JAKARTA - Ida Laksmi Wati, istri bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar tak kuasa menahan tangisnya, saat mendampingi suaminya di sidang uji materi Pasal 268 aya 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tenang Hukum Acara Pidana (UU Kuhap), Kamis (25/4), di Gedung MK, di Jakarta.
Majelis Hakim yang diketuai Ahmad Fadlil Sumali sebelumnya meminta kuasa pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. "Mahkamah sudah menerima perbaikan permohonan secara tertulis sebanyak 20 halaman. (Pemohon) Diminta menyampaikan prinsip yang ingin ditekankan pokok-pokok perkara yang diinginkan," kata Majelis, di persidangan, Kamis (25/4).
Kuasa pemohon Arif Sahudi, menyatakan penambahan pemohon terkait surat kuasa yang diajukan Ida Laksmi Wati, istri pemohon dan Nona Ajeng Okta Ripka Antasari Putri anak pemohon. "Alasan kedua orang merasa ketidakadilan dan kehilangan sosok orang yang dicintai terlepas dari genggaman," kata kuasa pemohon.
Sidang terus bergulir hingga diberikan kesempatan kepada Ida Laksmi untuk menyampaikan pendapat. Sejak kalimat pertama diucapkan Ida yang mendampingi Antasari sudah terlihat tegang. Seiring kalimat terus terucap, akhirnya Ida pun terdiam dan terisak menahan tangis.
"Dengan kerendahan hati saya mohon....," kata Ida, yang kalimatnya terputus karena menahan isak tangis. "Agar kami bisa dapat berkumpul kembali, terima kasih," lanjut Ida terbata-bata dan terus menahan menangis.
Sidang hanya berjalan kurang lebih setengah jam. Kemudian, hakim menutup persidangan karena agenda utama perbaikan permohonan dianggap cukup.
Antasari mengajukan permohonan perkara ini karena menurut dia, pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali hanya sekali melahirkan ketidakailan dan merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Ia sudah pernah ajukan PK, namun ditolak Mahkamah Agung.
Mantan jaksa itu tetap ngotot tidak merasa bersalah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Menurut Antasasi, ketentuan PK hanya sekali di pasal 268 ayat 3 Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 28C ayat (1) dan (2), pasal 28D ayat (1), serta pasall 28H ayat (2) UUD 1945.
Karenanya, dalam petitum permohonannya Antasari meminta MK menyatakan rumusan itu konstitusional bersyarat. Pemohon meminta untuk menyatakan UU KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu pihaknya juga mengajukan permohonan kepada MK untuk menggabungkan sidang pemeriksaan perkara ini dengan Perkara Nomor 21/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh adik kandung korban, Andi Syamsuddin Iskandar. Dalam permohonannya Iskandar menguji pasal 263 ayat (1) dan pasal 268 ayat (3) KUHAP. (boy/jpnn)
Majelis Hakim yang diketuai Ahmad Fadlil Sumali sebelumnya meminta kuasa pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. "Mahkamah sudah menerima perbaikan permohonan secara tertulis sebanyak 20 halaman. (Pemohon) Diminta menyampaikan prinsip yang ingin ditekankan pokok-pokok perkara yang diinginkan," kata Majelis, di persidangan, Kamis (25/4).
Kuasa pemohon Arif Sahudi, menyatakan penambahan pemohon terkait surat kuasa yang diajukan Ida Laksmi Wati, istri pemohon dan Nona Ajeng Okta Ripka Antasari Putri anak pemohon. "Alasan kedua orang merasa ketidakadilan dan kehilangan sosok orang yang dicintai terlepas dari genggaman," kata kuasa pemohon.
Sidang terus bergulir hingga diberikan kesempatan kepada Ida Laksmi untuk menyampaikan pendapat. Sejak kalimat pertama diucapkan Ida yang mendampingi Antasari sudah terlihat tegang. Seiring kalimat terus terucap, akhirnya Ida pun terdiam dan terisak menahan tangis.
"Dengan kerendahan hati saya mohon....," kata Ida, yang kalimatnya terputus karena menahan isak tangis. "Agar kami bisa dapat berkumpul kembali, terima kasih," lanjut Ida terbata-bata dan terus menahan menangis.
Sidang hanya berjalan kurang lebih setengah jam. Kemudian, hakim menutup persidangan karena agenda utama perbaikan permohonan dianggap cukup.
Antasari mengajukan permohonan perkara ini karena menurut dia, pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali hanya sekali melahirkan ketidakailan dan merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Ia sudah pernah ajukan PK, namun ditolak Mahkamah Agung.
Mantan jaksa itu tetap ngotot tidak merasa bersalah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Menurut Antasasi, ketentuan PK hanya sekali di pasal 268 ayat 3 Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 28C ayat (1) dan (2), pasal 28D ayat (1), serta pasall 28H ayat (2) UUD 1945.
Karenanya, dalam petitum permohonannya Antasari meminta MK menyatakan rumusan itu konstitusional bersyarat. Pemohon meminta untuk menyatakan UU KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu pihaknya juga mengajukan permohonan kepada MK untuk menggabungkan sidang pemeriksaan perkara ini dengan Perkara Nomor 21/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh adik kandung korban, Andi Syamsuddin Iskandar. Dalam permohonannya Iskandar menguji pasal 263 ayat (1) dan pasal 268 ayat (3) KUHAP. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Susno Diminta Beri Contoh Ketaatan Hukum
Redaktur : Tim Redaksi