Inilah Hasil Riset Kantar Worldpanel Indonesia tentang Tren Konsumsi FMCG

Selasa, 20 Oktober 2015 – 19:37 WIB
Pers Conference Kantar Worldpanel Indonesia tentang tren konsumsi FMCG. Tampak Fabrice Carrasco, Managing Director Indonesia, Vietnam and Philippine ,didampingi Lim Soon Lee, General Manager Kantar Worldpanel Indonesia, Andrew Ridsdale-Smith, Head, Regional Centre of Excellence Kantar Worldpanel dan Nadya Ardianti, Insight Director Kantar Worldpanel Indonesia dalam paparannya di Le Meridien Hotel, Jakarta. Foto: KWI for JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Di tengah kondisi perekonomian yang belum menggembirakan, pasar industri Fast Moving Consumer Good (FMCG) Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan meski sedikit melambat.

 

Hasil riset Kantar Worldpanel Indonesia menunjukkan pertumbuhan consumer good di Indonesia tahun ini sebesar 7,4%. Pertumbuhan ini menurun jika dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh mencapai dua digit yaitu 15,2%.

BACA JUGA: APPSI Ingatkan Pengusaha Jangan Manja, Harus Fokus ke Ekonomi Strategis

Managing Director Indonesia, Vietnam and Philippine, Fabrice Carrasco, menjelaskan, kondisi consumer good di Indonesia ini sejalan dengan hasil riset Kantar Worldpanel untuk pasar Asia. Bahwa pada 2013, secara keseluruhan pertumbuhan consumer good di ASIA sekitar 10%. Sedangkan pada 2015, pasar FMCG menurun sekitar 4.6%.

BACA JUGA: Perlu Terobosan Perkuat Daya Beli Masyarakat

“Perlambatan ini terjadi pada berbagai sektor consumer good, terutama pada sektor makanan dan minuman, yang merupakan sektor paling besar di dalam pembelanjaan rumah tangga. Indonesia, Thailand dan Vietnam merupakan negara yang penurunan nya terlihat sangat besar, jika dibandingkan dengan tahun lalu,” ujar Fabrice Carrasco dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (20/10).

Meski demikian, pemain FMCG yang berasal dari Asia termasuk Indonesia, menunjukkan angka pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan para pemain global (Multi National Company/MNC).

BACA JUGA: Segera, Citilink Buka Rute Baru Penerbangan di Tiga Daerah Ini

“Asia merupakan market yang unik, karena para pemain lokal yang mendominasi lebih banyak dibandingkan dengan para pemain global,” ujar Lim Soon Lee, General Manager Kantar Worldpanel Indonesia.

Lee memberikan contoh Indonesia dan Cina dimana para pemain lokalnya masih menunjukkan tingkat kontribusi lebih dari 60%. Angka ini merupakan pertumbuhan dua kali lipat dibandingkan dengan para pemain global.

Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan di industri FMCG ini juga memengaruhi kebiasaan berbelanja di rumah tangga Indonesia. Menurut data Kantar Worldpanel, ada kesamaan para rumah tangga di Asia termasuk Indonesia di dalam kebiasaan belanja mereka, yakni mengurangi frekuensi belanja namun meningkatkan kuantitas pembelian per pembelanjaan.

“Kategori yang dibeli tahun ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun lalu. Jika tahun lalu rata-rata orang berbelanja sekitar 48 kategori, untuk tahun ini mereka berbelanja sekitar 46 kategori. Tampak sekali mereka lebih berhati-hati di dalam berbelanja,” ujar Nadya Ardianti, Insight Director Kantar Worldpanel Indonesia.

Karena itu, dengan berkurangnya frekuensi berbelanja tiap rumah tangga, pemain FMCG diharapkan untuk memastikan distribusi, ketersediaan barang, dan mempertahankan penempatan yang mudah diliat konsumen pada rak-rak retailer.

Hal lainnya terkait dengan tren konsumen yang lebih tertarik dengan berbagai promosi yang ditawarkan. Untuk beberapa negara Asia Tenggara yang memiliki persentase pusat perbelanjaan modern yang besar, konsumen cenderung untuk lebih tertarik dengan berbagai promosi yang ditawarkan, seperti halnya di Malaysia (dengan tingkat kontribusi Modern Trade yang lebih besar dari 60%).

Bahkan, menurut hasil riset di modern trade, pembelanjaan yang terjadi pada saat promosi di modern trade, terjadi sekitar 17% dari jumlah pembelanjaan dalam setahun. Pertumbuhannya meningkat sebesar 30% dibandingkan dengan tahun 2013.

“Perubahan kebiasaan belanja dengan membeli packsize yang lebih besar telah terlihat dari tahun sebelumnya. Tetapi kini trennya terlihat menurun,” ujar Nadya.

Dikatakan, kebiasan belanja ini juga terpengaruh dengan masuknya era digital saat ini. Menurut data dari Kantar Worldpanel e-commerce, pada 2025, e-commerce market untuk consumer good, akan double dibandingkan dengan keadaan saat ini. Untuk beberapa negara, seperti China, kontribusi pembelian produk FMCG melalu online adalah sekitar 15%, dan di Korea sekitar 30%.

Berbeda halnya di Indonesia, dimana maraknya pembelian melalui online, biasanya untuk fesyen dan juga barang elektronik. Sedangkan pembelian online untuk pembelian produk consumer good masih cenderung sangat kecil. Konsumen masih lebih memilih untuk berbelanja konvensional dengan mendatangi pusat perbelanjaan.

Nadya memberikan tips yang bisa dilakukan oleh para pemain FMCG agar dapat memenangkan persaingan di pasar FMCG yang sangat ketat. Pertama, para pemain FMCG agar selalu menawarkan inovasi terhadap konsumen, mulai dari inovasi rasa, fungsi, kemasan, ukuran atau lainnya).  

“Tidak hanya inovatif, tetapi harus proaktif, di dalam memberikan penawaran terhadap konsumen,” ujarnya. Kedua, pemain FMCG juga harus selalu berusaha untuk lebih dekat dengan konsumen, memahami profil konsumen, mengetahui kebutuhan konsumen, dan bagaimana perubahan kebiasaan konsumen didalam merespon situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini.

Ketiga, mereka harus terus melakukan perekrutan calon pembeli, dan membuat brand mereka untuk dipertimbangkan oleh pembeli. Tidak hanya “harga” yang menjadi faktor, tetapi brand equity juga mempunyai peranan yang penting di dalam merekrut calon pembeli.

“Para pemain FMCG, juga harus selalu positif didalam menghadapi situasi dan keadaan yang sulit, dengan mental yang positif akan membantu para pemain FMCG untuk lebih fokus terhadap tujuan jangka panjang,” tegasnya.

Untuk mempertahankan kinerja bisnis tetap tumbuh meski melambat, Andrew Ridsdale-Smith, Head, Regional Centre of Excellence Kantar Worldpanel memaparkan ‘resep’ agar sebuah merek atau produk dapat terus bertumbuh secara berkelanjutan (sustainable growth).

“Yang utama adalah bagaimana meningkatkan jumlah pembeli (penetrasi) dari suatu produk. Semakin banyak suatu produk merekrut pembeli, semakin besar juga kemungkinan produk tersebut untuk mendapatkan calon pembeli yang loyal, begitu juga sebaliknya,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (20/10).

Pernyataan Andrew ini didukung oleh hasil penelitian Kantar Worldpanel dari interview dengan 11 CEO pemilik merek di Asia yang menunjukkan performa luar biasa. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa ada 5 faktor yang merupakan “tenaga pengungkit” (power lever) pertumbuhan dari merek-merek tersebut.

Pertama, ahli dalam bertransformasi. Merek-merek tersebut mampu berubah dari sekedar manufaktur yang hanya memproduksi barang menjadi perusahaan yang mampu membangun merek yang mengerti kebutuhan konsumen. Berikutnya, mempunyai tujuan mulia yaitu berperan aktif dalam membangun sebuah bangsa dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

Ada juga yang terus berinovasi dengan standar kualitas global tanpa meninggalkan selera tradisional/lokal. Memanfaatkan teknologi digital untuk menciptakan kedekatan emosional dengan konsumen. Terakhir, mengkombinasikan penggunaan data hasil riset dengan intuisi dalam merumuskan keputusan yang diambil.

Karena itu, untuk mencapai hal tersebut, ada tahapan yang harus dilalui agar suatu merek dapat tumbuh secara berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan membangun kesadaran akan produk, sehingga para calon pembeli akan mempertimbangkan untuk membeli produk tersebut.

Pada tahap ini, kata Andrew, faktor pengemasan produk, harga produk, tempat penjualan produk dan promosi berperan penting untuk memperbesar kemungkinan para calon pembeli untuk membeli produk. “Kepuasaan terhadap sebuah produk akan menjadikan pembeli tersebut loyal dan ingin melakukan pembelian selanjutnya,” tegasnya.

Kemudian Andrew menyebut bahwa ada dua strategi yang cukup efektif untuk meningkatkan loyalitas konsumen dan pendekatan efektif kepada pembeli baru (new trialist). Beriklan di media massa baik itu televisi maupun digital dan in store activation (kegiatan promosi di toko).

Meski touchpointnya berbeda, kata Andrew komunikasi produk harus jelas dan konsisten. Tujuannya agar persepsi dan alasan untuk membeli antara “pembeli baru”  maupun konsumen loyal, tetap sama. Konsistensi komunikasi ini menjadi kunci penting untuk menggaet ‘pembeli baru’ dan peningkatan loyalitas konsumen.

“Harus dicatat, kegagalan berkomunikasi yang menyebabkan perbedaan persepsi produk antara benak “pembeli baru” dengan  konsumen loyal dapat menyulitkan sebuah merek atau produk untuk meningkatkan penetrasi dan loyalitas,” ujarnya.

Andrew juga menyarankan agar para pemain FMCG selalu menawarkan inovasi, tidak hanya terpaku pada potensi penjualan.Ini untuk menjaga agar mereka terus dapat bersaing di kompetisi consumer goods.

Di sisi lain, Avinash Pareek dari Maxus menekankan agar para pemasar harus terus berinovasi di dalam penyajian iklannya sehingga menarik perhatian para konsumen. Pasalnya, materi iklan (content) akan sangat mempengaruhi perhatian para konsumen dan menjadi pemicu pertumbuhan iklan melalui digital.

“Dengan mengerti apa yang diinginkan oleh konsumen melalui iklan yang sifatnya eksklusif, nyaman dan original, para pemasar akan berhasil menarik perhatian konsumen,” pungkasnya. (rl/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... SEDIH: Pemerintahan Jokowi-JK Genap Setahun, Kondisi Rupiah Segini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler