KENDARI - Tinggal di rumah dinas yang megah, fasilitas semua disediakan negara, punya kekuasaan dan akses ke semua tempat terbaik di daerah hingga penghasilan yang lebih dari rakyat kebanyakan, tidak lantas membuat para istri penguasa di daerah ini berpuas hati. Saat musim Pemilu tiba, mereka ramai-ramai melamar jadi calon anggota legislatif, baik DPR RI, DPRD Sultra maupun DPRD kabupaten. Di Sultra, tercatat ada 8 istri kepala daerah yang maju sebagai Caleg dan bersaing berebut tahta.
Mereka adalah Tina Asnawati (istri Nur Alam, gubernur Sultra), Ratna Lada (istri Hugua, Bupati Wakatobi) Hugua, Hj Syamsuriati (istri Musaddar Mapasomba, Wawali Kendari). Ketiganya membidik kursi DPR RI untuk periode 2014-2019. Tina tercatat sebagai Caleg nomor urut 2 di PAN, Ratna Lada dimandat sebagai nomor 1 di PDIP, sedangkan Syamsuriati ada di nomor urut 3 PKS.
Kemudian ada Isyatin Syam Aswad (istri Bupati Konawe Utara), Suryani Imran (istri Bupati Konawe Selatan) Sitti Farida Baharuddin, (istri Bupati Muna) dan Muniarti Ridwan Zakariah (istri Bupati Buton Utara). Keempatnya mengincar kursi DPRD Sultra dari Dapil berbeda. Isyatin dibawah naungan Partai Demokrat dari Dapil Konawe-Konawe Utara. Sedangkan Suryani Imran menggunakan Golkar sebagai kendaraan politiknya dari Dapil Konsel-Bombana. Sedangkan Farida dan Muniarti, bersama di PAN dari Dapil Muna-Butur.
Terakhir adalah Andi Nirwana Tafdil, yang mengincar kursi di DPRD Bombana. Istri Bupati Bombana ini diusung PAN. Ini belum dihitung dengan para istri mantan penguasa di berbagai daerah yang jabatannya belum lama tuntas seperti Yati Lukman Abunawas, Wa Ode Siti Nurlaila Ridwan yang membidik kursi DPRD Sultra dan Normadya Masyhur Masie Abunawas yang mengincar kursi DPRD Kota Kendari.
Dari 8 Caleg itu, PAN mengutus 4 perempuan yang akan berebut tahta di 2014 nanti. Jika ditilik lebih seksama, keempat istri penguasa tersebut tidak punya sejarah panjang di dunia politik. Praktis, 'sentuhan' politik itu justru mereka temukan ketika suami-suami mereka duduk di singgasana kekuasaan. Khusus Tina Asnawati, mungkin dikecualikan karena sudah lama bersama Nur Alam. Sebelum jadi gubernur Sultra, suami Tina Asnawati itu adalah Ketua PAN Sultra. Sedangkan tiga perempuan lainnya, baru kenal politik setelah suami mereka jadi kepala daerah.
Tapi PAN Sultra menepis anggapan bahwa Caleg mereka adalah karbitan. Sekretaris DPW PAN Sultra, Abdurrahman Shaleh menjelaskan, Caleg yang diajukan PAN sudah melalui pertimbangan dan seleksi yang ketat, tanpa kecuali para isteri Kada tersebut. "Karena itu tinggal kita serahkan semuanya kepada rakyat, pasalnya rakyat yang punya daulat untuk menentukan wakilnya," kata Abdurrahman Shaleh.
Sehubungan basic politik yang dipertanyakan sebagian masyarakat, Abdurrahman menegaskan, sebagai isteri kepala daerah, yang mana suaminya juga merupakan Ketua DPD, tentunya tahu tentang partai yang dipimpin suaminya, khususnya berkenaan dengan AD/ART partai. "Jangan dilupakan berkat para isteri itu pula yang mengantarkan sang suami menjadi kepala daerah. Apalagi sebelum menjadi Caleg, mereka menjalani seleksi dan penetapan mereka sebagai Caleg berdasarkan survey internal partai," jelasnya.
Bagaimana dengan para Caleg bersangkutan? Ketika hal ini ditanyakan kepada Asnawati Hasan, ia mengaku tampilnya sebagai Caleg karena permintaan masyarakat. "Setiap berkunjung ke daerah, masyarakat khususnya kaum perempuan berkata kepada saya kenapa saya tidak maju sebagai anggota DPR RI yang mewakili perempuan Sultra," ujar wanita yang akrab disapa Tina Nur Alam itu.
Hal serupa juga dikatakan Isyatin Syam, isteri Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman yang jadi Caleg Partai Demokrat. Ia mengaku berpolitik guna memenuhi permintaan masyarakat Konawe dan Konawe Utara, apalagi ruang itu terbuka setelah UU memberikan kuota 30 persen bagi perempuan. "Ini panggilan hati dan permintaan masyarakat. Kalau saya di DPRD Sultra, masalah di Konawe dan Konawe Utara bisa saya bawa di dewan nantinya," ujar Isyatin Syam Aswad dikediamannya, beberapa hari lalu.
Isteri kepala daerah pejabat yang membidik parlemen kerap diidentikan haus kekuasaan. Sudah menjadi Ketua Tim Penggerak PKK, sekaligus Ketua Dekranasda masih juga meminati profesi lain. Stigma itu buru-buru ditepis Isyatin. Menurutnya, menjadi anggota DPRD itu panggilan hati. Selain itu, dalam konteks negara demokrasi, hak dipilih dan memilih adalah hak setiap warga negara. Termasuk dirinya. "Saya yakin terpilih dan bisa dapat suara di Dapil sampai 30 persen,� katanya.
Sedangkan Hj Syamsuriati, istri Musadar Mappasomba menganggap pencalonannya ke DPR RI adalah ibadah. "Ini amanah. Saya dipercayakan memikul amanah tersebut. Berangkat dari filosofi hidup, apa yang dicari dari hidup ini? Hidup adalah ibadah. Totalitas aktivitas adalah wujud peribadatan kepada Allah," ungkap Hj Syamsuriati diamini sang suami, H. Musadar Mappasomba.
Dengan niat yang baik, kata dia, kemudian ihktiar yang sungguh-sungguh lalu membingkai niat sebagai ibadah. Realisasi ibadah untuk bidang politik, itu namanya jihad siyasi. "Medan politik menjadi wadah untuk melaksanakan amar ma'ruf, nahi mungkar. Jika hanya amar ma'ruf atau berbuat kebajikan, tanpa bertarung di dunia politik pun dapat dilaksanakan. Tapi nahi mungkar (mencegah perbuatan keji), tidak bisa tanpa wadah tersebut," jelasnya.
Dengan niat seperti itu, lanjut Hj Syamsuriati, segala upaya untuk mengambil peran dalam langkah-langkah politik adalah jihad amar ma'ruf, nahi mungkar. "Ketika saya diberikan kesempatan, kami akan gunakan sebaik-baiknya. Banyak hal kebaikan yang bisa dilakukan sebagai wujud ibadah jika diberi kesempatan itu," harap Hj Syamsuriati.
Bagaimana pula dengan Ratna Lada ? Caleg DPR RI dari PDIP ini mengaku tampil karena tidak ingin kuota perempuan didominasi Caleg DPP. "Saya tidak terlalu berambisi, tetapi karena mendengar kuota Caleg perempuan DPR RI PDI-P kurang, saya mengiyakan. Selain itu saya tidak ingin kuota perempuan diambil dari DPP, karena menandakan tidak adanya perempuan Sultra yang mampu," jelas Ratna Lada.
Lantas upaya apa yang dilakukan untuk menghilangkan image masyarakat Caleg dengan berlindung di bawah naungan kebesaran nama suami yang notabene merupakan ketua partai dan kepala daerah, Ratna mengungkapkan masyarakat yang dekat dengannya pasti tahu selama menjadi isteri Bupati Wakatobi dirinya tidak pernah tergantung dengan sang suami, khususnya dalam hal program kerja organisasi karena dirinya memahami betul Tupoksinya dalam organisasi sebelum mengambil amanah tersebut.
"Selama ini saya jalan sendiri dengan program kerja saya, begitu pula dengan bapak karena saya tahu betul Tupoksi saya dalam organisasi. Khusus sebagai Caleg, pastinya saya siap bertarung dan kalau pun saya kalah paling tidak suara saya dapat menolong perolehan kursi partai, tentunya dengan strategi dan tips kemenangan mengusung ikon partai yaitu PDI-P sebagai partainya wong cilik," ungkapnya.
Fenomena ini ternyata juga jadi amatan Eka Suaib. Doktor politik asal Sultra ini menilai, majunya para istri penguasa ini bisa berdampak kurang baik bagi kualitas pemilu. Sebagai istri penguasa, mereka berpotensi memanfaatkan jejaring kekuasaan dan koneksi politik yang dimiliki oleh suaminya. "Apakah ini karena kaderisasi caleg perempuan di parpol belum berjalan sehingga untuk mencukupkan 30 persen keterwakilan perempuan di daftar Caleg terpaksa merekrut istri para penguasa daerah," kata Eka Suaib.
Menurut mantan komisioner KPU Sultra Eka Suaib, fenomena "comot" caleg istri penguasa Pemilu 2014 memang tidak bisa dibendung. Pasalnya sebagian besar kepala daerah di Sultra memiliki posisi penting di parpol yang pada akhirnya dapat menggunakan kewenangan dan konektifitas untuk menentukan caleg. Meskipun tidak ada pelarangan dalam hukum politik sebab setiap warga negara mempunyai hak dan kebebasan, yang dijamin oleh konstitusi, untuk berpolitik demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Tapi fenomena tersebut perlu diwaspadai sebab pola rekruitmen caleg sangat dimungkin syarat KKN. (din/aka)
BACA JUGA: Gara-gara Petasan Tower Terbakar
BACA ARTIKEL LAINNYA... KNIA Siap Gantikan Bandara Polonia
Redaktur : Tim Redaksi