jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengusulkan 7 poin penting kepada pemerintah dan DPR yang saat ini sedang membahas perubahan Undang-Undang Penyiaran.
Pertama, rencana strategis dan blue print digital.
BACA JUGA: Apa yang Terjadi Bila Para Wartawan Sedunia Berunding?
Kedua, pembentukan wadah dan keterlibatan asosiasi media penyiaran Indonesia dalam perizinan dan kebijakan penyiaran digital termasuk pembentukan badan migrasi digital yang bersifat adhoc.
Ketiga, penerapan sistem hybrid merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran.
Empat, durasi iklan komersial dan iklan layanan masyarakat.
Lima, pembatasan iklan rokok.
Enam, siaran lokal.
Tujuh, proses pencabutan izin penyelenggaran penyiaran.
"Ketujuh poin yang kami highlight ini merupakan kajian yang perlu didengar anggota dewan," kata Sekretaris Jenderal ATVSI Suryopratomo, di saat berlangsungnya perhelatan World Press Freedom Day, di Balai Sidang Jakarta, Kamis, 4 Mei 2017.
Tomi--demikian satu di antara pentolan Metro TV itu karib disapa--memberi penjelasan, bahwa ke depan perkembangan teknologi akan kian cepat.
Maka dari itu, UU Penyiaran yang sedang dibahas pemerintah, jangan hanya dibuat untuk waktu singkat.
"Sebaiknya menjangkau perkembangan teknologi hingga 10 tahun mendatang. Agar tak direvisi-revisi lagi," tandasnya.
Sekadar catatan, pada 3 April 2017 lalu, ATVSI diundang Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk memberikan tanggapan dan masukan mengenai beberapa isu penting yang menjadi roh dari RUU Penyiaran.
Nah, konferensi pers ATVSI di sela perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia 2017 semacam membalas pantun Baleg DPR.
"ATVSI juga telah menyampaikan naskah akademik dan draft RUU kepada Baleg dan Panja RUU Penyiaran DPR RI,” kata Ketua ATVSI Ishadi SK, otak di bali latar Trans TV.
Menjawab pertanyaan wartawan, pimpinan ATVSI lainnya, Neil R Tobing memberi penjelasan untuk poin kelima. "Iklan rokok tidak dilarang. Tapi, dibatasi jam tayangnya. Dan iklan tidak boleh menampilkan produk rokok." (wow/jpnn)
Redaktur & Reporter : Wenri