Mendengar rencana pemerintah Australia yang ingin melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan media sosial, Vironica Hadi menyambutnya dengan baik.

Vironica berasal dari Indonesia yang kini tinggal di Melbourne dan memiliki anak perempuan bernama Kezia, berusia 14 tahun.

BACA JUGA: Dunia Hari ini: Trump Bertemu Biden untuk Mempersiapkan Transisi Kekuasaan

Menurutnya rencana pemerintah Australia sejalan dengan keputusannya yang belum memberikan telepon genggam kepada putrinya, karena merasa anaknya belum memerlukan ponsel.

"Saya sangat mendukung [kebijakan] untuk mereka dibatasi dan enggak punya kebebasan untuk bisa mengakses apa pun yang mereka mau," ujar Viro.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Penerbangan dari Australia Dibatalkan Akibat Awan Panas Lewotobi

"Karena itu akan memproteksi mereka, membuat mereka juga sadar bahwa hidup mereka bukan cuma soal media sosial dan gadget."

"Kalau dari pemikiranku, punya akses ke teknologi itu berarti kita sudah punya unlimited access ke apa pun, di mana pun," ujarnya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Tabrakan Beruntun Belasan Mobil di Tol Cipularang Menewaskan Satu Jiwa

"Banyak hal di luar sana yang padahal belum sesuai dengan kapasitas mereka sebagai anak dan remaja untuk tahu itu," tambahnya.

Pemerintah Australia ingin melarang remaja di bawah 16 tahun menggunakan media sosial dengan pertimbangan dampaknya terhadap kesehatan mental di kalangan remaja, terutama remaja perempuan.

PM Anthony Albanese mengatakan remaja perempuan menjadi mulai membandingkan tubuhnya dengan bentuk tubuh tertentu, sementara pria remaja mendapatkan konten misoginis di media sosial.

Nuri Hinduan yang sudah 20 tahun tinggal di Australia sudah membahas rencana aturan ini dengan anak perempuannya yang sekarang duduk di kelas 9, yang juga pengguna Instagram dan Snapchat.

"Anak saya malah mengatakan bagaimana pemerintah akan menerapkannya, karena selalu ada cara mengakalinya, misalnya dengan cara mengatur tahun kelahiran," ujarnya.

Menurut Nuri penggunaan jejaring sosial bagi remaja di Australia tidak bisa dihindari, yang sudah dimulai saat pandemi COVID-19 karena menjadi salah satu cara mereka untuk bersosialisasi saat ada 'lockdown' dan aturan pembatasan sosial lainnya.

Tapi menurutnya konten media sosial juga memberikan manfaat bagi anaknya yang gemar membuat kue.

"Bisa belajar soal baking lewat Reels. Juga belajar agama, dia bisa lebih tahu soal hadits-hadits karena follow tokoh Muslim dari Inggris, misalnya."

Tapi Nuri tetap menyambut baik rencana pemerintah Australia karena beberapa kekhawatiran terkait media sosial.

"Yang ditakutkan adalah kalau ada orang tak dikenal yang mengontak," katanya.

"Sebenarnya, yang mengkhawatirkan lainnya adalah video-video musik di Reels, karena bisa vulgar," ujarnya.Hape yang dipakai bersama

Beberapa orang tua asal Indonesia di Australia yang dihubungi ABC mengaku belum mau memberikan ponsel kepada anaknya, karena tak ingin hidup anaknya jadi dikuasai teknologi.

Vironica mengatakan gadget atau gawai akan membuat anak-anak terpapar pada hal-hal yang belum mampu mereka pahami dan akhirnya tidak tahu bagaimana harus menyikapinya.

Vironica saat ini hanya memperbolehkan anak perempuannya untuk memiliki 'gadget time', tapi dibatasi maksimal setengah jam setiap malam.

"Kalau mereka sudah pegang gadget dan main medsos, mereka lupa semuanya dan membuat itu yang mengontol hidup mereka," kata Vironica.

"Selama ini aku mikirnya I am the weird one karena sekelilingku anak-anaknya semua sudah dikasih hape, dan mereka bertanya balik ke aku 'lho, anakmu belum punya hape?"

Leny, warga asal Indonesia yang bekerja menjadi guru dan tinggal di Darwin, mengatakan kedua anaknya, yakni Peter (18 tahun) dan Eva (15 tahun) juga tidak memiliki ponsel dan akses ke sosial media.

"Anakku si Peter itu enggak mau punya telepon, … menurut dia itu buang-buang waktu, adiknya karena melihat koko-nya enggak punya ya dia enggak punya juga," kata Lenny.

Tapi Lenny mengatakan keluarganya memiliki ponsel yang dipakai bersama-sama hanya untuk keperluan komunikasi.

"Siapa yang pergi dan perlu telepon ya pakai itu saja … siapa yang butuh yang pakai, kan enggak setiap kali kita perlu."

Menurut Lenny aturan larangan remaja di bawah 16 tahun bermain media sosial akan menjadi "kebijakan yang penting", karena bagi anak-anak yang belum dewasa, mereka belum terlalu mengerti soal penggunaannya.

"Banyak anak-anak yang bully, mem-bully, terus nanti divideokan dan dimasukkan di medsos," tutur Lenny sambil menceritakan salah satu kasus yang terjadi di sekolah Australia.

Tapi Lenny merasa usia 16 tahun yang diperbolehkan bermain media sosial juga belum cukup dewasa.

"Apalagi zaman sekarang orangtua banyak yang kerja keras cari duit, mereka lupa punya anak … menurut saya 18 tahun malah lebih pas," ujarnya.

Sementara itu, Nuri mengatakan terlepas dari penggunaan media sosial atau pemberian ponsel kepada anak-anak, menurutnya 'parenting' secara umum di Australia selalu ada tantangannya.

"Karena lifestyle-nya memang berbeda dengan nilai-nilai kita [dari Indonesia], jadi harus selalu dijelaskan. Untungnya anak-anak kami terbuka soal ini," katanya.

Setidaknya sejumlah orangtua asal Indonesia di Australia sepakat kalau pembatasan usia untuk bermain media sosial adalah bukan aturan yang dibuat orangtua atau sekolah.

"Kita bisa bilang ke anak-anak 'ini loh ada aturannya, ini aturan pemerintah loh bukan peraturan sekolah, bukan peraturanku' … dan sebagai orangtua, aturan ini bisa membuat lebih waspada," kata Lenny.Penolakan dari perusahaan media sosial

Meta, perusahaan di balik Facebook dan Instagram sudah menyatakan sikapnya, setelah tampaknya terkejut dengan pengumuman pemerintah Australia.

Meta berpendapat para orang tua dari remaja di Australia menginginkan lebih banyak kontrol ketimbang diberi larangan, dengan mengutip sebuah jajak pendapat yang dibuat Ipsos atas permintaan Meta.

Dari hasil survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.000 orang tua Australia ditemukan 67 persen ingin bisa memutuskan akses media sosial atas nama anak mereka, ketimbang larangan yang tidak dapat dinegosiasikan.

"Apa yang ditunjukkan penelitian ini adalah [orang tua] benar-benar ingin dan merasa mereka harus menjadi pengambil keputusannya," kata Antigone Davis yang bertanggung jawab soal keselamatan di Meta.

"Orang tua berhak menjadi penjaga gerbang untuk aktivitas dan apa yang dialami anak-anak mereka."

Meta juga merasa memverifikasi usia pengguna seharanya bukan tanggung jawab perusahaannya, melainkan bisa dilakukan oleh pihak 'app store'.

Menurut Antigone jika setiap platform media sosial dipaksa untuk mengumpulkan data penggunanya, maka akan membuat "gangguan tidak perlu terhadap privasi mereka" dan jika lebih dilakukan oleh 'app store', pemerintah Australia akan memastikan jika warganya hanya perlu memverifikasi usia sekali saja.

"Kami jelas akan mematuhi keputusan pemerintah apa pun yang dibuat," kata Davis.

"Tetapi saya benar-benar ingin melihat sistem yang … benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan orang tua."

Sebelum dijadikan undang-undang rencana pelarangan remaja di bawah 16 tahun mengakses media sosial ini akan dikembangkan terlebih dahulu dengan masing-masing negara bagian.

Remaja di bawah 16 tahun yang sudah memiliki akun media sosial juga akan terdampak aturan ini, tak terkecuali juga remaja di bawah 16 tahun yang sudah diizinkan orangtuanya.

Rencana aturan ini juga sudah mendapat sambutan baik dari pihak oposisi dan akan mulai berlaku setahun setelah disahkan parlemen.

Beberapa platform media sosial sudah memiliki kebijakan yang melarang remaja berusia di bawah 13 tahun untuk membuka akun, meski aturan ini sangat sulit ditegakkan.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korban Kecelakaan WHV di Australia Diketahui Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga di Indonesia

Berita Terkait