Indonesia Gali Lubang Tutup Lubang

Kamis, 07 Februari 2013 – 07:25 WIB
JAKARTA - Istilah gali lubang tutup lubang cocok untuk menggambarkan kondisi seseorang yang harus berutang untuk membayar utang-utang sebelumnya. Kini, kondisi seperti itu terjadi pada Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan, sepanjang 2012 lalu, Indonesia mengalami defisit primary balance. "Ini yang pertama kali sepanjang sejarah Republik Indonesia," ujarnya Rabu (6/2).

Apa itu defisit primary balance? Mahendra menyebut, kondisi itu menggambarkan minusnya agregat pendapatan negara dan belanja negara tanpa bunga utang. "Artinya untuk membayar bunga utang, sebagian kita bayar dengan utang baru," katanya.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, realisasi pendapatan negara pada tahun 2012 mencapai Rp 1.335,7 triliun atau 98,3 persen dari sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2012 yang sebesar Rp 1.358,2 triliun.

Sedangkan realisasi belanja negara pada 2012 lalu mencapai Rp 1.481,7 triliun. Angka ini berarti 4,3 persen lebih rendah dari pagu belanja negara yang ditetapkan dalam APBN-P 2012, sebesar Rp 1.548,3 triliun.

Dengan realisasi pendapatan dan belanja negara tersebut, maka realisasi defisit anggaran dalam pelaksanaan APBN-P tahun lalu mencapai Rp146 triliun atau 1,77 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Untuk membayar bunga utang saja, setiap tahun Indonesia harus mengalokasikan dana lebih dari Rp 100 triliun. Adapun utang baru Indonesia pada 2012 lalu mencapai Rp 199 triliun yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) maupun utang luar negeri.

Menurut Mahendra, salah satu penyebab defisit tersebut adalah membengkaknya beban subsidi yang menembus Rp 300 triliun. Karena itu, lanjut dia, tahun ini Kementerian Keuangan sangat berharap agar pengendalian konsumsi BBM bisa berjalan baik sehingga beban subsidi tidak membengkak. "Kalau tidak, tahun ini defisit bisa lebih buruk dan akan membahayakan APBN kita," jelasnya.

Ekonom yang juga Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara mengatakan, defisit primary balance tersebut makin berbahaya karena ketergantungan Indonesia pada dana asing sangat besar.

Saat ini, lanjut dia, porsi kepemilikan asing terhadap Surat Utang Negara (SUN) mencapai Rp 230 triliun atau 32 persen dari total SUN. "Karena itu, kalau (investor) asing kehilangan kepercayaan pada Indonesia dan menarik dananya, maka sistem keuangan kita bisa terguncang," ujarnya. (Owi)


BACA ARTIKEL LAINNYA... 45 Daerah Dijatah Rp205 Miliar

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler