut, biomassa dan lainnya.

BACA JUGA: Venezuela Negara Kebanggaan Kaum Kiri, Kini Jual BBM Sesuai Harga Pasar

“Sayangnya meski dari sisi program sudah dilakukan tetapi penggunaannya masih minim," kata Ucok dalam keterangannya, Rabu (3/6).

Apalagi, lanjutnya, BBM di Indonesia selama ini berasal dari impor. Meski penggunaan B20 sedikit banyak sudah terlihat adanya penurunan volume impor BBM sepanjang 2019 lalu.

BACA JUGA: Pengamat: Alihkan Subsidi BBM untuk Pekerja yang Kena PHK

“Misalnya, pembangkit listrik tenaga bayu (angin) sebenarnya sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain juga sudah ada. Nah, itu jangan hanya menjadi wacana,” katanya.

Ditambahkannya, selama ini pelemahan rupiah selain akibat dampak kebijakan impor BBM yang tinggi juga karena kebijakan di sektor rill. Misalnya ekspor yang rendah, tingginya ketergantungan pada jasa asing dan aliran modal ke negara lain dari pendapatan investasi. Juga nilai ekspor yang masih rendah.

BACA JUGA: Reaksi KSAL Kepada Tiga Prajurit TNI AL yang Sempat Viral di Media Sosial

"Kondisi ini menghantam rupiah meski dari sisi moneter, BI sudah cukup baik mengawal rupiah.," katanya.

Rupiah, lanjutnya, tidak akan perkasa dan tetap rentan terdepresiasi jika sektor rillnya tidak beres. Karenanya, pemerintah perlu menempuh kebijakan yang berjalan secara bersamaan.

Misalnya dalam masalah BBM yang selama ini ribut di publik jika harga minyak dunia turun lantas di dalam negeri tak juga turun. Harga BBM yang murah karena adanya subsidi membuat program energi alternatif selain fosil melambat perkembangannya.

"Kalau harga BBM murah karena disubsidi maka akan muncul tendensi insentif untuk mengembangkan energi altenatif jadi tidak menarik. Itu yang selama ini terjadi. Namun, ketika harga BBM membumbung tinggi, baru kita panik," jelasnya.

Ucok juga menilai, dalam penentuan harga BBM, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Meski diakui ada koreksi harga niai tukar dan juga penurunan harga minyak, tetapi harus tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.

"Saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi kembali berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok. Caranya, dengan menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga," sambungnya. 

Pemerintah juga diharapkan menerapkan kebijakan energi terintegrasi dan konsisten. Mengingat kebijakan energi juga akan turut mendukung ketahanan cadangan devisa. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sering melebar akibat tingginya impor, salah satu dari impor BBM.

"Ujungnya, mata uang rupiah pun rentan naik turun alias fluktuatif," tegasnya.

Awal tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memangkas jatah impor minyak mentah (crude) PT Pertamina (Persero) hingga 3 juta barel atau 8.000 barel per hari. Pengurangan jatah impor minyak mentah ini demi menekan defisit neraca perdagangan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Febby Tumiwa, menyebutkan BBM subsidi yang diberikan pada BBM jenis diesel (solar) dan minyak tanah di APBN 2020, mencapai Rp18,7 triliun. Terbesar adalah subsidi LPG 3 kg senilai Rp49,4 triliun.

"Subsidi ini perlu dipangkas, bertahap dan dialihkan kepada sektor lain yang produktif, tetapi pengalihan tersebut harus memastikan bahwa masyarakat miskin tetap bisa mendapatkan energi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas," ujarnya.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa bagian terbesar subsidi bahan bakar dinikmati pemilik kendaraan roda empat (53%), dan bukan oleh pengendara motor (40%) dan angkutan umum (3%).(esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler