Inilah Kebijakan Gus Yaqut soal Syiah dan Ahmadiyah

Jumat, 25 Desember 2020 – 13:49 WIB
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau yang akrab disapa Gus Yaqut. Foto: Dok. GP Ansor

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Agama Yaqut Cholis Qoumas atau yang akrab disapa Gus Yaqut, mengatakan pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Secara tegas, Gus Yaqut menyatakan tidak mau ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan.

BACA JUGA: Keluar dari Gereja, Gus Yaqut Langsung Bicara di Depan Wartawan, Simak Untaian Kalimatnya

"Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata Yaqut saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Kami (24/12)s.

Gus Yaqut juga menyatakan bahwa Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan yang ada.

BACA JUGA: Gus Yaqut jadi Menag, Pengamat dari Universitas Katolik Mengaku Terkejut

"Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi," katanya.

Pernyataan itu merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas.

BACA JUGA: Pintu Kontrakan PNS Perempuan Diketuk, Tak Ada Jawaban, Jendela Dibuka, Ya Ampun

Hal ini disampaikan secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (15/12).

"Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi," kata Azyumardi.

Azyumardi mengatakan, afirmasi itu kurang tampak diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas. Misalnya, saat pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah.

Azyumardi mengatakan bahwa para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram harus mengalami persekusi oleh kelompok Islam 'berjubah'.

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.

"Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja.Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun," kata Azyumardi.

Ia berpendapat bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.

"Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh Pemerintah). Bagaimana supaya adil," katanya.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

Azyumardi mengatakan bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga ikut andil menyebabkan permasalahan tersebut.

"Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya. Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasilah dari tingkat nasional," kata Azyumardi. (antara/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler