Inisator Interplasi Bantah Bela Koruptor

Selasa, 14 Februari 2012 – 13:12 WIB

JAKARTA -- Inisiator Hak Interplasi dari Komisi III DPR terkait kebijakan pengetatan remisi korupsi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), membantah dan tak terima disebut pembela koruptor. Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsudin, bersama inisiator lain Sarifudin Suding Fraksi Hanura, Aboebakar Alhabsy Fraksi PKS, Ahmad Yani Fraksi PPP, Selasa (14/2) dan dua rekan lainnya dari Komisi III, meluruskan pemberitaan yang menyebut inisiator interplasi sebagai pembela koruptor.

Menurut Aziz, pada raker dengan Menkumham, Senin (13/2), lalu ada hak interplasi dari tujuh fraksi di Komisi III DPR.
"Kami mengusung intérplasi. Kami perlu meluruskan pemberitaan seolah kami pembela koruptor. Kami inisiator sangat mendukung untuk memberantas korupsi. Sangat mendukung baik proses  maupun proses selanjutnya," katanya, Selasa (14/2) didampingi rekan-rekannya.

Ia menjelaskan, munculnya interplasi karena kesewenangan dari pemerintah dalam hal ini Kemenkumham yang telah mengambil langkah di luar aturan hukum yang berlaku."Inilah fungsi pengawasan. Menurut kami telah terjadi pelanggaran hukum dimana melakukan kebijakan abuse of power," kata Aziz.

Ahmad Yani menambahkan, pokok persoalan sampai terjadinya Hak Interplasi adalah bukannya membela koruptor. Tegasnya, pihaknya malah ingin koruptor itu bisa dihukum mati dan dibuat miskin. "Tapi, masalahnya adalah pola mekanisme kebijakan Menkumham bertentangan dengan Undang-undang Dasar, Undang-undang dan peraturan pemerintah. Itu yang kita tanyakan kepada presiden," katanya.

"Kalau dibilang kita pembela koruptor, tidak benar sekali. Bahkan kita ini sering melaporkan korupsi, termasuk  di internal DPR," tambah Yani.

Dia menegaskan, mekanisme untuk mengajukan Hak Interplasi itu sudah sesuai konstitusi dan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Sejauh ini dari tujuh fraksi sudah terkumpul 86 tandatangan ditambah satu oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, menjadi 87 orang.

"Kita meminta kepada presiden untuk memberikan jawaban, sebagaimana telah kami kemukakan. Kami tidak pro koruptor tapi ada doktrin tirani tidak baik (oleh pemerintah), ingin memberantas korupsi tapi melanggar hukum. Itu tidak baik," jelasnya.

Dia menegaskan, pihaknya yang berteriak-teriak soal interplasi itu tidak membela koruptor."Biasanya yang bela koruptor itu yang diam. Yang teriak-teriak tidak bela koruptor. Kami menggunakan hak konstitusi kami," ujarnya.

Bahkan pihaknya mendorong hakim juga untuk memberikan pidana tambahan berupa mencabut hak-hak. "Jadi terpidana itu dicabut haknya, salah satunya tidak diberikan remisi. Kita dorong juga hakim seperti itu," jelasnya.

Sarifudin Suding mengatakan, bahwa yang dipersoalkan di Komisi III adalah mengenai surat Dirjen Pemasyarakat tentang moratoritum remisi narapidana yang membatalkan surat Menkumham sebelumnya, Patrialis Akbar. Ketika melihat konteks persoalan itu langgar UU nomor 12 tahun 1995, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006, dimana hak napi sudah diberikan dalam UU dan PP itu.

Kemudian, ditindaklanjuti surat Menkumham tanggal 16 November 2011 yang  membatalkan surat menteri sebelumnya."Ini berlaku surut. Kita persoalkan dalam rapat kemarin. Pengetàtan sudah diatur dalam PP nomor 28 tahun 2006 tentang tata cara pemberian remisi. Jangankan perketat,  penghapusan pun kita setuju. Tapi ubah UU, PP-nya karena disitu masih ada hak napi. Hukuman mati pun kita setuju," katanya.

Pihaknya meminta pemerintah menyiapkan Naskah Akademik (NA) dan dibahas bersama-sama hapus masalah remisi itu. Begitu juga untuk UU tipikor, KUHP. "Kita setuju berikan hukuman mati. Tapi, KUHP belum diajukan ke DPR. Apa kerja pemerintah? Jangan kita ajukan interplasi ini malah disebut berniat bela koruptor. Naudzubillah," ungkap Suding.

Aboebakar Alhabsy mengatakan bagi PKS, tema ini tidak mengganggu karena pihaknya tidak ada kepentingan."Tapi, kepentingan utama adalah tegaknya hukum yang sebenarnya, bukan abuse of power yang dimainkan menteri dan wakilnya," kata Aboebakar.

Ia mengatakan, kebijakan politik yang dilaksanakan DPR juga tidak akan berjalan tanpa dukungan media. Rakyat juga sudah dewasa. "Jangan bohongi rakyat dengan memutar balik fakta, isinya seolah kami membela koruptor. Tidak. Katakan tidak pada koruptor," katanya.

Dia juga menyatakan, wajar seorang menteri membela wakil menteri karena satu institusi. "Tapi (kebijakan) ini menyesatkan. Sudah dua bulan  berjalan (waktu untuk mengkaji) dianggap angin lalu. Tidak dilakukan menteri. Nampak ada arogansi dan abuse of power," katanya.

Ia menambahkan, sikap dan hak politik sudah digunakan yakni menempuh interplasi. "Kami bukan memla koruptor, tapi menegakkan hukum. Kami minta kepada presiden, pelecehan Menkumham dan Wamenkumham ini ditegur, ini ada pelecehan," tegasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kedamaian Aceh Jangan Rusak Karena Pilkada


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler