Islam dan Gender

Oleh: Esty Martiana Rachmie*

Senin, 05 Agustus 2013 – 12:01 WIB

jpnn.com - SERING kali perempuan dan laki-laki dianggap memiliki hak dan kewajiban berbeda. Bahkan, tidak jarang kaum hawa sering dinomorduakan. Dengan alasan gender, perempuan sering dikalahkan.

Padahal, Islam tidak mengenal istilah perbedaan gender. Terbukti, dalam ayat-ayat Alquran ditegaskan bahwa apa yang bisa dilakukan laki-laki juga bisa dilakukan perempuan. Intinya, keduanya memiliki peran yang sama. Laki-laki dan perempuan setara.

BACA JUGA: Semangat Zakat Adalah Pemerataan

Hanya dalam hal-hal tertentu yang memiliki kewajiban berbeda antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, dalam hal menjalankan salat dan puasa ketika perempuan datang bulan. Selain itu, ketika mereka mengandung atau menyusui. Di luar itu, tidak ada diskriminasi untuk kemaslahatan.

Namun, harus diakui, masih banyak masyarakat yang berpandangan bahwa perempuan tidak bisa sejajar dengan laki-laki. Mereka seharusnya hanya sebagai konco wingking (teman di belakang). Itu terjadi lantaran Islam yang dipahami selama ini terbalut dengan budaya. Dicampuradukkan dengan kebiasaan tradisional, seolah-olah Islam juga mengajarkan gender yang meletakkan paham bahwa perempuan memiliki kedudukan lebih rendah.

BACA JUGA: Mudik ke Kampung Rohani dalam Tradisi Islam

Padahal, dalam ajaran Islam, derajat perempuan diangkat. Itu bisa terlihat ketika ada sahabat Rasulullah SAW yang bertanya, "Siapa yang harus dihormati terlebih dahulu." "Ibumu," jawab Rasulullah.

Pertanyaan yang sama diulang. Jawabannya pun tetap sama. Hingga tiga kali bertanya, ibu tetap menjadi jawaban utama. Baru kemudian bapak merupakan sosok yang juga wajib dihormati.

BACA JUGA: Memaknai Lailatul Qadar dalam Konteks Kekinian

Hal tersebut membuktikan bahwa perempuan memiliki kedudukan, peran, dan fungsi yang dimuliakan.

Dalam rumah tangga pun, seorang ibu dan bapak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, mereka berdua bisa kompak membina rumah tangga. Mengatur untuk kemaslahatan bersama. Keduanya harus memiliki pandangan yang sama bahwa sebuah hubungan harus mengutamakan partnership. Bukan mengotak-ngotakkan kewajiban dan tanggung jawab.

Misalnya, mengurus dan mendidik anak adalah tanggung jawab dan kewajiban ibu. Termasuk mengurusi rumah. Seorang bapak hanya bertugas mencari nafkah. Jika anak nakal atau tidak berhasil dalam studi, ibulah yang disalahkan. Padahal, anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua. Begitu juga mengurus rumah. Baik laki-laki maupun perempuan sah-sah saja mencuci baju, piring, bahkan mengepel rumah.

Karena itu, pemahaman hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan perlu dilakukan secara kontekstual agar bisa diambil pengertian yang mendalam. Bukan secara tekstual yang dipengaruhi budaya sehingga terkooptasi pemikiran dan pandangan terhadap perempuan. Padahal, sebenarnya tidak ada hal yang perlu dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Kini, bukan zamannya lagi istri hanya berdiam diri dan pasrah pada slogan suargo nunut, neroko katut saat bersama suami.

Sebab, yang menentukan seorang istri bisa masuk surga atau neraka itu bukanlah suami. Tetapi, diri sendiri. Begitu pula dalam hal meraih kedudukan dan kesuksesan di masyarakat. Apalagi, perempuan memiliki kelebihan yang tidak bisa dimiliki laki-laki. Yakni, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tiga hal mendasar itulah yang sejatinya membuat perempuan berbeda dengan laki-laki. Perbedaan yang justru membuat mereka istimewa.

Soal ketaatan kepada suami, semua istri memang wajib melakukannya. Tetapi, ketaatan yang tidak membabi buta. Karena di balik kewajiban istri seperti itu, suami juga harus menjalankan kewajibannya. Misalnya, melindungi istri dan memberikan kasih sayang seutuhnya.

Dengan demikian, jika istri telah taat kepada suami, diharapkan mereka juga tidak lupa dengan kewajiban yang dimiliki. Termasuk kewajiban mereka sebagai imam. Jadi, bukan semata-semata istri harus taat, sedangkan suami tidak menjalankan kewajiban. Sebab, besarnya kewajiban perempuan dan laki-laki seimbang.

Untuk bisa mewujudkan hal seperti itu dalam kehidupan nyata, perlu action. Tidak hanya bicara. Apalagi mengubah paradigma dan budaya yang sudah mengakar tidaklah mudah. Misalnya, seorang istri yang berhasil dalam kehidupan masyarakat, menjadi pemimpin, saat di rumah dia tetap harus menghormati suami.

Begitu pula suami yang menjalankan kewajibannya, termasuk anak-anak. Dengan demikian, dalam internal keluarga, terwujud rasa saling menghormati dan mendukung dengan tetap menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebaik-baiknya. Kuncinya, melaksanakan prinsip partnership dengan baik pula.

Karena itu, harus ada pemahaman yang baik terkait gender sesuai dengan ajaran Islam. Jangan hanya memaknai setengah-setengah. Stereotip yang salah tanpa paham yang sebenarnya. Tetap harus menjaga keutamaan perempuan yang dalam Islam berada di tempat utama, terutama dalam tindakan nyata. (may/c7/ib)

*Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keajaiban Doa dalam Kondisi Darurat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler