jpnn.com - JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Djohermansyah Djohan, kembali menegaskan sikap pemerintah mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Namun, pelaksanaannya bukan seperti sistem yang selama ini digelar.
Menurutnya, sistem pilkada langsung yang diinginkan pemerintah adalah sistem yang mampu mencegah pemborosan anggaran dan mengantisipasi pembangunan dinasti politik daerah.
BACA JUGA: Polri Fokuskan Pengamanan Pelantikan Presiden
"Pemerintah ingin mendengar suara masyarakat yang tetap ingin pemilihan langsung, tetapi kami juga tidak ingin pilkada langsung seperti sekarang. Kami ingin ada perubahan supaya kelemahan-kelemahan pilkada langsung saat ini tidak berlanjut ke depan," ujarnya di Gedung Kemdagri, Jakarta, Jumat (12/9).
Menurut birokrat yang akrab disapa Prof. Djo ini, untuk mengatur agar pilkada langsung tak menelan biaya tinggi, dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada pihaknya memasukkan pasal kampanye pilkada diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah, dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
BACA JUGA: Ada Jokowi di Balik Mundurnya Ahok?
"Ini agar mereka (kepala daerah terpilih) tidak ramai-ramai menyalahgunakan wewenang, komersialisasi jabatan, 'mark-up' tender dan perizinan tambang. Hanya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat pemilihan," ujarnya.
Perbaikan lain, pemerintah, kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini, juga memasukkan pasal kampanye dilakukan secara terbatas, tidak masif seperti sekarang.
BACA JUGA: Ahok-DPRD Panas, Hanura Pilih Redamkan Suasana
"Mekanismenya, nanti untuk kampanye kandidat menyerahkan ke KPU model poster dan alat peraga. Nah yang memproduksi dan memasang adalah KPU," ujarnya.
Kemudian juga diatur pasal terkait pembatasan pengeluaran biaya oleh calon kandidat. Nantinya partai politik pengusung yang harus bekerja mencari dana dan sponsor untuk kandidat tersebut. "Kemendagri juga mengusulkan dilakukan uji publik bagi kandidat yang diajukan oleh partai politik sebelum menjadi calon kepala daerah," katanya.
Uji publik menurut Prof Djo, menjadi wewenang dan tanggung jawab KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, bersama dengan tokoh masyarakat, akademisi serta disiarkan oleh media massa. "Dalam syarat bagi kandidat yang akan mendaftar, tidak boleh ada 'conflict of interest' dengan petahana, yaitu tidak boleh memiliki hubungan darah atau perkawinan selama petahana itu menjabat satu periode," ujarnya.
Meski menginginkan pilkada tetap dilaksanakan secara langsung, namun Prof Djo menegaskan, keputusan sepenuhnya diserahkan ke DPR. Pemerintah katanya, kini hanya berperan menyiapkan dua rancangan terkait sistem pemilihan langsung dan melalui DPRD. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tim Transisi Laporkan Hasil Kajian pada JK
Redaktur : Tim Redaksi