jpnn.com - JAKARTA - Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan, pilpres merupakan ajang pertarungan kandidat atau figur. Sebab itu personal branding menjadi salah satu faktor yang paling menentukan.
Dikatakan, siapa kandidat yang berhasil menarik simpati publik, ia bakal memenangi pertarungan. Karena itu, Jokowi, harus sudah mulai memposisikan sebagai milik rakyat. Bukan lagi semata kader partai.
BACA JUGA: Terus Perjuangkan Mobil Listrik Bisa Jadi Industri
Yunarto mengaku heran dengan PDIP yang menurutnya tak memaksimalkan sosok Jokowi. Jika Jokowi sudah dideklarasikan sebagai capres, menurutnya, mestinya sosok Jokowi ditonjolkan.
Dia menduga di internal PDIP masih ada tarik menarik terkait pencalonan Jokowi. Sehingga, marketing politik pun lemah dan tak tepat pasar.
BACA JUGA: Rhoma Ikhlas Jika Ditinggal
“Untuk apa dideklarasikan tapi tak dioptimalkan. Kalau masih ada persoalan internal, kenapa dideklarasi. Apa ini bentuk kesengajaan atau ini marketingnya lemah. Yang pasti serba nanggung,” kata Yunarto di Jakarta, Selasa (15/4).
Dia mengingatkan, orang memilih PDI-P, menurut riset politik atau survei, mayoritas karena Jokowi. Kedepan, PDI-P mesti rela memanfaatkan Jokowi, bukan lagi Puan Maharani.
BACA JUGA: Pledoi Rudi Sudutkan Sutan
Dalam Pilpres, Jokowi harus dijual sebagai milik rakyat, bukan semata milik PDI-P. Fakta itulah yang terjadi pada pemilu legislatif kemarin. Dimana Jokowi itu diasosiasikan hanya milik PDIP.
“Di Pilgub DKI kemarin, Jokowi menang bukan karena PDI-P. Tapi karena faktor Jokowinya sendiri. Dalam Pilpres, jangan lagi ada birokratisasi terhadap Jokowi. Jangan dia diatur-atur, dibatasi. Beri keleluasaan pada Jokowi. Bila dibatasi, berbahaya. Jokowi harus diposisikan sebagai milik bangsa, bukan lagi semata PDIP. Pilpres, adalah pertarungan kandidat untuk mendapat simpati publik,” katanya.
Maka yang menang dalam Pilpres, kata Yunarto, adalah kandidat yang bisa menarik swing votter yang tersebar merata. Karena itu, PDI-P harus mulai memperlihatkan sosok Jokowi bukan sebagai kader semata, tapi adalah sosok milik bangsa yang menjangkau semua segmen.
“Caranya dengan memberi ruang gerak lebih pada Jokowi baik untuk memilih wakil, menteri, barisan koalisi ataupun pemenangan kampanye,” katanya.
Fungsi partai, lanjutnya, dalam pilpres hanya menjadi penopang dan mesin politik. “ Bukan sutradara,” katanya.
Sementara, Direktur Indikator Politik Indonesia (IPI), Burhanuddin Muhtadi, melihat kendali DPP PDIP, di bawah Puan terlalu kuat. Hal ini, berdampak mereka yang mendukung Jokowi enggan merapat. “ Apalagi yang muncul di iklan bukan Jokowi,” katanya.
Burhan mencontohkan sebuah karikatur yang muncul disalah satu media. Dalam gambar karikatur itu, digambarkan Jokowi sedang menyetir mobil, dan Puan tampak keluar jendela sedang melambaikan tangan. Menurut Burhan, itu menunjukan ada dualisme dalam manajemen pemenangan, terutama dalam Pileg.
“Ini menunjukan pemenangan Pileg dibawah kendali Puan. Jokowi pun akhirnya tak bisa memaksimalkan daya tarik pesonanya,” katanya.
Burhanuddin pun menyimpulkan, menajemen pemasaran politik yang dilakukan PDIP gagal. Apalagi kemudian pihak badan pemenangan PDI-P, menggunakan konsultan yang dulu dipakai lawan politik Jokowi saat bertarung di Jakarta. Ia tak habis pikir, kenapa konsultan lawan politik yang dipilih. “ Mungkin ada pertimbangan dari Puan. Tapi dari pemilihan konsultan saja, menunjukan ada gap internal di PDIP,” katanya.
Fakta lainnya, yang memperlihatkan Jokowi tak begitu dilibatkan, kata Burhanuddin, adalah saat kampanye kemarin. Misalnya, dalam jadwal kampanye terbuka , di daerah yang populasi pemilihnya padat, justru Jokowi tak diberi porsi utama.
“Jokowi hahya dapat porsi minimun. Dia kampanye di Papua. Saya tak mengabaikan Papua, tapi secara elektoral Papua itu sedikit. Ini ada persoalan di PDIP,” katanya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan-Mahfud Dinilai Ideal
Redaktur : Tim Redaksi