jpnn.com, LA PAZ - Bangunan itu begitu mencolok di antara gedung-gedung tua di La Paz, Bolivia. Tingginya 29 lantai dan tampak modern dengan eksterior yang didominasi kaca. Bangunan tersebut bukanlah hotel, melainkan istana kepresidenan baru Bolivia. Kamis (16/8) Presiden Bolivia Evo Morales meresmikan gedung yang diberi nama Case Grande del Pueblo itu.
’’Ini adalah salah satu tonggak bersejarah, terima kasih atas perjuangan rakyat Bolivia,’’ ujarnya sebagaimana dilansir The Guardian.
BACA JUGA: Gendeng, Perawat Kepergok Berindehoi dengan Mayat
Mayoritas rakyat Bolivia, oposisi, dan pengamat tentu saja tak sependapat dengan Morales. Pembangunan gedung yang menghabiskan USD 34 juta atau setara Rp 496,7 miliar tersebut dianggap sebagai pemborosan. Anggaran itu seharusnya dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.
Istana baru tersebut tentu saja sangat kontras dengan kondisi Bolivia. Berbagai fasilitas mewah ada di dalamnya. Sebut saja jacuzzi, ruang pijat, gym, helipad, sauna, serta lift pribadi untuk Morales. Selain itu, ada tiga lantai di bawah tanah. Luasnya mencapai 1.068 meter persegi dan dikerjakan sejak 2014 lalu. Istana kepresidenan yang lama, Palacio Quemado, disebut media pemerintah sebagai simbol penjajahan.
’’Morales ingin mengabadikan dirinya dengan gedung yang bukan hanya tak indah, tapi juga tidak etis itu,’’ ujar analis politik Carlos Toranzo.
Hal senada diungkapkan pemimpin oposisi Samuel Doria. Dia menegaskan bahwa uang yang dipakai untuk membangun istana baru tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk mendirikan rumah sakit kanker.
Tapi, bagi Morales, istana kepresidenan yang baru itu justru penghematan. Sebab, lima kementerian yang sebelumnya menyewa gedung kini akan dipindahkan ke Case Grande del Pueblo. Dengan begitu, uang sewa tahunan bisa dialokasikan untuk yang lain.
Morales bakal menikmati tinggal lama di Case Grande del Pueblo. Sebab, dia mencalonkan diri lagi di pemilu 2019 nanti. Jika terpilih, itu adalah masa jabatannya yang keempat.
Dia terpilih sejak 2005 lalu dan terpilih kembali pada 2009 serta 2014. Seharusnya. dalam konstitusi Bolivia, presiden hanya boleh menjabat selama dua periode. Tapi, pengadilan menyatakan bahwa periode kepemimpinan pertama Morales tidak dihitung. Sebab, masa jabatannya tak sampai lima tahun ketika konstitusi baru tersebut diberlakukan pada 2009.
Seperti kebanyakan presiden di negara berkembang, Morales getol menggunakan jargon-jargon kerakyatan dan bersikap anti terhadap kapitalisme serta neoliberalisme. Namun, sampai sekarang Bolivia masih salah satu negara termiskin di Amerika Selatan.
Meski begitu, Morales tetap tak ingin turun jabatan. Pada Februari 2016 lalu, dia mengadakan referendum. Isinya, bertanya kepada publik apakah UU harus direvisi agar dia bisa mencalonkan diri lagi pada 2019. Penduduk menolak, Morales kalah.
Beruntung bagi calon diktator itu, November tahun lalu MK memutuskan dia boleh mencalonkan diri lagi. Dasarnya adalah konvensi HAM yang menjamin hak penduduk untuk dipilih lewat pemilu. (sha/c22/ami)
Redaktur & Reporter : Adil