Indonesia Tunda Komitmen Iklim di COP 29 Azerbaijan, Aktivis Lingkungan Bereaksi

Kamis, 21 November 2024 – 19:03 WIB
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul dalam sesi New Space of Cooperation for the Global South bersama Prof. Joseph Malassi dari pemerintah Kongo, Tetsushi Sonobe dari Asian Development Bank Institute dan Marcello Britto dari Legal Amazon Consortium. ANTARA/HO-Yayasan PIKUL (ndc). Foto: antara

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia menunda peluncuran komitmen penurunan emisi karbon terbaru melalui dokumen Second Nationally Determined Contributions (NDC) pada konferensi perubahan iklim dunia yang sedang berlangsung di kota Baku, Azerbaijan saat ini sampai akhir pekan ini.

Dokumen Second NDC, yang telah dipersiapkan sejak Februari 2024 lalu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedianya meluncur pada COP29 di Baku, Azerbaijan

BACA JUGA: APP Group Tegaskan Dukungan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di COP 29 Azerbaijan

Ini adalah dokumen keempat yang Indonesia serahkan ke UNFCCC. 

Namun, rencana tersebut ditunda. 

BACA JUGA: Pertamina Paparkan Keunggulan Desa Energi Berdikari di COP 29 Azerbaijan

Salah satu alasan penundaannya adalah, dokumen tersebut perlu disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi depan dan arahan pemerintahan baru.

Beberapa organisasi masyarakat sipil Indonesia yang hadir di perundingan Baku mengingatkan agar dokumen Second NDC tersebut sebaiknya bisa lebih ambisius dari rancangan dokumen yang sebelumnya telah beredar.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono menilai dokumen Second NDC yang targetnya diserahkan pada Februari 2025, harus mencakup pemihakan yang jelas terhadap hak asasi manusia, hak masyarakat adat, dan transisi energi yang berkeadilan.

“Tidak cukup hanya menghormati masyarakat adat atas pengetahuan saja, tapi juga harus eksplisit menyebut hak tanah masyarakat adat karena pengetahuannya ada di alam dan tanahnya. Bukan di buku,” kata Torry, pada Kamis (21/11).

Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan seharusnya jika Indonesia submit Second NDC di momen COP ini, akan memperjelas target dan kebutuhan pendanaan iklim Indonesia. 

Sebagai negara yang rentan dan terdampak krisis iklim, kepemimpinan Indonesia sangat dibutuhkan.

“Sayangnya, di COP 29 ini Indonesia malah sibuk mempromosikan potensi kredit karbon, yang bukan termasuk pendanaan iklim secara publik. Ruang fiskal Indonesia sempit jika berharap pada pendanaan karbon ini - dana tidak masuk ke publik, tapi lebih berat ke swasta,” katanya.

Di sisi lain, tambah Iqbal, tanpa ada kesepakatan pada penurunan emisi, pasar karbon akan menjadi risiko memberikan hak berpolusi.

Padahal Indonesia butuh pendanaan iklim besar-besaran untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan, dan memulihkan daerah-daerah yang telah terdampak bencana akibat krisis iklim (loss and damage).

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hendra Yusran Siry dalam diskusi Paviliun Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) Azerbaijan mengatakan saat ini Indonesia dalam persiapan akhir dokumen Second NDC untuk diserahkan pada Februari tahun depan.

Dokumen NDC, berisi komitmen, target, dan upaya iklim diserahkan setiap lima tahun sebagai bagian dari kontribusi masing-masing negara terhadap penurunan emisi global. 

Yang pertama, dokumen First NDC, diserahkan tahun 2016. Yang kedua, dokumen Updated NDC, pada tahun 2021. 

Setahun kemudian, dokumen ketiga menyusul yakni Enhanced NDC. Di dalam dokumen 2022 tersebut, Indonesia meningkatkan ambisi pengurangan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Perundingan Dana Alot, Penyikapan HAM Tak Terlihat

Konferensi tahunan perubahan iklim di Baku saat ini menitikberatkan pada sektor pendanaan. Negara-negara berkembang, yang mengalami dampak langsung perubahan iklim, menuntut negara maju memberi dana lebih besar. 

Negara-negara maju di benua Amerika dan Eropa adalah penghasil emisi terbesar yang berujung pada pemanasan bumi dan perubahan iklim.

Target pendanaan publik dan investasi terbaru, di bawah nama New Collective Quantified Goal on Climate Finance atau NCQG, jadi makin besar. 

Kini jumlahnya menjadi USD 300 miliar per tahun, dari yang sebelumnya sepertiganya di USD 100 miliar per tahun. 

Ada yang mengatakan dana yang diperlukan sesungguhnya mencapai USD 1 triliun per tahun.

Dari berbagai perundingan terkait transisi energi yang ia ikuti, Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan pada Kamis (21/11), perundingan berlangsung alot. Ada perbedaan prioritas yang tajam antara negara maju dan negara berkembang.

Kebanyakan negara maju menolak berkontribusi lebih pada pendanaan iklim, setelah mereka sudah dimintai komitmen untuk NCQG tersebut.

Namun, Syaharani menyayangkan bahwa prinsip keadilan dan hak asasi manusia masih belum nampak. Misalnya, setiap negara belum sepakat prinsip-prinsip transisi berkeadilan bersama untuk mencapai target penurunan emisi 1.5 yang ambisius, yang dapat dipakai dalam dokumen NDC dan strategi iklim jangka panjang.

Juga, belum disebutkan secara eksplisit penghormatan hak asasi manusia dan masyarakat rentan. Belum ada keputusan eksplisit hasil negosiasi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip transisi yang berkeadilan ke dalam semua dokumen strategis dan turunannya. Pernyataan tegas baru sampai pada penyebutan fase keluar dari bahan bakar fosil.

Padahal, menurutnya, ini penting bagi Indonesia yang banyak mengalami kasus-kasus hak asasi manusia dan ketidakadilan dalam transisi energi.

 “Semoga dengan sisa waktu negosiasi yang sempit ini, delegasi Indonesia bisa lebih kuat dari negara maju untuk mendorong arah transisi yang berkeadilan dan komitmen penegakan hak asasi manusia,” kata Syaharani.(antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler