jpnn.com, JAKARTA - Prabowo Subianto resmi mendapatkan tambahan amunisi di Pilpres 2024. Sebab, Partai Golkar dan PAN telah resmi bergabung ke koalisi Gerindra, PKB dan PBB.
Pengamat komunikasi politik, M Lukman menilai ada tiga hal yang ia soroti dari isi pidato Prabowo Subianto pasca mendapatkan dukungan dari Golkar dan PAN.
BACA JUGA: Dukungan Golkar dan PAN ke Prabowo Diyakini karena Pengaruh Jokowi
Pertama, dia menilai Prabowo seolah belum menerima kekalahan di Pilpres 2014 dan 2019 dan ngotot ingin berkuasa. Lukman mencatat ada beberapa diksi yang memperlihatkan jika Prabowo belum menerima kalah dari Joko Widodo (Jokowi) di pilpres. Misalnya penggunaan diksi seperti ‘pembangunan bangsa dan negara’ dan ‘kehendak ingin memperbaiki kehidupan rakyat kita’.
Lalu ada diksi ‘kita sepakat akan kita tinggalkan kepentingan pribadi dan golongan dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat’, dan ‘mewujudkan harapan rakyat sesuai dengan harapan para partai koalisi’.
BACA JUGA: Bergerak Bersama Prabowo, Sukarelawan Jokowi Buka Rumah Pemenangan di Menteng
Terlebih ada kalimat yang meragukan ‘kecintaan’ pihak lain terhadap bangsa dan negara Indonesia.
“Terlepas dari apakah sikap ‘keraguan’ itu mengarah kepada Bacapres PDIP, Ganjar Pranowo atau bukan, tetapi statement Prabowo Subianto di atas tergolong relatif serupa terjadi di tahun Pilpres 2014, terutama berpijak kepada narasi-narasi kerakyatan dan kebangsaan yang disampaikan olehnya pada saat mendeklarasikan cawapresnya dari PAN, Hatta Rajasa,” ujar Lukman dalam keterangannya, Senin (14/8).
Lukman menuturkan, pidato Prabowo Subianto ini memperlihatkan belum pulihnya keterbelahan masyarakat pasca pilpres tahun 2014 dan 2019.
“Hal ini berpotensi menjadikan Prabowo Subianto dalam ruang-ruang publik yang rasional sebagai calon pemimpin yang masih ‘ngotot’ berkuasa, dan bahkan labil untuk berkontestasi politik di level Pilpres, sekalipun dua kali percontohan telah menggagalkannya,” ujarnya.
Permasalahan kedua menurut Lukman adalah, Prabowo menegaskan beberapa kalimat seperti ‘kami mengerti permasalahan’, dan statement ‘berhasil membawa bangsa dan negara untuk mencapai cita-cita negara adil, makmur, dan membawa kesejahteraan menyeluruh’.
Padahal setiap pemimpin semuanya ingin menjadikan Indonesia lebih baik lagi.
"Seringkali para tokoh capres maupun cawapres justru mengalami ‘gagal paham’ tentang inti dari persoalan-persoalan kerakyatan yang sesungguhnya tidak bisa secara serampangan dikerdilkan menjadi suatu permasalahan yang seolah-olah universal," ungkapnya.
Lukman berujar ucapan Prabowo Subianto yang ditepuk-tangani oleh para pimpinan partai koalisi justru urung dilihat secara signifikan sebagai narasi kepemimpinan yang sarat visi.
"Implikasi serius ke depannya, bahwa sejarah membuktikan terpilihnya pemimpin dengan hanya bermodalkan ambisi berkuasa semata (tanpa visi kerakyatan yang transparan kepada publik) berpotensi besar membahayakan demokrasi kepada regresi yang konkret,” ujar Lukman.
Selanjutnya ketiga, Lukman mengatakan adanya statement bahwa Prabowo dan lainnya berada dalam kapal pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi, sehingga mereka sangat mengerti pokok persoalan rakyat.
"Ini bisa digolongkan sebagai sikap politik band-wagoning. Yaitu gestur politik yang hanya menempel atau mengunci kepada sang lokomotif dan akan mengikuti ke mana pun lokomotif mengarahkan tujuannya," katanya.
Karena itu, Lukman menyebut Prabowo seharusnya mampu lebih bijak, cerdas, dan berhati-hati dalam menyuarakan sekaligus membedakan apa itu political claims dan performance claims sebagai menteri.
"Pernyataan glorifikasi pekerjaan atau performance claims dari masing-masing menteri tidak relevan dan tidaklah etis untuk diklaim sebagai keberhasilan pribadi menteri yang bersangkutan apalagi untuk di-glorifikasi menjadi keberhasilan partai koalisi," ungkapnya.
Karena itu hal ini tentunya akan menimbulkan internal discomfort dalam kabinet pemerintahan yang juga berisikan para menteri dari partai koalisi yang lain.
"Presiden Jokowi tentu tidak akan menoleransi ‘kekisruhan’ dalam kabinetnya, khususnya yang berkaitan dengan legacy kinerja pemerintahannya selama total dua periode,” ujarnya.
Terkait tiga hal yang telah diuraikan, Lukman mengingatkan kepemimpinan di Indonesia membutuhkan kreativitas. Ketiadaan visi yang jelas dan ambisi berbasiskan glorifikasi justru berbanding terbalik dengan Jokowi.
Kata Lukman, Jokowi justru konsisten dengan blusukan yang dilakoninya sejak menjadi pedagang kayu dan mebel, wali kota, gubernur, hingga lresiden.
Lukman mengungkapkan di situlah Jokowi membaca, mengkreasikan dan mengamalkan keputusan dan kebijakannya.
"Semua orang bisa melakukan blusukan, tetapi kekhasan itu hanya kembali terlekatkan kepada sosok Jokowi sebagai influencer of blusukan,” pungkas Lukman.(mcr10/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul