jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung Muradi menyatakan, sulit untuk menafikan adanya unsur Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ataupun simpatisan terorisme dalam gerakan #2019GantiPresiden. Menurutnya, ada sejumlah indikasi yang tampak jelas soal penumpang gelap gerakan #2019GantiPresiden yang ingin menciptakan konflik demi menjadikan Indonesia seperti suriah.
Muradi mengatakan, indikasi pertama adanya penumpang gelap pengancam NKRI dalam gerakan #2019GantiPresiden adalah keberadaan politikus dari partai yang sudah resmi mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), namun tak mau diasosiasikan dengan duet tersebut. “Hal ini mengindikasikan ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden,” ujarnya, Minggu (9/9).
BACA JUGA: Demokrat Pertimbangkan Beri Izin Kader Dukung Jokowi
Indikasi kedua adalah deklarasi #2019GantiPresiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya umat agama tertentu. Bahkan, kata Muradi, rumah ibadah pun dijadikan tempat kampanye #2019GantiPresiden.
Muradi menambahkan, pegiat gerakan #2019GantiPresiden terus menuding pemerintah antiagama tertentu. Bahkan Presiden Joko Widodo sebagai capres petahana yang menggandeng ulama sebagai cawapres pun tetap dituding anti-Islam.
BACA JUGA: Adu Kuat Tim Pemenangan Jokowi - Maâruf vs Prabowo - Sandi
“Karena esensi gerakan tagar ganti presiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini, melainkan ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini,” ulasnya.
Indikasi ketiga adalah pegiat #2019GantiPresiden tak mau menyebut nama salah satu pasangan capres-cawapres yang mereka dukung. Sebaliknya, orasi-orasi dalam deklarasi #2019GantiPresiden justru untuk membangkitkan emosi umat dengan isu yang belum tentu benar.
BACA JUGA: Jurus Eks Panglima TNI Hadapi Strategi Erick di Kubu Jokowi
Hal ini mengingatkan kita pada jargon yang sering digunakan oleh HTI sebelum dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah,” sebutnya.
Sedangkan indikasi keempat adalah pegiat #2019GantiPresiden mengklaim sebagai gerakan konstitusional. Namun, di dalamnya kerap menggunakan jargon-jargon ataupun simbul HTI, bahkan yang bernuansa Negara Islam Irak Suriah (ISIS).
“Jadi sebenarnya bila mengacu UU Antiteror, indikasi itu telah masuk wilayah penyebaran paham radikal dengan simbol-simbol tersebut,” tersebut.
Sedangkan indikasi terakhir adalah keengganan penumpang gelap #2019GantiPresiden untuk menggunakan #2019PrabowoPresiden. Muradi menduga penumpang gelap #2019GantiPresiden akan bermetamofrosa dalam menolak menggunakan #2019PrabowoPresiden dan tetap ke gerakan awal.
Muradi menyebut #2019GantiPresiden merupakan gerakan sistematis yang ingin membangun sentimen ketidaksukaan kepada pemerintah yang tidak mewakili kepentingan politik mereka. Disi lain, penumpang gelap #2019GantiPresiden juga enggan menyokong capres penantang petahana. “Karena keduanya tidak mewakili dan merepresentasikan kepentingan politik mereka,” ujarnya.
Berdasar lima indikasi itu Muradi memastikan #2019GantiPresiden tidak menginginkan alur proses politik kontestasi lima tahunan yang diatur dalam skema demokrasi prosedural. “Dengan kata lain ada agenda politik tersembunyi yang ingin diperjuangkan di luar skema politik yang ada, dan hal tersebut nampak dari lima indikasi tersebut,” ujarnya.(jpg/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Elemen Membahayakan Negara di Gerakan #2019GantiPresiden
Redaktur : Tim Redaksi