Ismail Hasani: Intimidasi Mahasiswa Papua di Sejumlah Daerah Cederai Kemanusiaan

Senin, 19 Agustus 2019 – 20:39 WIB
Aksi demonstrasi menolak rasisme di Kota Sorong. Foto: Antara Papua Barat/Ernes

jpnn.com, JAKARTA - Setara Institute menilai, aksi protes yang terjadi di Manokwari, Papua Barat dan di Jayapura, Papua, Senin (19/8) merupakan wujud kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap dehumanisasi masyarakat Papua yang berkepanjangan.

Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, meskipun aksi pembakaran sejumlah gedung tidak dapat dibenarkan, tetapi aksi di Manokwari dan Jayapura menggambarkan politik rasial yang dipelihara negara menimbulkan bahaya berkelanjutan.

BACA JUGA: Jokowi Kepada Pace, Mace, dan Mama di Papua: Saya Memahami Perasaan Kalian

BACA JUGA: Gubernur Papua Barat Sebut Korlap Aksi Demo di Manokwari sudah Diajak Bicara

"Peringatan Hari Kemanusiaan Internasional yang diperingati setiap 19 Agustus, dirusak oleh hilangnya kemanusiaan di tengah masyarakat dan tubuh aparat negara," ujar Ismail dalam siaran pers Setara Institute, Senin malam.

BACA JUGA: Bu Risma Tegaskan tak Ada Perbedaan Ras di Surabaya

Menurutnya, rentetan kekerasan, diskriminasi hingga intimidasi yang diterima mahasiswa Papua di beberapa daerah dalam satu pekan terakhir mencederai kemanusiaan dan HAM. Sejumlah mahasiswa Papua yang berencana melakukan aksi unjuk rasa di Malang menghadapi pengadangan, tindak kekerasan, dan pemaksaan oleh masyarakat, aparat, maupun pemerintah Kota Malang pada Kamis (15/8) lalu.

Intimidasi, kata Ismail, juga terjadi di Surabaya dengan penyerbuan asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian, TNI, Pol PP dan ormas pada Jumat (16/8).

BACA JUGA: Pernyataan Ali Mochtar Ngabalin Kasus Kerusuhan di Manokwari

Aksi itu menyebabkan penangkapan 43 mahasiswa Papua yang tidak terbukti bersalah. Setara Institute mengecam tindakan kekerasan terhadap warga negara yang menyampaikan aspirasi dan ekspresi politik.

"Pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi menjadi akar rantai kekerasan yang berulang kali dialami oleh masyarakat Papua, baik secara struktural, kultural, maupun langsung," ucapnya.

Menurut Ismail, cerminan stigmatisasi dan rasialisme tampak pada penyebutan tertentu terhadap masyarakat Papua. Sebutan yang mereduksi posisi sebagai manusia atau dehumanisasi yang bercokol dari waktu ke waktu dan menjadi legitimasi tindakan kekerasan terhadap mereka.

Karena itu, ucap Ismail kemudian, Setara Institute menentang dehumanisasi terhadap masyarakat Papua yang hadir akibat pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi. Pengakuan atas hak yang melekat pada mereka sebagai manusia berada di titik rawan dan rapuh sebagaimana ditunjukkan dengan frekuensi insiden kekerasan terhadap masyarakat Papua yang tinggi, sehingga melanggar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, hak atas rasa aman, dan hak berpindah.

BACA JUGA: Jokowi Kepada Pace, Mace, dan Mama di Papua: Saya Memahami Perasaan Kalian

"Pelanggaran HAM dan kebebasan masyarakat Papua menjadi catatan buruk berkelanjutan karena kegagalan negara mencari solusi berkeadilan di Papua," katanya.

Setara Institute kemudian mendesak Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menindak tegas aparat yang bersikap represif terhadap mahasiswa Papua, sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan kebijakan ketidakberulangan.

Paralel dengan langkah itu, Kapolri juga dinilai penting memastikan dampak ikutan dari dehumanisasi di berbagai daerah tidak menjadi pemicu kekerasan terhadap masyarakat Papua, termasuk memulihkan segera kondisi Papua pasca-aksi massa.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Manokwari Rusuh, KNPI Minta Aparat Bersikap Tegas


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler