jpnn.com, JAKARTA - Akuisisi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga menjadi 51,23 persen milik pemerintah yang harus ditebus dengan nilai fantastis, yakni USD 3,85 miliar dinilai lebih bernuansa politis.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar ketika berbincang dengan JPNN, soal langkah rezim Joko Widodo memaksanakan divestasi saham PTFI menjelang 2 tahun berakhir masa kontraknya. Terlebih lagi, pembelian saham oleh holding tambang BUMN PT Inalum dilakukan menggunakan surat utang atau global bond.
BACA JUGA: Bendungan Ciawi dan Sukamahi Bentengi Jakarta dari Banjir
"Pada posisi Inalum melakukan divestasi dengan memakai anggaran global bond, urgensi bisnisnya apa itu yang mendesak, kan tidak ada. Kecuali hanya urgensi politik terhadap janji presiden terpilih 2014 (Jokowi-red) untuk melakukan divestasi kembali terhadap PT Freeport, hanya itu saja, tapi urgensi bisnis tidak ada," kata Nasril, Rabu (26/12).
Dengan demikian, lanjut politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini, tidak salah bila komisi-komisi terkait di DPR menggunakan hak yang dimiliki. Apakah itu bertanya (interpelasi), penyelidikan (angket), atau cukup melalui rappat kerja dengan pemerintah.
BACA JUGA: Jokowi Bagikan 4.000 Sertifikat di Bogor dan Sukabumi
Termasuk soal pernyataan Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu telah melontarkan wacana membentuk pansus bila terdapat persoalan besar dalam proses akuisisi saham PTFI, terutama terkait kewajiban Freeport menyelesaikan kerusakan ekosistem senilai Rp 185 triliun kepada negara.
"Komisi enam perlu rapat kerja dulu dengan kementerian BUMN, baru menempuh jalur berikutnya. Kalau komisi tujuh VII telah rapat kerja silakan saja bentuk pansus, tapi kami akan rapat kerja sebelum teman-teman setuju atau tidak setuju melakukan pansus," tuturnya.
BACA JUGA: Didampingi Anies, Jokowi Tinjau Proyek Bendungan Sukamahi
Terhadap kebijakan yang telah dilakukan pemerintah, Nasril mengatakan ada hal yang perlu dijelaskan kepada masyarakat, mengingat kontrak karya PTFI sudah akan berakhir pada 2021. Misalnya kenapa negara membayar USD3,85 miliar menjelang kontraknya habis.
"Kami ingin tahu, kalau enggak dibayar kenapa, kalau dibayar juga apakah menghasilkan dalam jangka berapa tahun melakukan pengembalian investasi," tegas legislator asal Sumut ini.
Pada intinya, tambah Nasril, pemerintah perlu memberikan klarifikasi mengenai kebijakan tersebut. Bahkan Komisi XI DPR juga bisa mempertanyakan aksi korporasi PT Inalum tentang global bond.
"Memang kalau mengedepankan aksi politik terhadap aksi korporasi saya tidak setuju. Tapi kalau mengedepankan bisnis to bisnis oke. Karena kalau bisnis dimasuki nuansa politik, yang baik bisa jadi salah, yang salah bisa jadi baik," tandasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ferdinand Muak Lihat Foto Jokowi, Timses Sindir SBY
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam