jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Kebijakan Hubungan Luar Negeri Dr Darmansjah Djumala menyambut positif strategi politik luar negeri pemerintah dengan menjadi anggota penuh BRICS.
BRICS adalah forum kerja sama ekonomi negara-negara dari berbagai kawasan dunia.
BACA JUGA: Anggap Muslim di Indonesia Paling Beruntung, Kepala BPIP Sebut Setiap WNI Terlahir jadi Capres
Saat ini, BRICS beranggotakan 10 negara, yaitu Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, Uni Emirat Arab dan Indonesia.
BRICS juga diikuti 12 negara mitra, yaitu Thailand, Malaysia, Vietnam, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Nigeria, Turki, Uganda, dan Uzbekistan.
BACA JUGA: Salam Pancasila, BPIP Punya Mars Baru Hasil Sayembara
Dalam level dunia, BRICS menguasai 37,82 persen product domestic bruto (PDB) dunia dengan jumlah penduduk 48 persen dari total populasi dunia.
Menurut Djumala, diplomasi Indonesia melakukan langkah bersejarah dengan menjadi anggota BRICS.
BACA JUGA: Refleksi Akhir Tahun, BPIP Komitmen Jaga dan Kuatkan Pembinaan Ideologi Pancasila
"Dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia memasuki ranah baru dalam upaya mengaktualisasikan prinsip bebas aktif dalam diplomasi dan kebijakan luar negerinya," kata Djumala dalam keterangan resminya, Jumat (10/1).
Lebih jauh Djumala yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB menggarisbawahi fakta penerimaan Indonesia sebagai anggota penuh relatif cepat.
Niat Indonesia untuk ikut BRICS dinyatakan Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Sugiono pada KTT BRICS di Kazan, Rusia pada 24 Oktober 2024.
Hanya berselang 2,5 bulan, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Brasil sebagai Ketua BRICS saat ini mengumumkan diterimanya Indonesia sebagai anggota penuh.
Bagi Djumala, cepatnya Indonesia diterima sebagai anggota menyiratkan peran Indonesia dinilai penting dalam BRICS terutama dalam tiga perspektif, yaitu geopolitik, ekonomi dan diplomasi.
Pertama, dalam konteks geopolitik dunia sekarang ini, profil Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok membawa nuansa kemandirian dan independensi dalam tarikan kepentingan politik global.
"Muruah prinsip bebas-aktif akan terefleksi dalam kinerja diplomasi BRICS dalam interaksinya dengan kekuatan politik global lainnya," terang eks Kepala Sekretariat Presiden/Sekretaris Presiden Joko Widodo itu.
Pada titik ini Indonesia memperoleh ranah baru untuk mengaktualisasikan prinsip bebas-aktifnya.
Kedua, lanjut Djumala, dari perspektif ekonomi, Indonesia dipandang sebagai kekuatan ekonomi regional dengan pangsa pasar terbuka yang luas dengan kelas menengah cukup besar.
Djumala menilai dengan status sebagai anggota G20 tidak sulit bagi Indonesia untuk berkontribusi dalam kerjasama BRICS, terutama dalam pembukaan akses pasar dan arus investasi.
Ketiga, dari perspektif watak diplomasi, Indonesia selama ini sudah terlanjur dikenal sebagai penengah atau bridge builder dalam banyak perbedaan kepentingan negara-negara dunia, seperti negara maju versus negara berkembang atau negara Barat versus Timur.
Menjadi mediator kepentingan yang berbeda secara diametral sudah menjadi DNA diplomasi Indonesia.
Watak mediasi seperti ini sangat diperlukan dalam menjembatani kepentingan antara BRICS dan kekuatan blok ekonomi global lainnya.
“Sebenarnya di sinilah letak nilai lebih yang dimiliki Indonesia ketika menjadi anggota BRICS," imbuhnya.
Djumala mengatakan adab diplomasi Indonesia yang menekankan pada upaya 'menyatukan yang terbelah dan mendekatkan yang terpisah' akan mewarnai langkah BRICS ketika berhadapan dengan kepentingan blok ekonomi lain.
"Diplomasi nilai yang dibawa Indonesia yang diinspirasi oleh Pancasila, yaitu gotong royong (kerja sama) dan musyawarah (dialog), diharapkan dapat mewarnai kinerja BRICS manakala kelompok tersebut berinteraksi dengan kekuatan ekonomi global lain,"pungkas Djumala. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi