Hari Riset Indonesia (Indonesia Research Day atau IRD) digelar di University of Adelaide Australia pekan lalu. Seminar tahunan ini merupakan kerjasama GoLive Indonesia dan PPIA South Australia didukung Faculty of Professions, University of Adelaide.

Kegiatan kali ini merupakan yang ketiga kalinya, dibuka dengan alunan musik tradisional Jawa Barat oleh Adelindo Angklung. Untuk tahun ini, terpilih total 13 pembicara yang dibagi dalam 4 tema panel diskusi, yakni sesi Perdagangan, Umum, Pemerintahan, dan Budaya.

BACA JUGA: ELL: Homograf Suspect

GoLive Indonesia merupakan inisiatif Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan RI periode 2004-2011, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2011-2014) bersama Prof. Christopher Findlay (Executive Dean of the Faculty of the Professions,University of Adelaide) dan David Parsons (KADIN). Tujuannya, mendorong diskusi mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia, khususnya terkait isu pemberantasan kemiskinan, lingkungan (perubahan iklim), perdagangan dan bisnis, investasi, serta pengembangan sumber daya manusia.

Duber RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema membuka seminar ini dengan memaparkan peluang dan tantangan kedua negara misalnya isu perubahan demografi. Pada 2030, katanya, Indonesia diprediksi memiliki populasi sebanyak 285 juta jiwa yang mayoritas berusia muda dan produktif, sedangkan Australia sebanyak 27 juta jiwa yang mayoritas diklasifikasi pasca-produktif.

BACA JUGA: Bagaimana Citizen Science Membantu Dunia

Duta Besar Indonesia untuk Australia berfoto bersama panelis, moderator dan peserta 3rd Indonesia Research Day

Menurut dia, dengan bertambahnya jumlah penduduk, Indonesia dan Australia harus meningkatkan standar kehidupan dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat tercapai dengan memperbaiki perencanaan pembangunan serta kebijakan yang mengarah pada peningkatan produktivitas, peluang bisnis, menanamkan budaya inovasi dan riset ilmiah. "Kedua negara saat ini sudah memiliki hubungan kerjasama yang cukup kuat," ujar Dubes Nadjib.

“Dalam bidang perdagangan, nilai kerjasama bilateral mencapai AUD 14 milyar dan masih dapat terus bertambah. Kedepannya, diharapkan kerjasama Indonesia dan Australia akan semakin erat khususnya dalam bidang ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan, dan counter-terorisme,” tambahnya.

BACA JUGA: Ilmuwan Ciptakan Tato Pintar Multifungsi Berbahan Emas

Sementara itu Prof. Christopher Findlay, Dekan Eksekutif Fakultas Professions University of Adelaide, mempresentasikan risetnya mengenai peran sektor jasa sebagai pendorong percepatan ekonomi di Indonesia, khususnya dalam konteks ASEAN.

Prof. Findlay menyebutkan, sektor Jasa saat ini sudah berkontribusi sebesar 43% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2015.

Namun persentase tersebut masih kecil jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Vietnam, dan Thailand. Salah satu pendiri GoLive Indonesia tersebut menganalisa terdapat empat faktor utama yang menyebabkan tersendatnya sektor jasa di Indonesia, yakni minim apresiasi terhadap insentif, kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah terkait, kebijakan yang kompleks dan sulit dipahami (khususnya oleh pihak asing), serta pasar yang terlalu sensitif terhadap perubahan.

Prof Findlay memberikan dua poin rekomendasi untuk mendorong pertumbuhan sektor jasa di Indonesia, yakni mendorong transparansi dan kejelasan informasi kebijakan pemerintah, serta meingkatkan keterlibatan Indonesia dalam komitmen internasional seperti ASEAN, APEC, maupun bilateral dengan Australia. Steven Baker - Chairman AIBC South Australia (kiri), Muhammad Taufan - moderator (tengah) dan Agung Haris - ITPC Sydney (kanan).

Sesi pertama diskusi panel mengangkat topik perdagangan dengan pembicara Agung Haris, Kepala Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) dan Steven Baker, Ketua Australia-Indonesia Business Council regional Australia Selatan (AIBC).

Sesi ini membahas peluang bisnis dan investasi baik di Indonesia maupun Australia. Steven Baker secara khusus memberikan pandangan pelaku bisnis di Australia ketika bekerjasama dengan Indonesia, “implementasi kebijakan yang belum sampai ke bawah, hambatan perdagangan, dan ketidakjelasan informasi (perihal registrasi bisnis, aturan investasi, dsb) masih menjadi tantangan besar.”

Namun ia menjelaskan bahwa kerjasama bisnis antara dua negara sudah mengalami peningkatan dengan adanya kerjasama antar regional. “Misalnya kerjasama South Australia dengan Jawa Barat, proyek Solar Power di Maluku, proyek terminal 3 bandara Soekarno Hatta, dan pengadaan spare part untuk PINDAD,” ujarnya menutup sesi pertama.

Sesi kedua mendiskusikan mengenai perdagangan dan bisnis di Indonesia. Fajar Hirawan, kandidat Ph.D di University of Sydney mempresentasikan bagaimana ketegangan politik diantara Indonesia dan Australia mempegaruhi perdagangan bilateral diantara kedua negara tersebut. Hasil risetnya menunjukan bahwa perisitwa bom Bali memberikan efek yang lebih besar pada perdagangan bilateral dibandingkan isu-isu politik pada masa setelah Orde Baru hingga masa pemerintahan SBY.

Pembicara selanjutnya adalah Ani Wilujeng Suryani, kandidat Ph.D di University of South Australia. Risetnya menganalisa preferensi lulusan Akuntasi yang cenderung memilih berkarir di pemerintahan atau korporasi dibandingkan di Kantor Akuntan Publik (KAP).

Sesi kedua ditutup oleh pembicara ketiga, Leah Wilson. Mahasiswi University of Adelaide ini memparkan bagaimana industri busana memberi dampak negatif pada masyarakat dan lingkungan di Indonesia, melalui proses produksi yang tidak berkesinambungan hingga dampak sosial yang ditimbulkan. Monica Hartanti - Moderator Panel perdagangan dan bisnis, Fajar Hirawan - kandidat PhD University of Sydney, Ani Wilujeng Suryani - kandidat PhD University of South Australia dan Leah Wilson – pelajar double Bachelor Studi Internasional dan studi pembangunan University of Adelaide.

Sesi ketiga mengangkat topik pemerintahan dan reformasi birokrasi. Pembicara pertama, Maryke Van Dierman, kandidat Ph.D di University of Adelaide, mempresentasikan risetnya mengenai peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memberikan perlindungan sosial di Indonesia.

“Setelah masa Orde Baru, LSM mempunyai peranan penting dalam mengadvokasi perlindungan sosial ke tahap yang lebih jauh. Sebagai contoh, LSM dapat mempengaruhi pemerintah untuk mengesahkan kebijakan BPJS,” ujarnya.

Panelis kedua Sukendar, kandidat Ph.D di Flinders University memaparkan efektivitas Perlindungan Terpadu Penanganan Kekerasan (PTPK) di Semarang dan Cilacap dalam mengadvokasi korban Kekerasan Domestik dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun, masih ada beberapa tantangan dalam implementasi di lapangan, misalnya kurangnya koordinasi antar pihak terkait, staf yang kurang berpengalaman, lemahnya komunikasi dengan LSM, serta tidak adanya payung hukum di tingkat daerah.

Pembicara ketiga, Muhammad Maulana, kandidat Master di Flinders University, mengkritisi Kabinet Indonesia Bersatu II (periode 2011-2015) yang dianggap gagal dalam mengalokasikan 5% dana kesehatan sebagaimana tercantum dalam APBN.

Panelis terakhir adalah Mochamad Mustafa, kandidat Ph.D di University of Adelaide, menganalisa dinamika politik lokal yang mempengaruhi reformasi birokrasi dalam hal ‘lelang’ (procurement) di Surabaya dan Bogor.

Lebih jauh, Mustafa melihat bahwa reformasi birokrasi tidak dapat dilakukan oleh pihak tunggal (pemimpin daerah), namun juga seluruh aktor di daerah tersebut. Surabaya dianggap berhasil melakukan reformasi di bidang ‘lelang’ karena institusi akademis, media, dan LSM pro-reformasi, yang pada akhirnya berhasil mengurangi tingkat korupsi di daerah. Sebaliknya di Bogor, minimnya aktor pro-reformasi menyebabkan ‘lelang bersih’ masih tersendat. Koordinator GoLive Indonesia - Aritta Gracia Girsang (tengah) berfoto bersama para panelis sesi Budaya Ferry & Yenny, Suryo Guritno, Brett Caliss dan Emily Rustanto (dari kiri ke kanan).

Sesi terakhir membahas bagaimana kekuataan budaya yang dapat merekatkan kedua negara. Adelindo Angklung menyampaikan kesan dalam memperkenalkan budaya Indonesia melalui musik angklung di Australia Selatan.

Senada dengan Adelindo, Rebana El-Musafeer menceritakan pengalamannya dalam membawa misi perdamaian melalui musik rebana yang identik dengan nuansa islami. “Dengan musik, kita belajar menerima perbedaan, dan karenanya kita bisa menjadi teman,” ujar Suryo Guritno.

Brett Caliss dan Emily Rustanto, warga Australia yang belajar bahasa dan budaya Indonesia di beberapa tempat di Indonesia, menceritakan pengalaman mereka ketika hidup bersama masyarakat di Jogjakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Kalimantan. “Misi pertukaran seni dan budaya dapat menjadikan dua negara ini lebih dekat,” ujar Brett, Direktur Artistik IndoFest yang dapat memainkan beberapa alat musik tradisional Indonesia ini.
Penyelenggaraan 3rd Indonesia Research Day kali ini mendapatkan banyak sekali dukungan dan partisipasi positif dari masyarakat dan pemerhati Indonesia khususnya mereka yang berada di Adelaide, Australia Selatan.

Ferly Komul, salah satu peserta IRD dan juga pelajar Master of Petroleum Engineering di University of Adelaide, mengungkapkan dukungannya terhadap acara tahunan GoLive Indonesia tersebut.

Dia juga menambahkan bahwa “Acara seperti ini sangat bagus untuk dijadikan forum bertukar pikiran antara semua lapisan masyarakat pemerhati Indonesia. Semoga acara ini bisa terus dilanjutkan dan bisa mewadahi lebih banyak lagi topik-topik bahasan”.

Koordinator GoLive Indonesia, Aritta Gracia Girsang, mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi sehingga acara 3rd Indonesia Research Day tahun ini berjalan dengan lancar dan menjadi ajang Indonesia Research Day terbesar semenjak diluncurkan pada tahun 2014.

*Naimah Lutfi Talib, relawan GoLive Indonesia.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pramuka Indonesia Belajar dari Australia

Berita Terkait