Kondisi ini diungkap Wakil Direktur LPPOM MUI Sumsel, Dra Nur Ilya Fatimah saat dibincangi di ruang kerjanya, Senin (21/1).
“Sejak berdirinya LPPOM MUI Sumsel, jumlah yang telah mengurus dan punya sertifikat halal ada 152 industri. Saat ini, memang ada beberapa yang belum melakukan perpanjangan, ada juga yang dalam proses,” ungkapnya.
Kata Nur, masa berlaku sertifikat halal tersebut dua tahun dan jika habis perlu diperpanjang, tentu saja setelah dilakukan pemeriksaan lagi sebelumnya. Ia menuturkan, jika kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang halal akan memancing industri untuk berlomba-lomba mendapatkan sertifikasi halal.
Dampak positifnya, masyarakat terjamin dengan produk dari industri yang dijamin kehalalannya tersebut. “Sebenarnya, mengambil sertifikat halal itu tidak sulit. Untuk satu produk hanya mengeluarkan biaya Rp 40 ribu,”cetusnya.
Guna mengawasi kehalalan produk dari setiap industri yang ada, dibentuk tim auditor yang berasal dari internal perusahaan tersebut. “Jumlah anggota tim tersebut 3-5 orang dan bisa lebih banyak tergantung besarnya perusahaan. Para auditor diwajibkan yang beragama Islam,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur LPPOM MUI Sumsel, Prof Dr Ir Rindit Pambayun MP menambahkan, pihaknya terus melakukan sosialisasi terkait pentingnya kepemilikan sertifikat halal, baik kepada konsumen maupun produsen di Sumsel. “ Intinya, jika kesadaran telah timbul, maka akan berdampak positif bagi Sumsel,” ucapnya.
Menurut Rindit, mengurus sertifikat halal tidak memakan waktu terlalu lama. Karenanya, pemilih industri diharap mau dan dengan kesadaran sendiri mengurusnya. “Kalo sudah diajukan, paling lambat dua bulan sertifkat itu sudah keluar,” pungkasnya.
Kabid Perdagangan Dalam Negeri Disperindagkop Kota Palembang, Yustianus SE mengakui, belum banyak pengusaha/pedagang di Palembang yang mengurus dan mengantongi sertifikat halal. “Masih sedikit sekali, bahkan belum mencapai setengahnya (usaha yang ada),” katanya.
Padahal, banyak sekali usaha lokal Sumsel yang memproduksi makanan olahan maupun minuman. Salah satu kendala, belum adanya aturan yang mewajibkan pedagang/pengusaha harus punya sertifikat halal. Bagi yang sudah punya, mereka terikat secara hukum. “Bila nanti produknya terindikasi tidak halal, dapat dijerat UU No 8 Tahun 1999 tengan Perlindungan Konsumen,” tukas Yustianus. (rip/yun/ce3)
“Sejak berdirinya LPPOM MUI Sumsel, jumlah yang telah mengurus dan punya sertifikat halal ada 152 industri. Saat ini, memang ada beberapa yang belum melakukan perpanjangan, ada juga yang dalam proses,” ungkapnya.
Kata Nur, masa berlaku sertifikat halal tersebut dua tahun dan jika habis perlu diperpanjang, tentu saja setelah dilakukan pemeriksaan lagi sebelumnya. Ia menuturkan, jika kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang halal akan memancing industri untuk berlomba-lomba mendapatkan sertifikasi halal.
Dampak positifnya, masyarakat terjamin dengan produk dari industri yang dijamin kehalalannya tersebut. “Sebenarnya, mengambil sertifikat halal itu tidak sulit. Untuk satu produk hanya mengeluarkan biaya Rp 40 ribu,”cetusnya.
Guna mengawasi kehalalan produk dari setiap industri yang ada, dibentuk tim auditor yang berasal dari internal perusahaan tersebut. “Jumlah anggota tim tersebut 3-5 orang dan bisa lebih banyak tergantung besarnya perusahaan. Para auditor diwajibkan yang beragama Islam,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur LPPOM MUI Sumsel, Prof Dr Ir Rindit Pambayun MP menambahkan, pihaknya terus melakukan sosialisasi terkait pentingnya kepemilikan sertifikat halal, baik kepada konsumen maupun produsen di Sumsel. “ Intinya, jika kesadaran telah timbul, maka akan berdampak positif bagi Sumsel,” ucapnya.
Menurut Rindit, mengurus sertifikat halal tidak memakan waktu terlalu lama. Karenanya, pemilih industri diharap mau dan dengan kesadaran sendiri mengurusnya. “Kalo sudah diajukan, paling lambat dua bulan sertifkat itu sudah keluar,” pungkasnya.
Kabid Perdagangan Dalam Negeri Disperindagkop Kota Palembang, Yustianus SE mengakui, belum banyak pengusaha/pedagang di Palembang yang mengurus dan mengantongi sertifikat halal. “Masih sedikit sekali, bahkan belum mencapai setengahnya (usaha yang ada),” katanya.
Padahal, banyak sekali usaha lokal Sumsel yang memproduksi makanan olahan maupun minuman. Salah satu kendala, belum adanya aturan yang mewajibkan pedagang/pengusaha harus punya sertifikat halal. Bagi yang sudah punya, mereka terikat secara hukum. “Bila nanti produknya terindikasi tidak halal, dapat dijerat UU No 8 Tahun 1999 tengan Perlindungan Konsumen,” tukas Yustianus. (rip/yun/ce3)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rp143 Miliar untuk Bandara Silangit
Redaktur : Tim Redaksi