Indonesia Vs Thailand di Mata Cak Abror

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 29 Desember 2021 – 16:50 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kaleidoskop Indonesia akhir tahun 2021 tidak terlalu cerah. Selain cuaca memang masih sering mendung dan hujan badai, banyak indikator lain yang rada suram, yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Bencana alam, mulai dari banjir, longsor, gunung meletus, susul menyusul setiap hari. Pagebluk Covid-19 masih menjadi hantu yang belum benar-benar akan menghilang. Pagebluk berkepanjangan ini melahirkan hampir 30 juta orang miskin baru.

BACA JUGA: Final AFF 2020 Timnas Indonesia Vs Thailand, Sultan Beri Catatan Penting, Sebut Kata Dramatis

Di pasar, harga-harga naik. Cabai keriting, minyak goreng, telor, daging ayam, semua naik. Ekonomi Indonesia berada pada posisi yang makin melorot menjadi negara duafa, sejajar dengan Timor Leste dan Samoa yang ada di tengah laut Pasifik.

Indikator-indikator kualitatif juga tidak terlalu cerah. Indeks demokrasi Indonesia menjadi sorotan dan pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang berada pada titik nadir. Lembaga ini dianggap sebagai titik lemah dalam komitmen pemberantasan korupsi era Jokowi.

BACA JUGA: Timnas Indonesia vs Thailand: Ribuan Suporter Garuda Bakal Serbu National Stadium

Sesuram itukah kondisi Indonesia? Tidak juga. Kita masih punya stok hiburan nasional yang dijamin bakal memunculkan histeria dan euforia nasional, dan bakal serta-merta menghapus semua gambaran suram itu. Kita semua menunggu final sepak bola Piala AFF antar-negara Asia Tenggara, antara Indonesia vs Thailand.

Lupakan cabai keriting. Lupakan kasus korupsi. Lupakan indeks demokrasi. Lupakan pertalite dan premium yang hilang dari pasaran mulai tahun depan. Semua akan fokus pada final sepak bola yang bakal digelar dua leg di National Stadium, Singapura.

BACA JUGA: Final Piala AFF 2020 Indonesia vs Thailand, Begini Prediksi Gubernur Anies

Pasukan Garuda akan menghadapi Tim Gajah Putih malam ini (29/12) dan pada awal 2022 (1/1). Dua pertandingan itu akan menyedot semua perhatian. Dua pertandingan itu dijamin akan mengalahkan rekor rating semua acara televisi setahun terakhir. Rating sinetron ‘’Ikatan Cinta’’ pasti akan lewat oleh dua pertandingan final itu.

Inilah momen paling nyata untuk membuktikan apakah nasionalisme Indonesia masih ada atau sudah pudar. Sepak bola--tidak ada lainnya--akan menjadi momen pembuktian nasionalisme itu. Inilah untuk kali pertama dalam kurun waktu yang lama, seluruh warga negara akan bersatu padu menghadapi musuh bersama.

Sepak bola akan bersatu padu dengan rasa nasionalisme yang menggelegar gegap gempita. Lihatlah pertandingan semifinal antara Indonesia melawan Singapura. Lihatlah bagaimana suporter begitu gegap gempita mendukung tim Merah Putih.

Dalam tayangan televisi terlihat bagaimana suporter mengekspresikan nasionalisme. Mereka memakai jersei merah berlambang garuda di dada sambil membawa bendera Merah Putih. Ketika kamera televisi menyorot, para suporter itu berteriak ‘’Indonesia’’ sambil mengecup lambang garuda di dada.

Pertandingan yang betul-betul menguras emosi. Banyak suporter menangis histeris ketika wasit menghukum Indonesia dengan penalti. Banyak orang berdoa membaca apa saja, mulai dari Alfatihah sampai doa-doa sapu jagat, supaya tendangan penalti tidak membobol gawang Indonesia.

Sepak bola membawa bangsa menjadi lebih religius. Kapten Asnawi Mangkualam tertangkap kamera sedang berzikir, sambil menghitung ruas jari-jarinya, ketika memimpin kesebelasan Indonesia keluar dari kamar ganti menuju lapangan.

Ketika Indonesia terkena hukuman penalti, Asnawi berjongkok di tepi garis lengkung penalti sambil merapal doa-doa. Tangannya memberi isyarat kepada kiper ke mana harus bergerak. Ketika penalti berhasil ditepis kiper Nadeo Argawinata, maka Asnawi langsung menghampiri pemain Singapura dan mengucapkan terima kasih.

Ketika kemudian tendangan penalti itu berhasil ditepis oleh kiper Nadeo Argawinata, seluruh Indonesia meledak dalam emosi dan kelegaan. Ketika Irfan Jaya dan Egy Maulana Vikri menceploskan dua gol yang memastikan kemenangan, seluruh Indonesia tenggelam dalam euforia.

Nadeo Argawinata menjadi pahlawan instan. Pelatih Shin Tae Yong asal Korea Selatan langsung menjadi idola nasional. Inisial namanya ‘’STY’’ dikenal oleh semua orang, dan nyaris sama terkenalnya dengan ‘’SBY’’.

Sepak bola menyatukan semua orang. Namun, sepak bola juga bisa memecah belah banyak orang. Suporter sepak bola adalah sebuah kerumunan yang masih sangat rentan oleh tindak kekerasan. Sampai sekarang persoalan suporter bola masih menjadi problem yang sulit dituntaskan.

Sepak bola Eropa sudah berhasil menyelesaikan ekstremisme Hooligan yang nyaris menghancurkan industri sepak bola. Di Indonesia perseteruan antarsuporter masih belum bisa dituntaskan, meskipun berbagai upaya seremonial sudah dilakukan.

Derbi Jawa Timur antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang akan menjadi derbi terbesar di Asia. Demikian pula derbi antara Persib Bandung melawan Persija Jakarta. Sayangnya, sampai sekarang belum ketemu formula yang tepat supaya dua derbi raksasa itu bisa dihadiri suporter dengan aman dan nyaman.

Fanatisme yang begitu ekstrem belum bisa ditransformasikan menjadi potensi positif yang bisa menjadi daya tarik sepak bola Indonesia. Setiap kali ada derbi Jatim, orang akan takut menaiki kendaraan berpelat nomor L atau N, karena risiko kaca hancur diserang suporter yang kalah.

Persoalan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini tidak bisa diselesaikan secara tuntas sampai sekarang.

Sepak bola memang kompleks. Ada pertarungan, rivalitas, dan kekerasan. Namun, di balik itu ada persahabatan dan respek. Sepak bola sudah menjadi sebuah industri besar yang seharusnya bisa memberi efek ekonomi dan sosial yang positif. Dan, yang tidak kalah penting, sepak bola menjadi instrumen strategis untuk menggalang nasionalisme.

Sepak bola bisa menjadi sublimasi untuk melupakan berbagai persoalan nasional. Sebuah kemenangan dalam kejuaraan regional akan menjadi denominasi yang mengikat seluruh bangsa dalam kebersamaan.

Dari ujung timur Papua sampai ke pucuk barat Aceh, orang-orang disatukan oleh imajinasi yang sama sebagai bangsa pemenang.

Rasa kebersamaan itulah yang menyatukan ratusan suku yang berbeda-beda ke dalam komunitas yang disebut ‘’Indonesia’’. Komunitas itu tidak riil, tidak nyata, dan hanya ada di dalam bayang-bayang saja. Ben Anderson menyebutnya sebagai komunitas bayangan atau ‘’imagined community’’.

Komunitas bayangan itu terbentuk karena adanya perasaan kesamaan nasib dan tujuan. Komunitas bayangan terikat oleh cita-cita yang sama untuk menjadi bangsa yang sejahtera dan lepas dari penderitaan penjajahan.

Nasionalisme selalu sulit untuk didefinisikan, tetapi selalu mudah untuk dirasakan. Para pemimpin politik tahu bahwa untuk menciptakan nasionalisme dan rasa kebersamaan harus dicarikan musuh bersama atau common enemy. Dengan adanya musuh bersama maka bangsa akan bersatu dan nasionalisme akan muncul.

Bung Karno memunculkan Malaysia sebagai musuh bersama dengan menggambarkan negara tetangga itu sebagai antek kolonialisme yang ingin mencaplok wilayah Indonesia. Bung Karno mendeklarasikan konfrontasi dengan Malaysia dan menggelorakan semboyan ‘’Ganyang Malaysia’’ untuk menumbuhkan nasionalisme bangsa.

Bung Karno juga menggunakan olahraga sebagai alat pemersatu bangsa-bangsa. Ia menciptakan Ganefo, Games of Emerging Forces, untuk menyatukan negara-negara non-blok yang tidak ingin menjadi bagian dari rivalitas Amerika dan Uni Soviet.

Olahraga bisa menjadi instrumen penting untuk menggalang solidaritas dan kebersamaan. Olahraga juga bisa dieksploitasi menjadi instrumen sosial dan politik untuk melegitimasi kepentingan rezim yang sedang berkuasa.

Sepak bola sebagai olahraga paling populer di Indonesia, bisa menjadi instrumen sosial dan politik yang penting untuk menggalang nasionalisme dan solidaritas nasional. Syaratnya cuma satu, Indonesia harus juara.

Apa bisa? Tidak ada yang mustahil dalam sepak bola. Momen-momen ajaib bisa saja terjadi setiap saat dalam sepak bola. Hanya dalam hitungan detik drama bisa muncul dan tragedi bisa terjadi.

Itulah sebabnya orang selalu menyebut bahwa bola itu bundar. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler