JAKARTA - Pemerintah melalui Kemendagri mengusulkan pelarangan calon yang memiliki hubungan kerabat dengan incumbent untuk maju dalam pilkada. Usul yang merupakan terobosan dalam mekanisme pilkada itu masuk dalam sejumlah pasal dalam draf RUU Pilkada yang akan dibahas DPR.
Klausul tersebut tertuang dalam pasal 12 huruf (p) dan pasal 70 huruf (p) mengenai peserta pemilihan dan persyaratan calon draf RUU Pilkada. Pasal 12 ayat (p) berbunyi "tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan".
Sedangkan pasal 70 ayat (p) berbunyi "tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan".
Jika pasal tersebut disahkan, seorang kepala daerah incumbent tidak bisa mencalonkan istri, anak, atau siapa pun yang punya hubungan kekerabatan. Padahal, pencalonan istri dan anak dalam pilkada belakangan menjadi tren.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Agus Purnomo mengakui, keberadaan pasal itu rawan mendapatkan gugatan uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). DPR maupun pemerintah harus merumuskan pasal tersebut dengan latar belakang yang kuat. "Pasal itu harus dibuat dengan cerdas," tutur Agus saat dihubungi Jawa Pos kemarin (22/6).
Menurut Agus, secara umum fraksi-fraksi di DPR memberikan dukungan atas pasal tersebut. Namun, catatan yang penting di sini adalah keberadaan pasal itu rawan digugat. Sebab, pasal tersebut berpotensi menghambat hak untuk dipilih dari seorang warga negara. Sekalipun yang bersangkutan memiliki hubungan kerabat dengan incumbent. "Perlu perumusan secara hati-hati supaya tidak diuji berdasar pasal 28 (UUD 1945, Red) tentang hak dipilih dan memilih," ujarnya.
Agus menyatakan, harus diakui, sulit tidak melihat adanya potensi gugatan di pasal itu. Fraksi PKS sendiri telah melakukan komunikasi dengan sejumlah pakar hukum. Hasilnya, para pakar hukum juga sependapat bahwa pasal larangan politik dinasti itu bisa saja dibatalkan MK. "Kami lagi mencari rumusannya," ujar dia.
Kemungkinan terburuk, ujar Agus, MK akan mengabulkan gugatan tersebut. Namun, sebisa-bisanya MK juga memahami substansi dan keinginan para pembuat UU nantinya. "Mungkin MK akan mengabulkan, namun dengan frasa pasal ini berlaku sepanjang dipahami dan seterusnya"," terang dia.
Agus menilai, MK juga harus bisa diyakinkan bahwa pasal larangan politik dinasti itu juga bertujuan membentuk pemerintahan yang bersih. Fakta lapangan membuktikan, politik dinasti sangat merugikan publik, termasuk persaingan antarcalon dalam pilkada. "Kisah pengaturan tentang bantuan sosial (bansos) karena masalah pelaksanaan bansos yang penuh koneksi," ujarnya.
Fakta semacam itu, ujar Agus, juga bisa menjadi landasan. Ini penting karena MK mungkin akan menafsirkan pelaksanaan hak politik dalam pilkada. "Fakta lapangan membuktikan, dinasti politik tidak baik untuk akuntabilitas pemerintahan," tandasnya. (bay/c9/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sinergi Pilkada DKI, FPDIP Undang Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi