Irma Hikmayanti, Pencetus English Competition Pertama untuk Tuna Netra Indonesia

Tekanan Bola Mata Meninggi karena Banyak Menangis

Senin, 09 Januari 2012 – 01:51 WIB

Nikmat penglihatan Irma dicabut perlahan sejak SD hingga benar-benar hilang empat tahun lalu. Namun, kondisi buta total tak menghalanginya menjadi "cahaya" untuk sekitar. 

Ridlwan Habib, Jakarta

"MBAK Irma, aku dari Jawa Pos, ini sudah di lokasi". Pesan singkat itu langsung mendapat respon kilat. "Oke, tunggu sebentar, kita ketemu di taman belakang." Awalnya, koran ini mengira Irma ditemani asisten pribadi untuk membalas pesan singkat di telepon selular itu. Namun ternyata salah.
    
"Ponsel ini sudah diinstal program Talks, ini software untuk membantu tuna netra berkomunikasi dengan ponsel seperti orang normal," jelas Irma saat berbincang dengan Jawa Pos di taman Yayasan Mitra Netra yang teduh di bilangan Lebak Bulus Jakarta Selatan (04/01) lalu.
    
Wanita lajang kelahiran Bandung 6 Agustus 1973 itu lantas mengeluarkan Nokia E63 dari tas jinjing merk Elle miliknya. Dengan sigap dia memperagakan cara menerima dan mengirim SMS dengan bantuan suara. Setiap pesan yang masuk akan dibaca oleh software. Lalu, Irma, yang hafal susunan keypad membalas juga dengan panduan suara. "Saat ini komunikasi bukan halangan lagi, kita juga bisa facebook-an, twitter-an, tak ada masalah," katanya.
    
Irma adalah lulusan University of Saint Thomas, Houston , Amerika Serikat. Dia bergelar master of liberal arts (MLA) yang fokus pada ilmu-ilmu sosial kontemporer. Saat ini Irma yang sama sekali tak bisa melihat itu menjadi pengajar tetap untuk bidang bahasa Inggris di Yayasan Mitra Netra.
    
"Saya mengajar  dua kali seminggu, sisanya menjadi penerjemah profesional untuk Christopher Blinden Mission, sebuah lembaga internasional yang kantor pusatnya di Jerman," jelasnya.

Untuk menerjemahkan naskah, Irma dibantu program Jaws yang diinstal di komputernya. Basis program ini sama dengan software untuk ponsel, yakni membacakan naskah lalu memandu pengguna dengan suara. "Sudah ribuan halaman ya," jawabnya saat ditanya berapa naskah buku atau dokumen yang berhasil diterjemahkan.
    
Irma lahir normal di Bogor, Jawa Barat. Putri pasangan  Nandang Hadi Sobari dan Itje Hendarsjah itu bermain layaknya anak seusianya. Namun, sebuah kecelakaan sepeda pada usia empat tahun mengubah semuanya. "Saya masuk selokan, waktu itu saya hanya menangis sebentar," kenangnya.
    
Tak ada bekas luka, jatuh dari sepeda itu dianggap biasa oleh keluarga Irma. Namun saat duduk di kelas tiga SD Papandayan 1 Bogor, Irma kesulitan membaca materi guru  di papan tulis. " Saya sampai maju ke depan papan sampai segini, terus duduk lagi. Teman-teman menertawakan," katanya sambil merenggangkan depa telapak tangan kanannya di depan hidung. 
     
Cemas dengan kondisi sang putri, ibundanya membawa Irma ke dokter mata bernama dr Simarmata. "Saya didiagnosa glaukoma sekaligus low vision," jelasnya.

Menurut dokter, ada kemungkinan saat jatuh dari sepeda dulu, ada pendarahan di dalam. Akibatnya sirkulasi cairan bola mata tidak lancar karena ada darah yang menggumpal dan menekan syaraf mata. Tekanan bola mata sangat tinggi. Akibatnya, penglihatan Irma memburam.

Karena syarafnya yang kena, dokter merekomendasikan Irma memakai kacamata khusus. "Ayah saya terus berupaya mencari cara agar sembuh. Total ada sekitar 17 operasi yang pernah saya jalani, di Jakarta, di Australia, dan di Amerika Serikat," kata Irma.
    
Sambil menjalani pengobatan, Irma tetap berusaha belajar tekun. Lulus dari SMP 3 Bogor, dia lanjut ke SMAN 3 Bogor. Setelah itu dia diterima di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. "Kacamata saya tebal banget, itupun masih susah melihat. Bahkan kalau jalan suka nabrak tiang," katanya lalu tersenyum geli.
    
Lulus  sarjana hukum dengan cumlaude tahun 1998, Irma menjadi volunteer mengajar SLB-A di daerah Lebak Bulus, Jakarta. Tahun 2001 Irma mendapat beasiswa S2 dan berangkat ke Amerika Serikat. Kebetulan adiknya, Mila Hadiyani, juga mendapat beasiswa. Dia menjalani perkuliahan dengan akomodasi khusus dari pihak universitas.
    
"Mereka sangat menghargai saya.Penjelasan dosen bisa direkam, hand out untuk saya juga ditulis dengan huruf sangat besar dan tebal," kata Irma. Saat ujian pun, Irma diberi ruangan khusus dan diberi waktu tak terbatas untuk mengerjakan soal. "Sama sekali tidak ada diskriminasi," katanya.
    
Dekan jurusannya, Dr Janice Gordon Kelter sangat dikenangnya. Janice yang telah wafat tahun 2006 dirasa Irma sangat penyayang. "Beliau menuntun saya sampai perpustakaan, bahkan sampai mencarikan tempat duduk," kenangnya.
    
Janice, seorang ilmuwan masyhur untuk ilmu liberal arts, juga selalu meminta dosen-dosen Irma yang lain memahami kondisinya. "Saat itu saya masih bisa melihat samar, terutama kalau cahaya terang. Nah, Dr Janice selalu meminta lampu-lampu di perpustakaan dinyalakan terus jika saya sedang belajar di sana," ujarnya.

Irma terdiam sejenak dan menghela napas. Terharu.
    
Irma lulus Desember 2003, tapi dia baru pulang ke Indonesia 2005. Dia lantas menjadi guru privat bahasa Inggris untuk kalangan tidak mampu dengan gratis alias tanpa dibayar.
    
Kondisi matanya semakin memburuk. Jika dulu masih bisa melihat dengan kacamata walau samar, sekarang sudah semakin gelap. Tapi, ayahnya yang pernah bekerja di sebuah perusahaan minyak di Houston, Texas, AS selalu menyemangati Irma. "Everything will be alright (semua akan baik baik saja)," ujar Irma menirukan bisikan semangat sang ayah.
    
Tuhan memanggil ayah tercintanya pada Desember 2007 dengan diagnosis kanker. "Saya sangat dekat dengan ayah, saya sedih sekali waktu itu. Tiap hari selalu menangis," katanya.
    
Karena kesedihan dan tangis itu, tekanan bola mata Irma meninggi, hingga 53. Ukuran normalnya maksimal 20. Dokter di RS Mata Aini Jakarta menyarankan agar operasi lagi untuk mengurangi tekanan. "Saya minta tunggu 40 hari setelah meninggalnya ayah," katanya.
    
Namun, karena Irma sudah 17 kali dioperasi, tidak ada lagi lubang untuk mengurangi tekanan mata."Dokter menawarkan Ahmed Implan, yang dipasangkan di bola mata. Tapi, ini juga hasilnya tak bisa digaransi," katanya.
    
Suatu malam, di sekitar peringatan Valentine Day (14 Februari) 2008, Irma membuka perban matanya. Tapi saat dicoba dibuka, tak terlihat apapun. "Hanya cahaya," katanya. Ketika dia coba pakai kacamatanya, sama saja. "Semuanya terlihat terang," katanya.
    
Irma tahu, saat itu telah tiba. Sejak kecil, dia sudah diwanti-wanti dokternya agar siap untuk kondisi terburuk. Buta total. "Saya raba ponsel, waktu itu belum ada program talks, saya hafalkan saja keypad, saya sms adik di Amerika. Isinya singkat call me," tuturnya.
    
Beberapa detik, Mila langsung telpon. Keduanya menangis sesenggukan. Kesedihan Irma memang berganda, kehilangan ayah yang sangat disayang, dan kehilangan penglihatan. Mereka saling menguatkan.
    
Bulan Mei 2008, Irma dan ibunya pergi ke Yayasan Mitra Netra. Dia belajar orientasi dari nol menjadi seorang tuna netra. Mulai cara berjalan dengan bantuan tongkat, mengetik dengan komputer bicara, dan belajar braile.
    
Karena kemampuan bahasa Inggris Irma yang sangat fasih, mulai 2009, Irma mengajar di Mitra Netra. Konsepnya sama persis dengan orang normal. Mulai belajar grammar, reading, listening, maupun conversation. "Saya gunakan lagu-lagu karena memang tuna netra biasanya lebih tajam pendengarannya," kata Irma.
    
Pada Juni 2010, dengan tema We Touch The World, Irma menggagas kompetisi bahasa Inggris pertama yang diikuti oleh kalangan tuna netra. Mulai pidato  hingga mengeja kata. "Tahun ini, kita akan adakan lagi. Ini masih tahap persiapan," ujarnya.
    
Siswa-siswanya juga banyak yang sudah bekerja di lembaga umum layaknya orang normal. "Ada yang jadi telemarketer di bank-bank asing. Orang tak akan tahu yang mereka ajak konsultasi adalah seorang tuna netra," katanya.
    
Irma optimistis, masa depan tuna netra di Indonesia semakin cerah. Termasuk, akses pendidikan dan kesempatan kerja yang sama. Apalagi setelah pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB Convention on The Right of Persons with Disabilites pada Oktober 2011 lalu menjadi undang-undang.

"Sekarang pertanyaannya bukan bisa melihat atau tidak, tapi apa yang bisa dilakukan untuk negara. Kerja yang dinilai bukan fisiknya," tegasnya. (nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sukiyat, Tokoh di Balik Kiat Esemka, Mobil Dinas Wali Kota Solo


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler