Betul-betul Anda seperti naga, yang sedang bersandar di punggung gunung, menatap ke bibir samudera Atlantik. Mirip planologi Tiongkok kuno yang melegenda dan sampai kini tuahnya dipercaya, bahwa posisi bangunan yang memberi rezeki adalah menghadap ke laut, membelakangi gunung. Meskipun, arsitektur rumah-rumah modern saat ini, antara depan dan belakang itu tak ada beda. Yang ada hanya persepsi dan sudut pandang sang pemilik.
Patung Cristo Redentor dengan meregangkan kedua tangan itu sendiri bergaya arsitektur Art Deco, dengan tinggi 38 meter dan sudah digagas pada pertengahan 1850-an oleh imam Katholik Pedro Maria Boss. Kala itu, Sang Imam meminta dana ke Putri Isabel untuk menancapkan monumen keagamaan terbesar di dunia, karena penduduk koloni Portugis itu lebih dari 90 persen pemeluk Katholik. Namun, usulan itu tidak direspons dan nyaris terlupakan hinggal 1889, saat Brazil menjadi republic dan melahirkan sebuah undang-undang yang mewajibkan pemisahan gereja dari negara.
Usulan kedua muncul dari Keuskupan Agung Rio tahun 1921, dan dilanjutkan dengan mengorganisir sebuah acara yang dikenang dengan sebutan Semana do Monumento. “Minggu Monumen” untuk menarik pada investor yang kebanyakan dari Katholik Brazil. Sejak itulah, patung yang menjadi simbol kebanggaan Kota Rio de Janeiro, dan sekaligus lambang kehangatan penduduk Brazil itu mulai didirikan. Setiap Desember menjelang Natal, seperti saat ini, patung yang menjadi salah satu nominator keajaiban dunia itu menjadi lokasi favourit publik.
Tidak sulit menuju ke puncak bukit itu. Cukup membayar 52 Real Brazil, sekitar Rp 200 ribu, Anda bisa naik kereta bergerbong ganda, menuju puncak dengan nyaman dan aman. Sekitar 20 menit, kereta listrik itu mengantarkan Anda sampai di terminal puncak. Anda juga bisa naik mobil atau sepeda motor sampai di sana, kalau cukup punya nyali dan ketrampilan mengendarai di jalur dengan sudut kemiringan ekstrim.
Sesampai di pemberhentian puncak, Anda bisa memilih. Naik lift, --berkapasitas 8 orang dengan empat boxes-- dan disambung dengan ekskalator atau tangga berjalan? Atau mau menyusuri tangga-tangga sampai di kaki patung yang berbahan batu warna putih itu? Di sinilah saya ingat Ir Ciputra, yang lima tahun silam, 2007, merancang patung Yesus Memberkati atau Yesus Blessed di Citraland Manado.
:TERKAIT Pak Ci memang tokoh yang sangat komplit. Entrepreneurs, arsitek, pengusaha properti, alumni ITB Bandung 1960, pegiat pendidikan dasar, menengah dan universitas, filantropis, kolektor lukisan dan, ---yang tidak banyak orang tahu---, adalah seniman pematung. Kakek yang lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931 inilah yang mendesain, merancang dan turut membuat patung Yesus Blessed setinggi 30 meter, plus 20 meter tinggi penopangnya yang menjulang menghadap Kota Manado itu.
Monumen yang kini menjadi icon wisata baru di Sulawesi Utara itu, berbahan 25 ton besi fibre, 35 ton besi baja, dibuat miring 35 derajad, dan di-workshop Ciputra sendiri di Pondok Indah, Jakarta. Lalu dipotong-potong, dikapalkan Manado, dan difabrikasi lagi di atas bukit. Di Asia, patung itu tertinggi, dan di dunia nomor tiga.
Jadi, Anda tidak perlu jauh-jauh terbang ke belahan bumi yang lain di Amerika Latin sana, untuk menemukan patung yang memiliki nilai seni tinggi, tingkat kesulitan yang tinggi, sakralitas tinggi dan berada di atas bukit yang tinggi. Rio de Janeiro itu, kalau Anda memegang globe, persis di balik peta Indonesia. Jadi kalau dari Jakarta di-boor, lurus, ke dalam, hingga menembus bumi, ketemu-nya di Rio. Kalau naik pesawat komersial, minimal harus 36 jam, cukup membuat kaki Anda membesar dan sepatu Anda kesempitan.
Bukan Pak Ci, kalau karyanya tidak memiliki velue! Patung Yesus yang dibangun di Manado itu jauh lebih rumit, lebih detail, lebih mirip, lebih nyata, lekuk-lekukan jubah, wajah, rambut, kaki dan tangannya jauh lebih proporsional. Tidak mirip “patung”, tetapi mirip foto dan gambar aslinya.
Selain itu, dilengkapi Jalan Salib, yang mengisahkan perjuangan Yesus ketika disalib. Ini tidak ada di Cristo Redentor, Rio de Janeiro. Untuk memberi ruang “recovery” bagi yang kecapaian naik tangga, di setiap belokan ada gardu istirahat yang dilengkapi catatan firman. Ini juga tidak ada di Brazil, ini hanya bisa ditemukan di ruas jalan Ring Road Trans Sulawesi itu. Di Brazil, di setiap belokan tangga, hanya ada toko souvenir dan restoran saja?
Soal, terpaut ketinggian dari Cristo Redentor, Rio yang hanya 8 meter itu, sebenarnya bukan sulit untuk “disalip” jika hanya ingin mengejar rekor tertinggi secara fisik saja. Hanya saja, di Kota Manado, terlalu tinggi, ---menurut perhitungan Dephub--, tidak diperkenankan. Tetapi, sensasi 200 anak tangan, 14 pemberhentian, dilengkapi prasasti firman Tuhan, dalam perjalanan sebelum berakhir di kayu salib, itu memiliki nilai lebih yang patut diapresiasi.
Masih banyak sisi kelebihan lain yang belum saya catat di sini! Termasuk, inspirasi utama Pak Ci, peraih Entrepreneur of The Year 2007 versi Ernst & Young ini, mendirikan patung yang saat ini terbukti menjadi salah satu objek wisata religi di sana? Bapak empat anak –Rina, Yunita, Cakra, dan Candra—yang sedang gencar-gencarnya menyebarkan virus entrepreneurship ini ingin mengajak kita untuk mensyukuri potensi negeri sepenuh hati! Tidak ada negeri yang sehebat,, seindah, dan sebesar potensi Indonesia! (bersambung)
Redaktur : Tim Redaksi