Ini Kiat Ibu-ibu Berbelanja Siasati Kenaikan Harga-Harga

Senin, 06 April 2015 – 04:42 WIB
Ilustrasi: Wahyu Kokkang/Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA - Keputusan menaikkan harga BBM dan elpiji 12 kg serta tarif listrik dan kereta api kelas ekonomi secara hampir bersamaan membuat masyarakat terkaget-kaget. Khususnya kelompok ibu rumah tangga.

Jawa Pos menemui ibu rumah tangga dari empat kota, yakni Jakarta, Surabaya, Malang, dan Solo, untuk mengungkap bagaimana nakhoda keuangan keluarga itu kini harus memutar otak agar asap dapur tetap mengebul.

BACA JUGA: Garuda Siap Buka Rute Balikpapan-Jeddah, Asal...

Sudah satu bulan ini kulkas keluarga Inung Kurnia, 40, kosong melompong. Ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, itu mengaku mulai selektif saat berbelanja. ”Sudah tidak berani lagi menimbun belanjaan,” katanya.

Lho kenapa? Inung mengungkapkan, sebelum ada kenaikan harga secara beruntun, dirinya lebih suka menimbun belanjaan. Kulkasnya selalu penuh sayuran, buah-buahan, dan bumbu dapur. Bagian freezer-nya juga selalu dipenuhi daging sapi, ayam, serta daging siap olah lainnya.

BACA JUGA: Optimalkan PLTMG Waymon, PLN Hemat Rp 160 Juta Per Hari

Namun, keadaan memaksa Inung mengubah model belanjanya. ”Kini lebih suka berbelanja hanya untuk bahan-bahan makanan yang akan diolah pada hari itu saja. Takut duit nggak cukup,” jelas ibu dua anak tersebut.

Adaptasi lain Inung lakukan dengan berhemat membeli sayuran dan buah-buahan. Dia sekarang lebih memilih berbelanja sayur dan buah di pasar tradisional daripada di minimarket atau pasar swalayan. Dia mengakui, harga sejumlah kebutuhan dapur memang lebih murah di pasar tradisional.

BACA JUGA: Harga BBM tak Menentu, Ini Misi Pemerintah

Contohnya adalah harga nugget yang lebih murah di pasar tradisional. Selisihnya hingga Rp 5.000. Begitu juga harga sawi putih, yang di pasar swalayan bisa sampai Rp 11.000, sedangkan di pasar tradisional hanya Rp 7.000 per kg.

Penghematan lainnya dilakukan untuk penggunaan AC dan lampu. Inung memaparkan, dulu AC dan lampu di kamar anaknya nyaris menyala terus sepanjang hari. ”Tapi, sekarang AC dimatikan pukul 06.00 dan baru dinyalakan lagi pukul 20.00 ketika menjelang tidur malam,” sebutnya.

Penggunaan tabung elpiji 12 kg yang sebelumnya hanya bertahan sebulan kini dihemat supaya bisa bertahan hingga lima sampai enam pekan. ”Ya gimana lagi? Harga elpiji tabung 12 kg dulu masih Rp 120 ribu, tapi sekarang sudah jadi Rp 150 ribu,” ungkapnya.

Keluhan Inung yang tinggal di ibu kota juga dirasakan Choiratur Rosyidah, 36, warga Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya. Ibu tiga anak itu mengungkapkan masih berbelanja seperti biasa.

Namun, kualitas barang yang dia beli berbeda. Sebelum harga naik, dengan uang Rp 12 ribu, dia bisa mendapatkan beras dengan kualitas bagus. Setelah harga naik, dengan uang segitu, dia hanya bisa membeli beras yang kualitasnya biasa. ”Besaran uang yang dibelanjakan sama, tapi kualitas barang yang diterima berbeda,” ungkapnya.

Begitu juga halnya saat membeli sayur. Sebelumnya dia membeli sayur segar yang kualitasnya bagus. Tapi, dengan kondisi harga yang seperti sekarang, perempuan kelahiran 7 Januari itu hanya bisa membeli sayur yang kualitasnya biasa. ”Yang penting masih bisa belanja. Ya, harus menyesuaikan dengan ekonomi yang makin susah,” terang guru di SD swasta tersebut.

Rosyidah juga menyiasati penggunaan bumbu masak. Biasanya dia membuat sambal dengan lima butir bawang. Setelah harganya naik, dia menggunakan tiga butir bawang saja.

”Masih tetap menggunakan bawang. Namun, jumlahnya yang dikurangi demi menyiasati pengeluaran sehari-hari,” ujarnya. Lombok juga dikurangi. Kalau sebelumnya menggunakan enam lombok, sekarang cukup tiga saja. ”Semua bahan harus diirit agar bisa bertahan dalam kondisi yang tidak menentu,” tambahnya.

Dari segi rasa memang ada beda. Dengan bahan yang minim, rasanya tentu menurun, hambar. ”Yang terpenting, anggota keluarga masih bisa makan dengan kenyang,” tuturnya sambil tersenyum.

Rosyidah berharap harga bahan pokok kembali stabil sehingga tidak menyusahkan masyarakat. ”Kalau kondisi terus seperti sekarang ini, masyarakat akan semakin tidak percaya kepada pemerintah,” cetusnya.

Kenaikan harga-harga juga meresahkan ibu rumah tangga di Kota Malang. Yulianti Nurwidianto, 38, wanita karir di Kota Malang, mengatakan bahwa kenaikan harga elpiji, bumbu seperti bawang putih, dan BBM benar-benar membuat anggaran belanja makin kedodoran.

Sebelumnya belanja lengkap untuk menu sehari saja sekitar Rp 30 ribu, kini bisa mencapai Rp 50 ribu. Itu saja dengan satu macam lauk, sayuran, tempe dan tahu, hingga buah-buahan. ”Lumayan terasa. Pemakaian elpiji saja juga harus diirit. Kalau beberapa bulan sebelumnya elpiji 12 kg Rp 137 ribu, saat ini harganya sekitar Rp 147 ribu di tempat saya,” keluh ibu tiga putra tersebut kepada Jawa Pos Radar Malang kemarin.

Jika ingin masak cepat, Yulianti mengaku harus pandai-pandai menyiasati dengan menggunakan alat masak yang bikin irit. Misalnya, memasak daging dengan panci tekan (presto) cukup beberapa menit saja, sudah cepat matang. Lalu menggunakan alat masak yang supercepat seperti panci teflon persegi dengan dua permukaan yang dikatupkan.

”Saya kira dengan alat masak yang hemat waktu dan elpiji ini cukup membantu. Sebab, adakalanya anak-anak itu menunya berbeda dengan ayahnya. Jadi harus memasak lebih dari satu dalam satu hari,” papar Yulianti berbagai tip.

Bahkan, makan di restoran saat weekend kini juga lebih banyak menguras kantong. Banyak harga makanan yang naik. Kalau dulu satu porsi makanan Jepang Rp 17 ribuan di mal, kini harganya Rp 25 ribu.

”Ya, bagaimana lagi? Namanya orang tua menyenangkan anaknya, ya harus tetap dibelikan. Mungkin frekuensi makan di luar perlu dikurangi ya. Kalau dulu seminggu sekali, sekarang bisa sebulan dua kali saja lah,” tutur lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga 1998 tersebut.  

Seperti Inung di Jakarta, Yulianti juga mulai membeli kebutuhan dapur secukupnya karena rentan rusak sehingga bisa terbuang. Siasat menghemat juga bisa dilakukan dengan rajin-rajin melihat promo iklan supermarket saat akhir pekan. Biasanya saat akhir pekan banyak promo harga hemat. Sering kali harganya jauh lebih murah daripada di pasar tradisional. ”Kalau sudah hari Kamis, saya selalu rajin melototin produk yang didiskon yang dimuat di Radar Malang,” ujar istri PNS Pemkot Malang itu.

Sikap lebih luwes atas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok diungkapkan Astri Lorawati, 35, ibu rumah tangga warga Perumnas Mojosongo, Jalan Malabar Selatan, Solo. Ibu tiga anak tersebut menilai kenaikan harga kebutuhan pokok mesti disikapi bijaksana. Asalkan barang-barang tidak langka di pasaran. ”Yang bikin pusing itu kalau harganya naik dan barang sulit dicari. Aduh,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Solo kemarin.

Astri mengungkapkan adanya perubahan pengeluaran biaya makan belakangan ini. Sebelum kenaikan harga bahan pokok tersebut, dia harus mengeluarkan uang belanja Rp 75 ribu per hari. ”Itu hanya untuk biaya makan. Belum yang lainnya. Soalnya, saya menghidupi anak saya sendirian. Jadi, saya yang mengurus pemasukan dan pengeluaran semua,” beber ibu single parent tersebut.

Lantas, setelah adanya kenaikan harga kebutuhan pokok, pengeluaran untuk makan ditambah. Saat ini Astri mengeluarkan uang belanja kebutuhan hidup Rp 100 ribu per hari. Namun, hal itu dianggap wajar lantaran harga fluktuatif. ”Kalau dihitung per bulan, pengeluaran untuk makan keluarga sekitar Rp 3 juta. Tapi nggak apa-apa. Yang penting jangan jadi langka saja. Kalau langka, baru kerasa nanti,” ujarnya. (dim/wan/lum/ika/can/un/c9/kim)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengelola Kawasan Industri Jababeka Dinilai Ingkar Janji


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler