Intoleransi dalam politik di Indonesia disebut mengalami peningkatan dalam 3 tahun terakhir. Meski demikian, hasil survei itu menunjukkan mayoritas rakyat Indonesia berpendapat demokrasi masih menjadi bentuk pemerintahan terbaik.
Survei nasional yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut, mayoritas warga Muslim keberatan jika warga non-Muslim menjadi kepala pemerintahan baik itu Bupati; Walikota; Gubernur; Wakil Presiden atau Presiden.
BACA JUGA: Obat ADHD Efektif Bantu Adiksi Narkoba Sabu
Dalam survei terbaru yang dilakukan LSI, intoleransi kelompok Muslim terhadap non-Muslim menunjukkan kecenderungan yang tinggi. Dari1520 responden yang disurvei LSI pada bulan Agustus 2018, 59 persen responden Muslim mengaku keberatan jika warga non-Muslim menjadi Presiden.
Sebanyak 55 persen responden Muslim juga tak ingin memiliki Wakil Presiden non-Muslim, dan 52 persen responden juga enggan dipimpin oleh Gubernur, Walikota atau Bupati non-Muslim.
BACA JUGA: Standar Ganda Akses Air untuk Tambang dan Petani di Queensland
Jumlah itu ternyata meningkat dari tahun lalu dan juga dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, warga Muslim yang keberatan memiliki Presiden non-Muslim menunjukkan angka 53 persen, sementara di tahun 2016, jumlahnya juga lebih kecil dari tahun sebelumnya, yakni 48 persen.
Untuk jabatan Gubernur, Walikota atau Bupati, hasil survei LSI 2018 itu juga menunjukkan pola yang sama. Artinya, tiga tahun belakangan ini warga Muslim semakin intoleran jika warga non-Muslim menjadi pemimpin pemerintahan.
BACA JUGA: Temuan Bukti Ungkap Kebrutalan Era Kolonial Australia
Burhanuddin Muhtadi dari LSI mengatakan, hasil survei itu ada kaitannya dengan kasus penistaan agama yang melibatkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
âSebelum krisis Ahok, intoleransi politik ataupun sosial keagamaan tren-nya sedang turun. Berbeda dari yang dikatakan banyak akademisi, demo-demo anti Ahok bukanlah puncak intoleransi, yang terjadi justru sebaliknya,â ujar Burhanuddin dalam acara rilis survei nasional LSI (24/9/2018) di Jakarta.
Ia menjelaskan, gerakan 212 yang berada di belakang kasus Ahok bukanlah sebuah puncak, justru merupakan kran terhadap naiknya intoleransi politik. Photo: Hasil survei yang menunjukkan intoleransi politik terkait pemilihan pemimpin pemerintahan. (Supplied; LSI)
Lebih lanjut, doktor lulusan Australia ini mengatakan, permasalahan yang terjadi sebenarnya bukan antara warga Muslim dan non-Muslim. Intoleransi itu disebutnya dipicu oleh majority privilege atau keinginan untuk diistimewakan.
âSalah satu penjelasan mengapa tingkat intoleransi tinggi itu karena adanya majority privilege. Merasa perlu mendapat treatment (perlakuan) lebih dari yang minoritas. Dan ini sebenarnya juga terjadi di negara lain, di Skandinavia misalnya, yang dilakukan oleh umat Kristen,â terang Burhanuddin.
Yenny Wahid dari The Wahid Institute, yang turut menjadi pembicara dalam acara rilis survei tersebut, memiliki pendapat senada. Ia bahkan menolak jika masyarakat Indonesia disebut intoleran.
âIni bukan indonesia sendiri, ini tren dunia. Dan ini tidak bisa dibiarkan, kenapa? Karena ini mengoyak rasa kebangsaan kita,â ujar putri mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, tersebut.
Yenny mengutarakan, sebenarnya intoleransi terkait majority privilege tidak hanya dilakukan oleh warga Muslim.
âKami (Wahid Institute) meneliti kasus-kasus ini secara detil, kami menemukan banyak kesamaan antara yang terjadi di Bogor dengan Gereja Yasmin, dengan yang terjadi di Kupang, dengan masjid yang akan dibangun di sana.â
Mantan jurnalis itu lalu menceritakan kasus pemalsuan tanda tangan, yang dijadikan alasan penolakan pendirian tempat ibadah.
âDi Bogor dikatakan, ada tanda tangan yang dipalsukan, caranya gimana? warga masyarakat yang Muslim dikasih supermi, dikasih beras, dikasih sembako dibohongin-lah kira-kira supaya mau memberikan tanda tangan untuk mendukung pendirian gereja.â
âNah kalau di Kupang, tinggal diganti, dihapus agamanya, tapi jalan ceritanya mirip. Warga Kristen dimanipulasi, dibagikan daging kemudian mereka diminta tanda tangan untuk membolehkan pendirian masjid. Jadi sama, sama-sama dimanipulasi.â
Yenny berkesimpulan intoleransi tak hanya eksklusif dilakukan warga Muslim.
âOh..agamanya beda perilakunya sama, sama-sama intoleran, alasannya juga sama manipulasi tanda tangan,â sebutnya mengundang tawa hadirin.
Ia lantas mengatakan, masjid di Kupang itu akhirnya bisa berdiri.
âSetelah lebih dari 3 tahun tidak bisa berdiri, masjid di Kupang bisa berdiri karena Walikota-nya yang progresif, Walikotanya Kristen. Yang kita tunggu masih di Bogor.â Photo: Hasil survei LSI seputar pendirian tempat ibadah. (Supplied; LSI)
Dalam survei LSI sendiri, terungkap bahwa warga Muslim umumnya keberatan jika warga non-Muslim mendirikan rumah ibadah di sekitar wilayah mereka.
Mayoritas warga Muslim yang disurvei, yakni sebesar 52 persen, keberatan jika warga non-Muslim membangun tempat peribadatan di lingkungan mereka. Jumlah ini ternyata meningkat dari hasil tahun lalu di mana 48 persen warga Muslim keberatan adanya pendirian tempat ibadah agama lain.
Terlepas dari masalah intoleransi, warga yang disurvei LSI, uniknya, masih merasa demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang ideal bagi Indonesia.
Sebanyak 83 persen responden berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik. Dan Angka ini rupanya meningkat dibandingkan tahun lalu, 76%. Photo: Hasil survei tentang anggapan masyarakat Indonesia seputar demokrasi. (Supplied; LSI)
Survei LSI ini secara umum membahas persepsi publik tentang demokrasi, korupsi dan juga intoleransi. Selain Burhanuddin Muhtadi dan Yenny Wahid, Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) juga didapuk sebagai pembicara.
Terkait korupsi dan intoleransi, Burhanuddin mengatakan dua hal tersebut merupakan faktor yang menghambat demokrasi Indonesia berkembang menjadi lebih baik.
âSaya rasa ini permasalahan serius. Jika kita ingin demokrasi kita semakin maju, maka dua masalah ini harus ditangani segera,â tuturnya.
 âSurvei-survei ini fungsinya mengingatkan kita,â tukas Yenny Wahid.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dampak Kelompok Pengungsi Bagi Kemajuan Ekonomi Regional Australia