jpnn.com, MEDAN - Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli, resmi menjadi area konservasi dan ekowisata gajah jinak sejak Desember 2017 lalu.
Pengelolaan gajah di KHDTK Aek Nauli, dilakukan secara ramah lingkungan (Eco Friendly).
BACA JUGA: Dalam Sebulan, KLHK Amankan 384 Kontainer Kayu Ilegal
“Ini berarti, selain menjaga keberlangsungan hidup dan konservasi gajah, juga harus ramah, atau tidak membahayakan lingkungan sekitar,” jelas Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Pratiara.
Areal yang kini dikenal sebagai Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC) ini, disamping untuk menjaga kelestarian Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang dilindungi, juga berfungsi untuk kegiatan penelitian, dan mendukung wisata di Danau Toba.
BACA JUGA: Dunia Usaha Harus Ikut Cegah Kerusakan Perairan Darat
“Sebagai bagian daerah tangkapan air (DTA), KHDTK Aek Nauli memiliki beragam jenis tumbuhan, dan satwa liar dilindungi yang harus kita jaga kelestariannya. Salah satunya dengan menentukan daur, dan siklus lokasi angon gajah di sini,” kata Pratiara.
Penentuan siklus lokasi ini penting, mengingat keberadaan gajah di KHDTK Aek Nauli berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan pada kawasan hutan.
BACA JUGA: Perubahan Iklim di Indonesia Tak Bisa Dianggap Remeh
Lantai hutan menjadi lebih terbuka, karena berkurang atau hilangnya vegetasi untuk tingkat semai, dan tumbuhan bawah. Tumbuhan pioner juga bermunculan, sehingga berpeluang menyebabkan perubahan komposisi jenis.
“Selama ini gajah dibiarkan diangon di hutan secara bebas, karena memang belum ada area khusus untuk ngangon, jadi pemulihan kawasan hutan harus segera dilakukan,” ujar Pratiara.
Tujuan pemulihan kawasan hutan tersebut adalah untuk mengembalikan komposisi, dan struktur vegetasi mendekati kondisi semula sebelum terjadinya gangguan.
Dengan demikian, ekosistem hutan KHDTK Aek Nauli bisa kembali menjalankan peran dan fungsinya sebagai kawasan hutan lindung.
Agar pemulihan ini bisa berjalan baik dan berhasil, diperlukan informasi komposisi dan struktur vegetasi di kawasan hutan, baik pada ekosistem hutan yang masih baik maupun yang telah mengalami gangguan.
Tersedianya kondisi acuan merupakan komponen penting dalam kegiatan pemulihan kawasan hutan.
Berdasarkan kajian awal peneliti BP2LHK Aek Nauli Sriyanti Puspita Barus, diketahui pada ekosistem yang terganggu telah terjadi penurunan kerapatan vegetasi tingkat semai dan pancang.
Penurunan vegetasi tingkat semai terjadi sebesar 37%, yaitu dari 82.500 individu/ha menjadi 51.667 individu/ha, dalam setahun pertama keberadaan gajah di sana. Bahkan pada tingkat pancang, penurunan kerapatan lebih besar yakni 57%.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu segera dilakukan pengayaan jenis dengan penanaman jenis-jenis yang hilang.
Salah satu prasyarat keberlangsungan regenerasi alami suatu ekosistem adalah ketersediaan tingkat permudaan yang mencukupi.
Namun, proses regenerasi alami tersebut mungkin sangat lambat tercapai di KHDTK Aek Nauli karena sebagian besar adalah tegakan pohon pinus.
“Perlu upaya untuk mempercepat proses regenerasi tersebut, karena regenerasi alami pada ekosistem hutan pinus berjalan sangat lambat, hal tersebut karena zat allelopati yang dihasilkan oleh serasah pinus membuat pertumbuhan terhambat, sehingga ketersediaan pohon lain sebagai sumber benihpun menjadi sangat jarang,” jelas Sriyanti.
Gajah Sumatera merupakan salah satu satwa liar yang telah banyak mengalami penjinakan. Gajah jinak (captive) hasil penjinakan tersebut, kemudian mendapat pengasuhan dari “mahout”, yaitu orang yang bertugas untuk merawat, dan melatih gajah.
Pemanfaatan gajah jinak di Indonesia, sejauh ini telah dilakukan untuk beberapa hal, diantaranya untuk pendidikan, dan mitigasi konflik gajah dengan manusia. Selain itu, dapat bermanfaat untuk penelitian ekologi, kegiatan konservasi, dan ekowisata, seperti yang dilakukan di KHDTK Aek Nauli. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... RUU Konservasi SDA Hayati Masih Perlu Pendalaman
Redaktur & Reporter : Natalia