Inggris Terpaksa Ikut Pemilu Eropa

Sabtu, 06 April 2019 – 23:14 WIB
Warga pro-Uni Eropa saat aksi demonstrasi menuntut referendum ulang Brexit di London, Foto: Reuters

jpnn.com, LONDON - Perdana Menteri Theresa May kembali meminta perpanjangan hingga 30 Juni. Permintaan yang sudah pernah ditolak Uni Eropa itu datang dengan satu tambahan. Bahwa Inggris bersedia ikut serta dalam pemilihan parlemen Uni Eropa pada 23 Mei mendatang.

May terpaksa banting setir. Beberapa minggu lalu, dia mengatakan bahwa Inggris seharusnya tak ikut dalam pemilu Eropa. Sebab, hal itu hanya akan menjadikan perwakilan Inggris sebagai mayat hidup di lembaga tersebut.

BACA JUGA: Akhirnya, Satu Proposal Brexit Lolos di Parlemen Inggris

Namun, BBC mengabarkan bahwa gedung serbaguna desa dan sekolah di seluruh penjuru Inggris sudah di-booking pada 23 Mei nanti. Gedung-gedung tersebut bakal dijadikan tempat pemungutan suara bagi rakyat Inggris untuk memilih anggota parlemen Eropa.

"Pemerintah Inggris harus mempersiapkan untuk kemungkinan ini," ujar May dalam suratnya kepada Presiden Dewan Eropa Donald Tusk kemarin, Jumat (5/4) menurut AFP.

BACA JUGA: Dampak Brexit, BMW Group Tutup Pabrik MINI

Perempuan 62 tahun itu menegaskan, pemerintah Inggris bisa saja tak mengikuti pemilihan. Asal, parlemen bisa menyetujui proposal Brexit. Atau setidaknya menentukan opsi mana yang ingin ditempuh. Namun, kemungkinan untuk mencapai kesepakatan hingga tenggat baru 12 April nanti sangat kecil.

Mewujudkan permintaan itu juga tak gampang. Politisi yang jadi kandidat tak akan senang berkampanye sebagai utusan di lembaga yang bakal ditinggalkan cepat atau lambat. "Bagaimana saya harus berbicara kepada konstituen dengan kondisi seperti ini," keluh Ashley Fox, perwakilan Inggris di parlemen Eropa saat ini.

BACA JUGA: Manuver Mengejutkan May demi Loloskan Brexit

Fox memperkirakan bahwa partainya, Partai Konservatif, bakal jadi sasaran jika memang Inggris mengikuti pemilu Eropa. Dia memperkirakan Konservatif di Eropa bakal berkurang setengahnya dalam pemilu kali ini. "Hasilnya bisa lebih buruk jika anggota kami memutuskan tak mau jadi mayat hidup di Eropa," imbuhnya.

Sehari sebelumnya, Donald Tusk dikabarkan mengusulkan kebijakan flextension. Akar katanya adalah flexible (lentur) dan extension (perpanjangan). Dalam kebijakan itu, Eropa bakal memberikan waktu setahun bagi Inggris untuk mencapai kesepakatan.

Namun, jika kesepakatan itu dicapai sebelum batas waktu, penangguhan langsung dihentikan. "Setelah Majelis Rendah meratifikasi sebuah kesepakatan, penangguhan akan berakhir saat itu juga," ujar Tusk menurut The Guardian.

Namun, ide tersebut juga belum tentu disetujui 27 negara lainnya. Sebagaimana diberitakan, negara anggota sudah menolak permintaan penangguhan Brexit hingga 30 Juni. Mereka, diwakili Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, hanya memberikan waktu sampai Jumat pekan depan (12/4).

Hal itu juga ditegaskan Prancis. Salah satu petinggi Prancis menyatakan bahwa Inggris harus membawa tawaran yang lebih menggoda dari sekadar mengikuti pemilu. "Penangguhan hanya sebuah alat. Bukan solusi."

Sementara itu, pengamat politik Eropa Anand Menon mengatakan, permintaan May bisa jadi merupakan tameng politik. Rabu lalu (3/4) pemerintah memang diwajibkan meminta penangguhan waktu yang lebih lama dari 12 April oleh parlemen.

"May sudah tahu bahwa permintaannya akan ditolak. Tapi, lebih baik meminta lalu ditolak daripada meminta hal yang akan memecah belah partainya sendiri," ungkap pengajar di King's College itu. (bil/c17/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 20 Besar Ranking Terbaru FIFA, Inggris Naik Satu Tangga


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Brexit   Inggris   Uni Eropa  

Terpopuler