Di ibukota Australia, Canberra, minggu ini sedang dilakukan berbagai kegiatan memperingati 50 tahun keberadaan Indonesia Project di Australian National University. Bagaimana sejarah perjalanan proyek ini, berikut tulisan salah seorang staf ANU Indonesia Project asal Indonesia, Lidya Napitapulu.

Pada pertengahan tahun 1960-an, Indonesia mengalami salah satu masa terburuk dalam sejarahnya setelah kemerdekaan.

BACA JUGA: Banyak Sekolah di Australia Tak Siap Ajarkan Matematika, Sains dan Teknologi

Di bidang ekonomi, nilai tukar rupiah sangat rendah, tingkat inflasi membubung tinggi bahkan hingga mencapai 500%, serta anggaran pemerintah mengalami defisit yang sangat besar.

Di bidang politik, persaingan antara pihak nasionalis, Islamis dan komunis menjadi semakin berbahaya bahkan memuncak dalam konfik yang memakan korban ratusan ribu jiwa.

BACA JUGA: Tiga Anak Menelan Pil Tidur di TPA di Canberra

Pada kondisi seperti itulah, Profesor Heinz Ardnt Kepala Departemen Ekonomi pada School of Pacific Studies di ANU, seorang ahli ekonomi makro dan moneter, memprakarsai berdirinya  ANU Indonesia Project (Indonesia Project, IP ).

Tujuannya, untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai masalah-masalah pembangunan di Indonesia dan  membuat dunia tahu apa yang terjadi dengan persoalan pembangunan di Indonesia.

BACA JUGA: Australia Desak Dibentuknya Peradilan Internasional Bagi Pelaku Penembakan Pesawat MH17

Pada awal hingga pertengahan tahun 1960-an, Indonesia bukan merupakan wilayah geografis  penting bagi Australia maupun bagi ANU. Pada saat itu, fokus ANU di wilayah Pasifik berpusat  pada Malaysia dan Papua Nugini.

Namun pada tahun 1964, Profesor Arndt, yang tidak memiliki pengalaman apa pun tentang Indonesia mengusulkan agar Indonesia menjadi salah satu fokus penelitian di ANU dengan pertimbangan bahwa Indonesia penting bagi Australia dan sekitarnya. Penelitian tentang Indonesia pada saat itu pun masih sangat jarang.

Selain itu, Prof Arndt mengungkapan satu alasan lagi yang bersifat praktis, yaitu bahwa ongkos kegiatan akademis di Indonesia akan lebih rendah dibanding dengan China atau Jepang.

Pada awalnya usulan ini mendapat tanggapan dingin baik dari dalam ANU sendiri maupun akademisi di luar ANU. Namun Profesor Arndt berhasil mempertajam idenya tersebut setelah berkunjung ke Indonesia di penghujung tahun 1964 dan berdiskusi dengan kalangan intelektual Indonesia.

 


Peserta konprensi tentang pembangunan regional yang diselenggarakan oleh IP di Canberra tahun 1987, diantaranya Mari Elka Pangestu (depan lima dari kiri).

 

Pada tahun 1965, cikal-bakal Indonesia Project di ANU mulai muncul dengan terbitnya dua publikasi tentang Indonesia pada Departemen Ekonomi dan berangkatnya orang pertama di Departemen tersebut melakukan penelitian lapangan di  Indonesia .

Antara tahun 1965 hingga 1980, secara kelembagaan Indonesia Project di ANU mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Pada periode tersebut, empat buah buku tentang perekonomian Indonesia diterbitkan, dan lebih dari 160 artikel lainnya terbit dalam dalam berbagai jurnal akademis atau bab dalam buku kompilasi.

Jurnal yang diterbitkan oleh IP, Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) meningkat oplagnya menjadi 1.500 eksemplar, setengah di antaranya beredar di Indonesia (dan duplikasi dalam bentuk fotokopi artikel di kalangan mahasiswa dan peneliti di Indonesia yang jumlahnya kemungkinan cukup besar).

Hingga tahun 1980, delapan mahasiswa menyelesaikan gelar doktornya dengan fokus pada Indonesia, dan perpustakaan Indonesia Project memiliki lebih dari 7.000 koleksi berkaitan dengan Indonesia – lebih banyak dari koleksi manapun di dunia (bahkan di Indonesia).

Diseminasi informasi dan pendidikan doktoral

Babak baru bagi Indonesia Project muncul di tahun 1983 dengan diadakannya Indonesia Update Conference.

Konferensi ini ditujukan untuk membahas suatu topik penting berkaitan dengan pembangunan di Indonesia, dan sejak itu konferensi tahunan ini telah terselenggara secara rutin hingga kini.

Bahkan belakangan, acara ini menjadi konferensi terbesar tentang Indonesia yang diselenggarakan di luar Indonesia. Pada tahun 2014, Indonesia Update yang ke-32 yang bertopik evaluasi terhadap kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode, dihadiri oleh lebih dari 400  peserta dan berlangsung selama satu setengah hari.

Presentasi pada Indonesia Update sendiri menjadi basis dari publikasi buku yang terbit setiap tahun sesuai dengan topik konferensi.

Terbitnya buku tersebut kemudian ditandai dengan peluncuran di Indonesia (biasanya di Jakarta dan satu kota di luar Jakarta) dan Australia.

Secara kosisten, jurnal yang diterbitkan Indonesia Project, yaitu BIES, telah berkembang menjadi publikasi ilmiah utama tentang Indonesia .

Terbit tiga kali setahun dan pada tahun 2000 penerbitan jurnal ini dialihkan ke Taylor & Francis Group, sehingga memungkinkan akses dan distribusi global termasuk dalam bentuk elektronik.

Salah satu kolom rutin dalam BIES adalah serial artikel Survey of Recent Development, yang kerap menjadi referensi bagi baik peneliti maupun pengambil keputusan di Indonesia dan luar Indonesia.

Pada tahun 2014, akses elektronis secara gratis terhadap BIES diberikan kepada lebih dari 50 lembaga di Indonesia. Bahkan Economic Record, jurnal ekonomi utama Australia, memberikan gelar BIES sebagai salah satu jurnal berbahasa Inggris paling berpengaruh di  dunia.

Selain penelitian, Indonesia Project juga merupakan pusat pendidikan bahwa mahasiswa, terutama  mahasiswa tingkat doktoral.

Namun pada period setelah 1980 hingga akhir 1990an, hanya empat  orang mahasiwa doktoral bernaung pada Indonesia Project.

Tapi berbeda dengan periode sebelum 1980 di mana tidak satu pun mahasiswa tersebut adalah orang Indonesia, pada periode 1981 hingga 1999, tiga dari empat mahasiswa tersebut adalah dari Indonesia (termasuk M. Chatib Basri, yang kemudian menjadi Kepala BKPM dan Menteri Keuangan).

Ketertarikan mahasiswa doktoral untuk bergabung dengan Indonesia Project meningkat setelah tahun 2000-an, dan hingga 2015, lebih dari 12 orang mahasiswa doktoral sudah atau sedang menamatkan pendidikan dan penelitiannya.

Kerjasama erat dengan lembaga di Indonesia merupakan salah satu pilar IP sejak berdirinya. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (sebelumnya bernama Fakultas Ekonomi) Universitas Indonesia (FEB UI) merupakan salah satu mitra akademik utama.

Sejak tahun 2007, IP dan LPEM sepakat menyelenggarakan kuliah umum bertajuk Sadli Lecture, yang merupakan upaya mengingat dan memberi penghargaan bagi Profesor Mohammad Sadli, ahli ekonomi yang paling berpengaruh di Indonesia selama 40 tahun terakhir, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala LPEM.

Eratnya hubungan antara IP dan akademisi di Indonesia, khususnya kalangan ekonomi, direfleksikan juga dengan diadakannya Hadi Soesastro Policy Forum (HSPF) pada tahun 2013 untuk mengenang Hadi Soesatro, salah satu ahli ekonomi di bidang perdagangan dan kerjasama internasional.

HSPF yang memasuki tahun ketiganya diselenggarakan lewat kerjasama dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.

Belakangan, Pemerintah Australia sendiri mendirikan Hadi Soesatro Prize, yang merupakan penghargaan bagi dua mahasiswa doktoral penerima Australia Award yang paling berprestasi.

Pada tahun 2009, bersama dengan LPEM, Indonesia Project secara berkala menyelenggarakan seminar kecil hasil penelitian yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia.

Rangkaian seminar kecil ini bersifat informal dan diberi nama Forum Kajian Pembangunan (FKP), dengan ide awal sebagai brown bag presentation.

Saat ini, ada belasan lembaga yang secara bergilir menjadi tuan rumah FKP selama sebulan, dengan sekitar 2-5 presentasi berbobot dari peneliti Indonesia dan peneliti internasional setiap bulannya.

 


Para pembicara Forum Kajian Pembangunan bersama dengan Presiden Joko Widodo di Aceh bulan Maret 2015.

 

Sejak dua tahun terakhir, video rangkaian presentasi tersebut diunggah di media sosial dan presentasi tersebut ditayangkan dalam bentuk live audio stream.

Lima dasawarsa bukan waktu yang singkat, dan sepanjang perjalanannya, Indonesia Project telah mengalami pasang surut, mirip dengan pasang surut hubungan kedua negara.

Secara kelembagaan, Indonesia Project mengalami tantangan dalam mendanai kegiatannya, dan menarik minat akademisi dan calon mahasiswa yang berkualitas, serta memastikan implementasi dan hasil penelitian betuknya berkualitas dan relevan.

Namun di tengah berbagai tantangan tersebut, secara konsisten Indonesia Project dapat dikatakan berhasil membangun baik kedalaman maupun keluasan kegiatannya.

Perkembangan utama dalam 5 tahun terakhir antara lain semakin aktifnya kegiatan Indonesia Project di Indonesia (dibandingkan di Australia) bersama dengan institusi yang berpusat di Indonesia, serta topik bahasan serta kerjasama yang lebih luas secara multidisipliner. 

Selain itu, IP juga secara antusias memanfaatkan sosial media.

Untuk memperingati lima dasawarsa berdirinya, di minggu ini serangkaian acara diselenggarakan di Canberra. Pada 28 Juli, ada diskusi ilmiah yang dibawakan Profesor Chris Manning bertajuk Where is Indonesia in regard to the Lewis ‘Turning Point’ – and does it matter?

Lewis Turning Point adalah posisi dimana surplus tenaga kerja di pedesaan tidak memberikan keuntungan keuangan lagi.

Pada hari yang sama akan diadakan peluncuran buku The Yudhoyonoo Presidency: Indonesia’s decade of stability and stagnation, yang merupakan hasil dari Indonesia Update 2014.

Pada 29 Juli, Profesor Mari Pangestu (mantan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif dan Menteri Perdagangan) dan Dr Muhamad Chatib Basri tampil memberikan kuliah umum di ANU.

Lalu 30 Juli akan hadir mantan Wakil Presiden Prof esor Boediono untuk meluncurkan buku Australia’s Indonesia Project: 50 years of engagement yang ditulis oleh Colin Brown.

Profesor Boediono juga akan mengadakan pertemuan informal dengan masyarakat dan mahasiswa Indonesia pada 31 Juli.

*Lidya Napitupulu adalah staf asal Indonesia di ANU Indonesia Project di Canberra.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Status Hak Cipta dari Lagu ‘Happy Birthday’ Digugat

Berita Terkait